Nyeriyang menancap jauh ke dasar benak. Tambur memekik perih. Langit serupa geronggang menera wajah mentari sungsang di titik zenit. Tak ada lagi mimpi di tanah ini, selain burung-burung merpati yang terkapar di lengang jalan. Tak ada lagi nyanyian hujan, karena gegar cuaca, bumi telah menjadi bangkai di mulut gagak.

Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Diedarkannya pandangan matanya kesekelilingnya. Hutan, sawah dan ujung gunung yang berselimut awan tipis. Namun Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Paksi. Jangan risau. Bukankah kau pulang sambil membawa cincin yang dikehendaki oleh ayahmu” “Jika karena itu, aku diterima baik oleh ayahku, maka bukan akulah yang diharapkan pulang. Tetapi cincin itu. Seandainya ada orang lain yang datang membawa cincin itu, maka ayah tidak akan pernah bertanya dimana aku berada. Apakah aku akan pulang atau tidak” “Jangan berprasangka buruk seperti itu, Paksi” Paksi seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Marta Brewok itu. Tetapi ia berkata selanjutnya, “Wicitra yang sudah jelas berniat untuk mengusir ayah dan ibunya, pada saat yang gawat masih ditangisi oleh ibunya, sementara ayahnya bersedia mengorbankan nyawanya. Tetapi bagaimana dengan ayahku?” “Sudahlah. Pulanglah. Serahkan cincin itu kepada ayahmu” “Setelah aku renungkan, agaknya tidak ada gunanya bagiku menyerahkan cincin itu kepada ayah. Demikian cincin itu diambil kembali oleh Pangeran Benawa, maka aku tentu akan diusirnya lagi dari rumah. Bahkan mungkin ayahku memerintahkan kepadaku untuk mencuri cincin itu dari tangan Pangeran Benawa” “Jika cincin itu kemudian diambil Pangeran Benawa, bukankah itu bukan salahmu?” “Ayah tidak akan menghiraukan apakah aku bersalah atau tidak. Sebagaimana ayah memerintahkan aku mencari cincin itu, maka ayah tentu akan menimpakan beban itu dipundakku” Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, disaat kau datang, maka kau akan diterima sebagai seorang pahlawan” Paksi menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah artinya seorang pahlawan, jika itu hanya semu?” “Sudahlah, Paksi” berkata Ki Marta Brewok, “kau jangan terlalu berprasangka. Kau wajib mencobanya” Paksi tidak menjawab. Demikianlah, maka mereka pun berjalan terus. Wijang masih berjalan beberapa langkah dibelakangnya. Ia serba sedikit mendengar pembicaraan antara Ki Marta Brewok dan Paksi. Sebenarnyalah Wijang juga merasa heran terhadap sikap ayah Paksi. Pada saat Paksi menginjak umur tujuh belas, ia harus meninggalkan rumahnya memasuki satu dunia yang sama sekali asing baginya, dunia yang keras dengan tugas yang sangat berbahaya, tanpa bekal sama sekali. “Ayah Paksi adalah seorang Tumenggung” desis Pangeran Benawa, “agaknya ia seorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Tetapi masih juga tumbuh di kepalanya untuk memperlakukan anaknya semena-mena” Tetapi desis itu hanya didengarnya sendiri. Bahkan kemudian ia pun bergumam pula perlahan sekali, “Pamrih dan ketamakan seseorang ternyata sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang. Jika yang terjadi pada Paksi, anak yang diperlakukan semena-mena, sebaliknya yang terjadi pada Wicitra. Anaknyalah yang memperlakukan orang tuanya semena-mena” Namun Wijang itu pun kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana dengan ayahku?” Wijang menarik nafas panjang. Katanya kepada diri sendiri, “Tetapi ayahku adalah seorang raja” Namun tiba-tiba timbul pertanyaan didalam hatinya, “Apakah ada bedanya kewajiban seorang ayah terhadap anaknya dari seorang raja dan bukan seorang raja?” Wijang termangu-mangu. Tetapi kakinya melangkah terus. Namun telinganya seakan-akan mendengar jawaban, “Tentu berbeda anak muda. Bukan saja terhadap anaknya. Tetapi juga terhadap istri-istrinya. Dengan bertumpu pada wewenang dengan kekuasaan, seorang raja dapat berbuat lain dari orang kebanyakan” Hampir diluar sadarnya, Wijang itu bergumam, “Tetapi hakekat seorang ayah dan kepala keluarga?” Wijang terkejut sendiri. Tetapi untunglah bahwa agaknya Paksi dan Ki Marta Brewok tidak menghiraukannya. Demikianlah bertiga, mereka berjalan terus. Paksi masih berjalan disamping Ki Marta Brewok. Wijang masih berjalan di belakang. Perjalanan ke Pajang memang sebuah perjalanan yang panjang. Karena itu, maka mereka harus bermalam di perjalanan. Tetapi ketiga orang itu sudah bersepakat untuk menghindari persoalan-persoalan yang timbul diperjalanan sehingga menghambat dan bahkan memperpanjang waktu perjalanan mereka. Mereka ingin segera sampai di Pajang. Meskipun Paksi menjadi sangat berdebar-debar, tetapi ia pun ingin segera tahu, apa yang akan terjadi dirumahnya nanti. Tetapi kesediaan Wijang menyerahkan cincinnya justru membuatnya semakin gelisah. Paksi pernah melihat Wijang menyerahkan cincin itu kepada seseorang yang ingin merampasnya. Tetapi orang itu harus menyerahkan kembali cincin itu. Bahkan bersama nyawanya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengerti, kenapa hal itu dilakukan oleh Wijang, karena menurut pendapatnya, Wijang bukan seorang pembunuh. “Jika orang itu dibiarkan hidup, maka Pangeran Benawa tidak akan mempunyai tempat untuk bergerak sama sekali” berkata Paksi didalam hatinya. Ketika kemudian malam datang, mereka tidak bermalam di sebuah banjar padukuhan agar mereka tidak tersentuh persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Sebenarnyalah dengan menginap di tempat terbuka, maka mereka memang tidak disentuh oleh persoalan-persoalan apapun. Dihari berikutnya, ketiga orang itu pun meneruskan perjalanan mereka dengan sangat berhati-hati. Ketika mereka merasa haus dan lapar, maka mereka pun singgah di kedai-kedai kecil yang tidak banyak disinggahi orang. Namun dalam pada itu, semakin dekat mereka dengan Pajang, jantung Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Seperti yang dikatakannya, rasa-rasanya ia sedang tidak mendekati rumahnya yang dihuni oleh ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Namun Ki Marta Brewok selalu membesarkan hatinya. Dengan nada dalam ia berkata “Keluargamu sedang menunggumu, Paksi” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijang pun berkata “Kau akan pulang sambil membawa cincin yang dicari oleh ayahmu itu, Paksi. Karena itu, jangan cemas, bahwa kedatanganmu akan mendapat sambutan buruk dari ayahmu” Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat menyingkirkan debar dijantungnya. Bahkan semakin dekat dengan pintu gerbang kota, debar itu menjadi semakin keras. Namun Paksi pun kemudian menetapkan niatnya. Ia harus pulang. Ibunya sudah menunggu terlalu lama. Lebih dari setahun ia mengembara. Tetapi seperti yang sudah direncanakan, Paksi akan mengetuk pintu rumahnya setelah malam menjadi larut. Jika ia menyerahkan cincin itu, ayahnya tidak mempunyai kesempatan untuk memindahkan cincin itu ketangan orang lain. Setidak-tidaknya untuk malam itu. Namun sebelum Paksi sampai di rumahnya, maka ia harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk sampai ke istana dan mempersiapkan dirinya sebagai Pangeran Benawa yang kemudian akan datang kerumah Paksi untuk mengambil cincin itu. “Jika ayah berkeberatan, maka nyawa ayah akan dipungutnya pula” berkata Paksi didalam hatinya. Tetapi Paksi masih berpengharapan bahwa Wijang tidak memperlakukan ayahnya dengan cara yang garang itu. Justru karena Wijang mengenalnya dengan baik. Karena itu, maka Paksi pun tidak berpaling lagi. Ia harus segera pulang. Ketika malam turun, maka mereka pun telah memasuki gerbang kota. Wijang lah yang kemudian mendahului Paksi, langsung menuju ke istana setelah menyerahkan cincinnya kepada Paksi. Bersama Ki Marta Brewok, Paksi pun kemudian duduk di pinggir alun-alun yang sepi. Mereka membayangkan, Wijang itu memasuki regol butulan dan mengejutkan para abdi di istana. “Jangan cemaskan Pangeran itu” berkata Ki Marta Brewok. “Apakah Pangeran Benawa itu tidak akan dipanggil oleh ayahandanya untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya?” “Tentu tidak malam ini. Sultan Hadiwijaya kini menjadi sangat lamban. Segala-galanya kini menjadi lambat dan bahkan kadang-kadang beberapa masalah dilupakan begitu saja. “Tetapi apakah Kangjeng Sultan itu tidak akan langsung menanggapi kedatangan Pangeran Benawa yang sudah sekian lama pergi meninggalkan istana? Apalagi jika sudah diketahui bahwa Pangeran Benawa itu membawa cincin kerajaan?” “Kangjeng Sultan tidak akan beringsut dari pembaringannya” Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Untuk beberapa lama keduanya duduk di pinggir alun-alun. Sementara itu, malampun menjadi bertambah malam. Derik cengkerik terdengar menggores sepinya malam. “Nah, sekarang pulanglah. Tengah malam kau mengetuk pintu rumahmu. Mudah-mudahan kau diterima dengan baik oleh keluargamu. Terutama oleh ayahmu” Paksi mengangguk sambil berdesis, “Untuk seterusnya dimana aku dapat bertemu Ki Marta Brewok?” Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya “Aku akan sering berada disini. Terutama di malam hari” “Terima-kasih guru” sahut Paksi dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Tetapi kau jangan lupa pula kepada gurumu. Datanglah kepadanya. Laporkan apa yang pernah terjadi di sepanjang perjalananmu. Suka dan dukanya” “Baik, guru” jawab Paksi dengan suara yang bergetar. Paksi pun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Ki Marta Brewok. “Aku mohon diri guru” desis Paksi. Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi, “Baik-baiklah membawa dirimu” Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, “Baik, guru” Demikianlah, Paksi pun melangkahkan kakinya menyusuri pinggir alun-alun itu. Kemudian berbelok dan keluar melintasi jalan kota yang sepi. Sambil melangkah, Paksi mengamati jalan yang sudah dikenalnya dengan baik, namun yang sudah lebih dari satu tahun ditinggalkannya. Tetapi masih belum banyak yang berubah. Bangunan di sebelah-menyebelah jalan masih yang dahulu itu juga. Jantung Paksi terasa berdenyut semakin keras ketika ia menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumahnya. Halaman rumah yang cukup luas. Rumahnya pun termasuk rumah yang baik sebagaimana rumah seorang Tumenggung. Ketika tangan Paksi menguak pintu regol rumahnya, hatinya pun menjadi semakin bergetar. Namun Paksi pun kemudian melangkah dengan mantap menuju ketangga pendapa. Malam telah menjadi semakin larut. Dikejauhan terdengar suara kentongan dengan irama titir. “Tengah malam” desis Paksi, “Pangeran Benawa tentu telah berbuat sesuatu. Menjelang pagi, Pangeran Benawa akan datang kerumah ini untuk mengambil cincin itu” Beberapa saat kemudian Paksi berdiri termangu-mangu di depan pintu pringgitan. Namun kemudian tangannya diangkatnya. Paksi mengetuk pintu rumahnya perlahan-lahan. Agaknya seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Demikian pula ayah, ibu dan adik-adiknya. Paksi pun telah mengetuk pintu rumahnya lagi. Agak lebih keras dari semula. Ternyata ketukan itu telah membangunkan ayah dan ibunya. Keduanya memang menjadi bimbang. Ketukan pintu di tengah malam itu menimbulkan berbagai prasangka pada keduanya. “Siapa?” terdengar suara ayah Paksi. “Aku ayah, Paksi” “Paksi?” nama itu sangat mengejutkannya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ibunyalah yang berlari ke pintu sambil menyebut nama itu, “Paksi. Kau benar Paksi?” Tetapi Ki Tumenggung dengan cepat menangkap lengannya sambil berkata, “Tunggu. Apakah benar yang datang itu Paksi” “Aku tidak dapat melupakan suaranya” “Sudah lama ia meninggalkan rumah ini. Segala-galanya tentu sudah berubah” “Tetapi suara itu tidak berubah sama sekali” “Tetapi kau tidak boleh tergesa-gesa. Mungkin suaranya tidak berubah. Mungkin yang datang itu memang Paksi. Tetapi apakah Paksi masih sama seperti Paksi yang dahulu atau tidak” “Paksi tidak akan pernah berubah. Ia adalah anakku” “Baiklah. Sambutlah anakmu itu” desis Ki Tumenggung. Ibu Paksi itulah yang kemudian mengangkat selarak pintu. Yang berdiri dimuka pintu memang Paksi. Demikian pintu terbuka, maka Paksi pun segera berjongkok di depan ibunya. Diraihnya tangan ibunya dan kemudian diciumnya. “Paksi. Paksi” desis ibunya. Ditariknya bahu Paksi agar anak muda itu berdiri. Kemudian, dipeluknya anak laki-lakinya yang sudah hampir satu setengah tahun mengembara. Paksi memeluk ibunya pula. Air mata yang mengalir dan membasahi bahu Paksi, terasa hangat. Mata Paksi terasa menjadi hangat pula. Ketika ibunya melepaskan pelukannya, maka Paksi pun berjongkok di hadapan ayahnya pula sambil berkata “Ayah, aku pulang” Ayahnya memandang wajah Paksi. Tetapi Paksi menunduk sehingga ayahnya tidak dapat melihat wajahnya itu. “Kau datang darimana, Paksi?” bertanya ayahnya. Paksi menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Bahkan ibunya pun menjadi heran pula, sehingga ibunya pun itu menyahut “Bukankah Paksi pergi menjalankan perintah kakang Tumenggung” “O, benar begitu, Paksi?” Paksi tidak menjawab. Tetapi pengalamannya dalam pengembaraan, membuatnya menjadi bertambah lantip. Ia tahu kemana arah pertanyaan ayahnya itu. Karena itu, maka Paksi justru menunggu, apa yang akan ditanyakan ayahnya lebih lanjut. “Paksi” berkata ayahnya kemudian, “kau belum menjawab pertanyaanku” “Maksud ayah?” Paksi justru bertanya. “Apakah selama ini kau telah pergi menjalankan perintahku?” “Ya, ayah” jawab Paksi. Tetapi Paksi pun tahu, bahwa ayahnya akan segera bertanya apakah ia berhasil atau tidak. Bahkan ayahnya tentu akan mengingatkannya, bahwa ayahnya itu telah berpesan, agar ia tidak kembali sebelum ia berhasil menemukan cincin bermata tiga itu. Paksi harus menahan senyumnya ketika ia mendengar ayahnya itu bertanya “Kau ingat, bagaimana bunyi perintahku?” “Ingat ayah” jawab Paksi, “meskipun perintah itu ayah ucapkan setahun yang lalu” “Sebut bunyi perintahku itu” berkata ayahnya kemudian. “Biarlah ia duduk dahulu. Biarlah ia minum atau makan atau beristirahat dahulu. Ia baru datang setelah setahun meninggalkan rumah” “Jangankan setahun” jawab ayahnya, “seorang laki-laki akan melakukan tugasnya sampai tuntas. Sebelum selesai, maka seorang laki-laki pantang berhenti meskipun harus dilakukan seumur hidupnya” “Tetapi Paksi itu sekarang ada disini. Ia tidak akan lari. Kakang akan dapat bertanya kapan saja kepadanya” “Aku ingin mendengar jawabnya, apakah ia dapat menyelesaikan tugasnya sampai tuntas atau tidak sebelum ia masuk kedalam. Jika tugasnya belum tuntas, tidak pantas jika ia masuk kedalam rumah kita” “Biarlah ia masuk” “Tidak” Ki Tumenggung itu membentak. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa Nyi Tumenggung itu pun membentak pula “Tidak. Aku akan membawa Paksi masuk kedalam rumahnya sendiri” Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Diluar sadarnya, ia bertanya, “Kau berani membantah kata-kataku, Nyi?” “Aku sudah tua. Aku sudah cukup lama menunjukkan kesetianku kepadamu, kakang. Jika sekarang aku bersikap lain, karena aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Baik bagi badanku, mau pun bagi namaku. Apa pun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Jika kau ingin menghinakan aku, lakukanlah” Jantung Paksi menjadi bedebar-debar. Tetapi ia tidak sempat memikirkannya. Ibunya telah menariknya dan membawanya masuk keruang dalam. Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak mencegah ketika kemudian Nyi Tumenggung membimbing Paksi masuk keruang dalam. Sejenak kemudian Paksi pun telah duduk di ruang dalam. Dengan lembut ibunya berkata, “Duduklah Paksi. Aku akan membuat minuman bagimu” Paksi tidak menjawab. Tetapi dipandangnya ayahnya yang berdiri dengan wajah yang tegang. “Kau tidak akan pergi lagi, Paksi. Kau akan tetap berada di rumahmu” Paksi masih tidak menjawab. Sementara itu ibunya pun beranjak dari tempatnya untuk pergi kedapur. Namun ia sempat berkata, “Biarkan ia beristirahat dahulu, kakang. Jangan kau usik anak itu dengan segala macam pertanyaan yang dapat mengganggu ketenangannya” Paksi mendengarkan perselisihan itu dengan jantung yang berdebaran. Setelah melakukan pengembaraan lebih dari setahun panggraitanya menjadi semakin tajam. Karena itu, pembicaraan ayah dan ibunya yang keras itu telah menimbulkan berbagai tanggapan didalam hatinya. Namun ayahnya benar-benar tidak mengganggunya. Bahkan kemudian ayahnya itu masuk kedalam biliknya tanpa menutup pintu rumahnya. Karena itu, maka Paksi pun kemudian bangkit berdiri untuk menutup pintu yang terbuka itu. Didapur, ibunya telah membangunkan seorang pembantunya untuk menyiapkan minum dan makan bagi Paksi. “Hangatkan sayurnya” berkata ibu Paksi itu, “anak itu tentu kedinginan dalam perjalanannya yang panjang” Dalam pada itu, ibu Paksi itu pun segera masuk keruang dalam. Dilihatnya Paksi yang sedang menutup dan menyelarak pintu rumahnya. “Duduk sajalah Paksi” berkata ibunya, “kau tentu letih. Sebaiknya kau beristirahat. Mungkin kau ingin mandi atau berbenah diri” Paksi merasakan kesejukan kasih seorang ibu. Ia membayangkan betapa seorang ibu telah siap berkorban, meskipun anaknya sudah mengusirnya. Agaknya ibunya juga akan bersedia berkorban sebagaimana ibu Wicitra. Tetapi Paksi harus merenungi sikap ayahnya. Pembicaraan ayah dan ibunya yang pendek itu cukup keras. Tetapi Paksi pun harus menepati waktu sebagaimana dibicarakannya dengan Pangeran Benawa. Karena itu, sebelum Pangeran Benawa datang, cincin itu harus sudah berada di tangan ayahnya. “Kemana saja kau selama ini, Paksi. Aku sangat rindu kepadamu” Paksi mencoba untuk tersenyum. Ia tidak ingin membuat perasaan ibunya semakin pedih. Karena itu, maka wajah Paksi itu justru nampak gembira. Katanya, “Satu pengalaman yang menarik, ibu. Aku telah melihat daerah yang luas sekali” “Apakah kau tidak mengalami peristiwa-peristiwa buruk di perjalanan?” “Tidak, Ibu. Jika sekali-sekali kakiku terantuk batu, bukankah itu wajar sekali?” Ibunya menarik nafas panjang. Ia mengerti bahwa Paksi ingin menenteramkan hatinya. Namun ibunya itu terkejut ketika Paksi itu pun bertanya, “Dimana ayah?” Ibunya mengerutkan dahinya. Ia tahu bahwa suaminya berada didalam biliknya. Bahkan Ki Tumenggung itu tentu mendengar pertanyaan Paksi itu. “Bukankah ayahmu berada didalam biliknya?” “Aku ingin berbicara dengan ayah” “Bukankah dapat kau lakukan besok pagi? Beristirahatlah. Makanlah atau jika sebelumnya kau akan mandi dahulu. Kemudian berganti pakaian. Pakaianmu nampak lusuh dan kotor. Berapa bulan kau tidak berganti pakaian?” Paksi tertawa. Katanya, “Aku selalu mencucinya, ibu. Aku sengaja tidak menyediakan ganti pakaian. Setiap kali aku mencuci disungai, maka aku pun ikut berjemur sampai pakaian itu kering” “Kau bawa pula tongkat kayu, sehingga ujudmu benar-benar seperti seorang pengembara” Paksi tertawa. Katanya, “Tongkat ini tongkat wasiat, ibu. Seseorang memberikan kepadaku sebagai kenang-kenangan, itulah sebabnya, aku membawanya kemana-mana” “Bagaimana jika pakaianmu yang selembar itu koyak?” “Aku dapat membeli di pasar. Bukankah aku mempunyai uang?” “Jadi uang bekalmu itu masih ada? atau kau sudah menjual perhiasan yang ibu berikan kepadamu?” “Uang itu masih ada ibu. Aku tidak banyak membelanjakannya selama dalam pengembaraan” “Bagaimana kau makan sehari-hari?” Wajah Paksi nampak cerah. Ia teringat kepada kebunnya di lereng gunung Merapi. Sambil tertawa Paksi berkata, “Aku sempat berkebun di tanah yang subur, ibu” “Tanah siapa?” “Tanah tanpa pemilik. Aku membuka tanah di pinggir sebuah hutan” ketika Paksi melihat kerut didahi ibunya, ia segera berkata, “menyenangkan sekali. Satu pengalaman yang sulit aku dapatkan tanpa pengembaraan ini” Ibunya mengangguk-angguk. Namun karena ia melihat wajah Paksi yang cerah, maka hatinya pun menjadi terang pula. Bayangan-bayangan tentang kehidupan Paksi yang penuh dengan penderitaan menjadi semakin kabur. Bahkan ibu Paksi itu pun kemudian dapat tersenyum pula sebagaimana Paksi. Apalagi Paksi menganggap pengalaman hidupnya itu sangat berarti baginya, serta beberapa ceritera jenaka yang terjadi di perjalanannya. Namun kemudian Paksi itu pun bertanya lagi, “Dimana ayah, ibu” “Kau akan berbicara dengan ayahmu?” “Ya” “Penting sekali?” “Ya, ibu. Aku ingin menyampaikan hasil pengembaraanku” Ibunya termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jadi kau berhasil?” Sebelum Paksi menjawab, ayahnya sudah keluar dari dalam biliknya. Ia memang mendengar pembicaraan Paksi dan ibunya. Dengan tergesa-gesa ia pun bertanya “Jadi kau berhasil, Paksi?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ayahnya melangkah mendekatinya. Paksi pun telah bersiap-siap untuk mengamati wajah ayahnya disaat ia mendengar bahwa perjalanannya berhasil. “Ayah. Aku telah melakukan perintah ayah sejauh dapat aku lakukan. Ternyata Yang Maha Penyayang telah menuntun perjalananku sehingga aku berhasil” “Cincin itu?” “Ya, ayah” “Kau dapatkan cincin itu?” “Ya” “Lihat, apakah cincin itu benar-benar cincin yang dimaksud. Cincin bermata tiga butir batu akik yang berbeda warnanya dan jenisnya” Paksi pun kemudian telah mengambil cincin yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya. “Apakah benar cincin ini yang ayah maksudkan?” Mata Ki Tumenggung itu terbelalak. Ia melihat tiga butir mata cincin itu bagaikan bercahaya. Dengan tergesa-gesa diambilnya cincin itu dari tangan Paksi. Diamatinya cincin iu dengan seksama. Tiba-tiba Ki Tumenggung itu tertawa. Semakin lama menjadi semakin keras. “Kakang Kakang Tumenggung” panggil Nyi Tumenggung. Bahkan kemudian sambil mengguncang-guncang lengan suaminya, “kenapa kakang tiba-tiba kehilangan kendali seperti ini?” Suara tertawa itu memang mereda. Ki Tumenggung itu pun duduk sambil berkata, “Ternyata kau adalah anak yang sangat baik, Paksi. Kau dapat melakukan tugas yang dibebankan di pundakmu sehingga berhasil. Memang cincin inilah yang dicari selama ini” Paksi tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa kegembiraan itu tidak akan berumur panjang. Sebelum matahari terbit, Pangeran Benawa akan datang untuk mengambil cincin itu. “Dimana kau dapat cincin ini?” bertanya ayahnya kemudian. “Dikaki Gunung Merapi di sisi Selatan, ayah” Ayahnya mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun bertanya “Bagaimana kau mendapatkan cincin itu?” Paksi sudah menduga bahwa ayahnya akan bertanya seperti itu kepadanya. Karena itu dengan lancar ia pun menjawab, “Dalam samadi aku seakan-akan melihat bintang kecil yang jatuh dibalik segerumbul pepohonan. Ketika aku memburunya, maka ternyata aku menemukan sebuah telaga kecil dibalik gerumbul itu, ayah. Ketika aku mendekat, maka aku melihat cahaya tiga warna didalam air. Entah apakah yang meyakinkan aku waktu itu, tetapi aku pun segera terjun kedalam air menuju ke sumber cahaya itu. Ternyata aku mendapatkan cincin ini” “Paksi” berkata ayahnya, “aku tahu, bahwa banyak orang yang mencari cincin ini. Apakah kau tidak bertemu atau bahkan berebutan dengan mereka?” “Hanya akulah yang berada di telaga kecil pada waktu itu, ayah. Tidak ada orang lain. Baru kemudian, aku mengetahui bahwa di lereng sebelah Selatan Gunung Merapi banyak orang yang memburu cincin itu” “Dari mana kau tahu, bahwa mereka sedang memburu cincin itu sedangkan cincin itu sudah berada di tanganmu” “Dimana-mana terjadi keributan. Yang satu menuduh yang lain menyembunyikan. Bahkan ada seorang yang mencari seorang yang bernama Pangeran Benawa yang menurut kata mereka, telah melarikan cincin itu dari istana” “Jadi perebutan itu terjadi di tempat-tempat terbuka?” “Bahkan di pasar, di kedai, dimana saja” jawab Paksi, “di pasar aku juga pernah melihat dua orang saling menuduh. Bukan menyembunyikan cincin, tetapi menyembunyikan Pangeran Benawa” Ayah Paksi itu tertawa berkepanjangan. Katanya “Apa yang kau lakukan? Kau tentu mentertawakan mereka karena kaulah yang telah membawa cincin itu” “Ya, ayah. Tetapi aku justru harus berhati-hati. Aku takut bahwa cahaya mata cincin itu akan menembus kantong ikat pinggangku. Karena itu, aku selalu menyingkir jika terjadi perselisihan diantara mereka” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya “Bukankah kau tidak berbohong, Paksi?” Paksi mengerutkan dahinya. Katanya, “Maksud ayah?” “Tidak. Aku percaya kepadamu. Terima-kasih, Paksi” Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibawanya cincin itu kedalam biliknya. Ibu Paksi itu pun menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya kepala anaknya sambil berkata, “Yang Maha Penyayang memberi jalan kepadamu untuk menyelesaikan tugasmu dengan baik” Paksi mengangguk kecil. Katanya, “Ya, ibu. Aku memang tidak berkeputusan memohon” “Permohonanmu ternyata didengarNya” “Ya, ibu” Namun pembicaraan mereka terhenti. Ia melihat Ki Tumenggung keluar dari biliknya dan dengan tergesa-gesa pergi ke belakang. “Ayah” panggil Paksi yang menjadi cemas. Tetapi Ki Tumenggung tidak mendengarnya. Bahkan ia berjalan terus ke belakang lewat pintu butulan. Paksi seakan-akan diluar sadarnva telah bangkit pula mengikuti ayahnya sampai ke pintu. Dari pintu butulan ia melihat ayahnya memanggil seorang pembantunya. Dengan singkat Ki Tumenggung itu memberi perintah-perintah. Paksi yang memiliki Aji Sapta Pangrungu sempat mendengar ayahnya berkata “Pergilah. Katakan, bahwa lampu itu telah menyala di Katumenggungan” Paksi tahu bahwa ayahnya telah memberi isyarat sandi. Tetapi agaknya pembantu ayahnya itu sudah tahu kemana ia harus pergi, sehingga tanpa disebut pun ia tidak bertanya. Ketika orang itu pergi ke kandang kuda, maka Paksi pun telah melangkah mundur dan kembali keruang dalam. Ayah Paksi pun telah masuk pula. Tanpa berpaling kepada Paksi dan ibunya yang berdiri termangu-mangu, Ki Tumenggung pun masuk kembali kedalam biliknya. Namun ibu Paksi itu pun kemudian berkata, “Apakah kau akan mandi dahulu sebelum makan?” Paksi ragu-ragu sejenak. Ia harus mengawasi ayahnya. Jika saja ayahnya menyerahkan cincin itu kepada orang lain. “Pembantu yang membawa isyarat sandi itu perlu mendapat perhatian khusus” berkata Paksi didalam hatinya. Karena itu, maka Paksi itu pun berkata, “Aku tidak mandi sekarang” “Jadi?” Sambil tersenyum Paksi berdesis, “Besok saja ibu. Dalam pengembaraan aku terpaksa tidak terlalu rajin untuk mandi” Ibunya pun tersenyum. Tetapi ia tidak memaksa. Karena itu, sejenak kemudian, Paksi itu justru duduk di ruang dalam untuk makan. Namun dari tempatnya Paksi tahu jika ayahnya meninggalkan biliknya atau jika ada orang lain yang masuk kedalam bilik itu. Paksi sengaja makan dengan perlahan-lahan. Karena ibunya menungguinya, maka Paksi pun berceritera panjang lebar tentang pengembaraannya. Paksi membuat dongeng tentang samadinya sehingga ia melihat bintang kecil yang seakan-akan jatuh dari langit, yang ternyata adalah cincin itu. Setiap kali ibunya mengangguk-angguk. Nampak kekaguman memancar di sorot mata ibunya. Ternyata anak laki-lakinya itu adalah anak laki-laki yang berani. Berbeda dengan bagian-bagian yang dirahasaikan, Paksi bercerita tentang keranda yang terbang di malam hari. Seluruh Kademangan menjadi ketakutan. Namun akhirnya Paksi dapat membongkar rahasia keranda terbang itu. “O. Kau tidak menjadi katakutan melihat keranda terbang itu, Paksi?” “Tentu tidak ibu. Sejak semula aku sudah tidak percaya bahwa ada keranda yang dapat terbang” “O, orang-orang Kademangan itu tentu berterima-kasih kepadamu” “Aku memang menjadi pahlawan ibu” Ibunya tertawa. Ceritera itu menjadi sangat menarik baginya. Sementara itu, kedua adik Paksi pun telah terbangun pula. Mereka pun kemudian telah ikut duduk diruang dalam menunggui Paksi yang sedang makan. Ternyata keduanya juga senang mendengarkan dongeng yang dibuat oleh Paksi. Bahkan keduanya tertawa tergelak-gelak ketika Paksi berceritera pula kepada mereka tentang keranda yang terbang itu. Kedatangan Paksi membuat kedua adiknya itu bergembira., Selama Paksi pergi, berganti-ganti mereka bertanya, kenapa Paksi tidak segera pulang. Karena itu mereka merasa benar-benar gembira ketika Paksi berada di rumah lagi. “Bukankah kakang tidak akan pergi lagi?” bertanya adik perempuan Paksi. “Tidak” ibunya yang menjawab. “Ayah tidak memerintahkan kakang untuk mencari cincin itu lagi?” “Ah, jangan berbicara tentang cincin itu” desis ibunya yang mengetahui bahwa cincin itu adalah benda yang menjadi bahan rebutan banyak pihak. Adik laki-laki Paksi pun berdesis “Kami bukan kanak-kanak lagi, ibu. Kami tahu, bahwa kami tidak boleh berbicara tentang cincin itu disembarang tempat. Tetapi bukankah disini tidak orang lain?” Paksi tertawa. Adiknya memang sudah nampak remaja. Tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang bidang mengisyaratkan bahwa adiknya adalah seorang laki-laki yang kokoh. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya. Karena itu, maka Paksi pun berkata, “Tentu, kau tentu sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi barangkali adikmu masih harus diberitahu tentang sesuatu yang rahasia” “Uh, kakang mengira bahwa aku masih kanak-kanak?” Paksi tertawa pula. Katanya, “Setahun lebih aku mengembara. Kau sudah nampak benar-benar seperti seorang gadis” “Ah” Tetapi adik laki-laki Paksi pun menyahut, “Sekali-sekali sudah ada anak muda yang memandanginya tanpa berkedip” Adik perempuan Paksi itu bangkit. Namun kakaknya dengan cepat bergeser. Katanya, “Jangan” Paksi tertawa berkepanjangan. Ia senang melihat adik-adiknya yang nampak bergembira. Agak berbeda dengan Paksi sendiri. Sebelum ia meninggalkan rumahnya, jarang sekali ia sempat bergurau. Ada saja yang harus dilakukannya. Sebagai anak seorang Tumenggung, Paksi termasuk seorang anak muda yang prihatin. Namun justru dalam pengembaraannya, Paksi menemukan sesuatu yang berharga bagi dirinya. Dalam pada itu, malampun bertambah dalam. Paksi yang sudah selesai makan, masih belum beranjak dari tempatnya. “Beristirahatlah, Paksi” berkata ibunya kemudian. “Sebentar ibu” jawab Paksi, “baru saja aku selesai makan” “Tetapi kau tentu letih” “Sedikit” jawab Paksi, “tetapi aku tidak apa-apa. Adik-adikku masih ingin mendengarkan aku berceritera tentang pengembaraanku” Ibunya memandang adik-adik Paksi berganti-ganti. Katanya, “Apakah kalian tidak akan tidur lagi?” “Aku senang mendengarkan kakang Paksi berceritera” jawab adik perempuannya. Ibunya menarik nafas panjang. Sementara Paksi pun menyahut, “Aku juga masih belum ingin tidur ibu” Ibunya tidak dapat memaksa mereka. Bahkan ibunya juga masih saja duduk bersama mereka diruang dalam. Mangkuk-mangkuk nasi dan sayur serta lauknya seadanya, masih belum disingkirkan. Sebenarnyalah bahwa Paksi menunggu kedatangan Pangeran Benawa. Menurut pembicaraan mereka, Pangeran Benawa akan datang menjelang fajar. Sambil menunggu, Paksi mengisi waktunya dengan berceritera kepada adik-adiknya. Ceritera yang dikarangnya sekenanya saja. Namun yang dapat menimbulkan gelak dan tawa. Dalam pada itu, malampun beringsut menjelang dini. Ayam jantan sudah terdengar berkokok lagi. Adik perempuan Paksi itu sudah mulai menguap. Ia mulai mengantuk lagi. “Tidurlah” berkata ibunya, “masih ada waktu beberapa lama sebelum pagi” Adik perempuan Paksi itu pun kemudian bangkit sambil berkata, “Bukankah kau tidak akan pergi lagi, kakang?” “Tidak” jawab Paksi. “Besok kau harus berceritera lagi. Panjang sekali.” “Gantian” besok akulah yang akan berceritera. “Apa yang dapat kau ceriterakan?” “Banyak. Kancil yang suka mencuri timun” Adik perempuannya bergeser mendekatinya. Tetapi adik laki-laki Paksi itu bergerak lebih cepat menjauh. “Sudahlah” berkata ibunya “tidurlah. Kakakmu tentu merasa letih. Tetapi karena ia tidak mau mengecewakan kalian, maka ia masih bertahan” Adik perempuan Paksi itu pun kemudian telah pergi ke biliknya lagi. Demikian pula adik laki-laki itu pun berkala, “Aku akan tidur lagi, kakang. Kakang tentu juga letih” Paksi tersenyum. Katanya, “Tidurlah. Sebentar lagi aku juga akan tidur” Ketika kedua orang adiknya sudah tidur, maka ibunya pun berkata, “Tidurlah. Bilikmu masih bilik yang dahulu. Setiap hari aku membersihkannya. Karena itu, jika kau mau tidur, di bilikmu tidak terdapat banyak debu” Paksi itu mengangguk. Katanya, “Baik ibu. Aku akan pergi ke pakiwan lebih dahulu” Sejenak kemudian, setelah mencuci muka, tangan dan kakinya, Paksi pun telah duduk lagi di ruang dalam. Ibunya telah menyediakan pakaian sepengadeg jika Paksi mau berganti. “Pakaianmu kusut dan kotor, Paksi” Tetapi Paksi tertawa. Katanya, “Aku terbiasa memakai pakaian selembar ini untuk beberapa hari ibu. Kemudian mencucinya di kali sambil berjemur menunggu pakaian ini kering” “Kau sekarang ada dirumah, Paksi. Suasananya tentu berbeda. Terserahlah kepadamu” berkata ibunya kemudian, “tetapi beristirahatlah” “Baik, ibu, “ jawab Paksi. Tetapi sebelum Paksi beringsut, ia mendengar derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya. Paksi itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kuda itu hanya seekor dan langsung berlari ke belakang. Paksi pun tahu, bahwa yang datang itu adalah pembantunya yang tadi yang menjalankan perintah ayahnya membawa isyarat sandi. Sebenarnyalah, ayah Paksi yang juga mendengar derap kaki kuda itu, langsung keluar dari biliknya. Membuka pintu butulan dan bertanya saja sambil berdiri di pintu butulan, “Bagaimana?” “Sudah Ki Tumenggung” jawab orang itu. “Bagus” berkata Ki Tumenggung tanpa keluar dari pintu butulan. Setelah menutup pintu butulan, maka ayah Paksi itu pun segera kembali kedalam biliknya. Sekilas ia memandang Paksi yang masih duduk di ruang dalam bersama ibunya. Tetapi ia sama sekali tidak bertanya. Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia pun tidak bertanya apa-apa pula. Ia hanya memandangi ayahnya yang kembali masuk kedalam biliknya. “Ternyata ayah juga belum tidur” berkata Paksi didalam hatinya. Paksi pun tahu, bahwa ada sesuatu yang dilakukan oleh ayahnya dengan cepat. Agaknya ayahnya juga tidak ingin terlambat. Namun Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu. Tetapi tentu ada hubungannya dengan cincin yang baru saja dibawanya pulang. Karena itu, Paksi menjadi gelisah. Ia berharap bahwa Pangeran Benawa akan datang mendahului rencana ayahnya itu. Tetapi ibunya pun lelah bertanya lagi kepadanya, “beristirahatlah, Paksi. Bukankah kau letih?” Paksi tersenyum. Katanya “Baik ibu. Aku akan beristirahat. Tapi beberapa saat lagi fajar akan menyingsing” “Masih ada waktu meskipun hanya sedikit” Paksi memang pergi ke biliknya. Tetapi ia tidak berbaring dan apalagi memejamkan matanya. Paksi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Tetapi kemudian ia justru menjadi bimbang. Siapakah yang datang itu. Pangeran Benawa atau orang-orang yang telah meneriman isyarat ayahnya. Diluar sadarnya, Paksi tiba-tiba saja meraih tongkatnya yang disandarkannya di dekat pembaringannya. “Jika orang-orang itu bukan Pangeran Benawa dan akan mengambil, cincin itu, aku harus mencegahnya, apa pun yang terjadi” berkata Paksi didalam hatinya. Sejenak menunggu. Bahkan Paksi pun kemudian telah berdiri dipintu biliknya. Sejenak kemudian terdengar pintu pringgitan di ketuk orang. Agaknya beberapa orang telah naik ke pendapa dan langsung ke pringgitan. Karena tidak segera ada jawaban, maka pintu itu telah diketuk lagi. Lebih keras. Ibu Paksi pun telah berada di biliknya pula. Dengan nada cemas, ibunya itupur. berkata, “Kakang Tumenggung. Kakang dengar orang mengetuk pintu?” “Ya” jawab Ki Tumenggung. “Siapakah mereka itu?” bertanya istrinya. Ki Tumenggung itu bangkit dari pembaringannya. Disambarnya kerisnya dan dikenakannya di punggungnya. Sambil mengenakan bajunya ia bertanya, “Siapa diluar?” “Aku Ki Tumenggung” terdengar jawaban. “Apakah kalian tidak dapat datang besok? Ini bukan waktunya untuk datang ke rumah seseorang” Paksi mendengar kata-kata ayahnya itu. Dengan demikian Paksi tahu, bahwa yang datang itu tentu bukan orang-orang yang memang ditunggu oleh ayahnya, kecuali jika mereka dengan sengaja membuat satu permainan. Tetapi ketukan pintu itu terdengar lagi. Terdengar suara diluar pintu, “Ada sesuatu yang sangat penting, Ki Tumenggung. Bukalah pintumu” “Datanglah besok pagi” “Aku perlu sekarang. Bukalah pintumu atau aku akan membukanya sendiri” Ki Tumenggung menjadi bimbang. Meskipun sudah menyelipkan keris dipunggungnya, Ki Tumenggung itu masih menyambar tombak pendek di plonconnya. Sementara itu Paksi pun telah keluar dari biliknya pula. Bahkan adik laki-lakinya yang juga menggenggam tombak pendek. Ki Tumenggung memang nampak ragu-ragu. Namun terdengar suara diluar, “Ki Tumenggung. Bukalah pintunya. Yang datang adalah Pangeran Benawa” Paksi menarik napas dalam-dalam. Tetapi tidak seorang pun yang memperhatikannya, karena orang-orang diruang dalam itu memusatkan perhatiannya kepada pintu pringgitan yang tertutup rapat dan diselarak dari dalam. Ki Tumenggung benar-benar menjadi tegang. Bahkan ia pun telah berpaling. Dipandanginya Paksi dan adik Paksi itu berganti-ganti. Namun ayah Paksi itu tidak mengatakan sesuatu. “Ki Tumenggung” terdengar suara yang lain. Paksi langsung dapat mengenali suara itu. Suara Wijang. Tetapi ia tentu datang sebagai Pangeran Benawa. “Aku datang untuk satu keperluan yang penting. Tolong Ki Tumenggung, bukalah pintu rumahmu. Aku bukan perampok yang akan merampok kekayaanmu” Ki Tumenggung masih saja ragu-ragu. Nyi Tumenggung berdiri dibelakangnya dengan tubuh gemetar. Sementara itu Paksi dan adiknya berdiri tegak di depan bilik mereka masing-masing. Namun Ki Tumenggung tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pintu pringgitan. “Kakang” desis Nyi Tumenggung. “Masuklah kedalam bilik Nyi” Nyi Tumenggung yang masih saja berdiri dengan gemetar. Paksi lah yang kemudian mendekatinya. Dibimbingnya ibunya masuk kedalam biliknya, “Sebaiknya ibu berada didalam bilik saja” Nyi Tumenggung itu masih saja ragu-ragu. Namun Paksi membimbingnya, bahkan sedikit mendorongnya sehingga ibunya itu pun kemudian masuk kedalam biliknya..... Ki Tumenggung pun kemudian telah mengangkat selarak pintu rumahnya. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tumenggung itu pun melangkah mundur sambil mengangguk dalam-dalam. “Pengeran Benawa” desis Ki Tumenggung. “Bukankah namaku telah disebut” “Hamba Pangeran. Tetapi hamba masih ragu-ragu. Di jaman seperti ini, banyak orang-orang yang memanfaatkan nama-nama orang penting untuk mengelabui orang lain” Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Aku mengerti, Ki Tumenggung. Aku tidak menyalahkan Ki Tumenggung yang berhati-hati, sehingga Ki Tumenggung harus membawa tombak untuk menyambut kedatanganku” “Hamba mohon ampun, Pangeran” “Barangkali Ki Tumenggung dapat menyimpan tombak pendek itu” “Hamba Pangeran” Ketika Ki Tumenggung kemudian meletakkan tombaknya didalam plonconnya, maka Pangeran Benawa pun bertanya, “Apakah kedua anak muda itu anak Ki Tumenggung” “Hamba Pangeran” jawab Ki Tumenggung. “Aku melihat keduanya agak berbeda. Tapi mungkin yang aku lihat hanya ujud lahiriahnya saja. Yang satu berpakaian wajar dimalam hari, sedangkan yang lain berpakaian agak aneh. Kusut dan kumal” Ki Tumenggung memandang Paksi sekilas. Pakaiannya memang kusut dan kumal. Tetapi ia tidak menyangka bahwa Pangeran Benawa bakal datang malam itu dan sempat memperhatikan pakaian Paksi. Paksi sendiri memandang Pangeran Benawa yang tersenyum. Pangeran Benawa yang dikenalnya bernama Wijang itu berpakaian lengkap sebagaimana seorang Pangeran. Meskipun di malam hari, tetapi Pangeran Benawa itu memang hadir sebagai Pangeran diiringi oleh beberapa orang pengawal. Karena Ki Tumenggung sulit untuk menjawab pertanyaan itu, maka Pangeran Benawa pun kemudian berkata, “Sudahlah. Mungkin anak Ki Tumenggung yang satu itu memang lebih senang berpenampilan aneh seperti seorang pengembara” “Hamba Pangeran” sahut Ki Tumenggung sambil membungkuk hormat. “Nah, Ki Tumenggung. Aku minta maaf, bahwa malam-malam begini aku datang kerumah Ki Tumenggung. Ada sesuatu yang penting sekali yang harus aku bicarakan, menyangkut masa depan dari Kerajaan Pajang” Jantung Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam Ki Tumenggung itu bertanya, “Apakah titah Pangeran?” “Ki Tumenggung. Selagi aku samadi, maka aku telah menerima satu isyarat yang sangat mendebarkan jantungku. Seakan-akan ada suara yang berdengung di telingaku, bahwa sebuah bintang akan jatuh dari langit” Pangeran Benawa itu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Rasa-rasanya ada pula yang mendorongku keluar sanggar. Sebenarnyalah aku telah melihat sebuah bintang kecil yang melayang dilangit dan jatuh dipermukaan bumi. Aku tidak tahu dengan pasti, arti dari isyarat itu. Tetapi pada waktu yang hampir bersamaan, Kiai Waskita, nujum istana telah datang menemuiku, justru saat aku masih berdiri di halaman sanggar. Kiai Waskita juga menerima isyarat yang menurut pendapatnya sangat penting. Cincin Kerajaan yang hilang telah kembali ke Pajang. Tetapi tidak langsung masuk ke bangsal pusaka. Aku masih harus mengambil cincin itu” Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin berdebaran. Arus darahnya bagaikan arus banjir bandang didalam nadinya “Ki Tumenggung” berkata Pangeran Benawa, “menurut petunjuk Kiai Waskita serta isyarat yang aku terima, maka aku harus mengikuti cahaya yang menyala seperti pelita menyusuri jalan-jalan kota. Meskipun mula-mula aku tidak melihat pelita itu, tetapi aku pun telah bersiap bersama beberapa pengawal. Ternyata petunjuk Ki Waskita itu benar. Beberapa saat kemudian aku memang melihat cahaya api seperti pelita yang keluar dari bangsal pusaka. Aku dan para pengawalku mengikuti nyala pelita itu. Aku sendiri tidak menyangka, bahwa pelita itu akhirnya memasuki halaman rumah ini dan bahkan masuk kedalam menyusup pintu meskipun pintunya tidak terbuka” Keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Tumenggung. Namun dengan gagap Ki Tumenggung itu menjawab, “Ampun Pangeran. Hamba tidak mengerti, apa yang Pangeran maksudkan?” “Ki Tumenggung. Cincin kerajaan itu sekarang ada disini. Nah, jika Ki Tumenggung menyimpan cincin itu, tolong, berikan cincin itu kepadaku. Aku, atas nama ayah anda akan sangat berterima-kasih. Besok aku akan melaporkannya kepada ayahanda agar ayahanda itu sendiri memanggil Ki Tumenggung menghadap” “Tetapi hamba mohon ampun. Hamba sama sekali tidak tahu menahu tentang cincin kerajaan itu, Pangeran” “Maaf Ki Tumenggung. Bukannya aku tidak percaya kepada Ki Tumenggung. Tetapi barangkali Ki Tumenggung khilaf, tolong, apakah cincin itu ada disini atau tidak” Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Pangeran Benawa itu telah memberi isyarat kepada seorang yang menyertainya sambil berkata, “Kiai, kemarilah” Seorang tua yang jambang, kumis dan janggutnya sudah bercampur putih, melangkah maju. Matanya nampak sayu. sebuah tongkat bambu digenggamnya dengan tangan kirinya. “Ampun, Pangeran” desis orang itu. “Nah, katakan, dimana cincin itu berada” Orang itu mengangkat wajahnya. Kemudian dimiringkannya kepalanya, seakan-akan ia sedang mendengarkan sesuatu. “Cincin itu ada disini Pangeran” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Tumenggung dengan tajamnya. Katanya, “Nah, kau dengar Ki Tumenggung. Cincin itu ada disini” “Tetapi…, Pangeran Hamba tidak tahu, apakah sebenarnya yang Pangeran kehendaki. Hamba sama sekali tidak tahu tentang cincin yang Pangeran maksudkan” “Kiai. Apakah Ki Tumenggung atau kau yang telah berbohong” “Ampun Pangeran Hamba sama sekali tidak berani berbohong” Tiba-tiba saja orang yang disebut Ki Waskita itu memandang Paksi dengan tanpa berkedip. Bahkan kemudian orang itu maju selangkah mendekatinya. Paksi memang terkejut melihat kehadiran orang itu. Orang itu telah dikenalnya dengan baik, karena orang itu adalah Ki Marta Brewok. Tetapi penampilannya yang berbeda, serta kehadirannya di rumahnya itu memang membuat Paksi juga bertanya-tanya. Ki Marta BrewoK nampak jauh lebih tua dari yang dikenalinya. Ia membuat jambang, kumis dan janggutnya menjadi bercampur putih. Bahkan nampak punggungnya sedikit bongkok bertumpu pada sebatang tongkat bambu. Beberapa saat setelah Paksi berpisah dengan Wijang, ia masih sempat duduk di pinggir alun-alun beberapa lama. Baru kemudian ia meninggalkan Ki Marta Brewok itu untuk pulang sambil membawa cincin bermata tiga itu. “Agaknya Ki Marta Brewok seorang yang dekat dengan Pangeran Benawa” berkata Paksi didalam hatinya. Dalam pada itu, Ki Marta Brewok yang oleh Pangeran Benawa disebut Kiai Waskita itu pun mendekati Paksi sambil berkata, “Nah, anak muda. Aku melihat getar yang lain pada sorot matamu. Kenapa kau menjadi sangat gelisah d an ketakutan?” Paksi benar-benar menjadi bingung, sementara Kiai Waskita melangkah semakin dekat “Aku melihat hubungan anak ini dengan cincin itu, Pangeran. Kemudian aku melihat pula hubungan Ki Tumenggung dengan cincin itu pula” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun suaranya masih tetap bernada rendah, “Ki Tumenggung. Jangan mempersulit tugasku. Atau ayahanda sendiri yang harus datang kemari? Bukankah itu tidak sewajarnya bahwa seorang raja harus turun dari istana untuk mengambil sebuah cincin, meskipun cincin itu cincin kerajaan?” Ki Tumenggung benar-benar menjadi bingung. Meskipun Pangeran Benawa masih mengendalikan diri sepenuhnya, namun Pangeran yang masih muda itu akan dapat bertindak lebih keras lagi sesuai dengan kemudaannya. Sementara itu Kiai Waskita pun berkata, “Maafkan aku Ki Tumenggung. Jika aku mengatakan yang sebenarnya itu sama sekali bukan karena aku mengada-ada. Tetapi isyarat itu kami lihat dengan jelas. Maksudku, Pangeran Benawa melihatnya dan aku juga melihatnya. Aku tidak tahu apakah ada orang lain yang juga melihatnya, sehingga mereka pun akan datang kemari untuk berusaha merebutnya dari tangan Ki Tumenggung. Ki Tumenggung justru berdiri seperti patung. Jantungnya bergejolak didalam dadanya. Dalam pada itu, dengan ujung tongkat bambunya, Kiai Waskita itu menyentuh perut Paksi sambil bertanya, “He, anak muda. Katakan sesuatu tentang cincin itu. Apakah cincin itu ada padamu sehingga Ki Tumenggung tidak tahu menahu?” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Paksi pun menjawab, “Aku tidak tahu yang Kiai Waskita maksudkan. Jika disini dipersoalkan sebentuk cincin, maka aku sama sekali tidak tahu, cincin apakah yang sedang dipersoalkan itu” Tetapi Kiai Waskita tertawa. Katanya “Kau tidak dapat menyembunyikan kegelisahanmu. Nah, katakan. Dimana cincin itu” Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan tegas Paksi menjawab pula, “Aku tidak tahu” “Kau membuat Pangeran Benawa marah” berkata Kiai Waskita. Paksi tidak menjawab. Ketika ia memandang Pangeran Benawa, maka dilihatnya Pangeran Benawa itu tersenyum. Katanya “Anak muda. Jika kau mengetahui dimana cincin itu disimpan, tolong katakan kepadaku. Kau akan mendapat ganjaran yang memadai dengan keterangan itu, karena cincin kerajaan itu akan segera kembali ke bangsal pusaka” Paksi menggelengkan kepalanya. Katanya “Hamba tidak mengetahui Pangeran” Pangeran Benawa tertawa. Ia pun melangkah mendekati Paksi. Diamatinya pakaian Paksi yang kusut itu. Bahkan kemudian Pangeran Benawa itu melangkah mengitarinya. “Pakaianmu aneh, anak muda. He, apakah kau benar anak Ki Tumenggung seperti juga anak muda yang satu itu?” Paksi mengangguk. “Kenapa kau memakai pakaian seperti ini?” Paksi tidak segera dapat menjawab. Tetapi tanpa disengaja ia memandang sepengadeg pakaian yang sudah disediakan oleh ibunya. “Anak muda” berkata Pangeran Benawa, “kau masih mempunyai waktu untuk mengatakan, dimanakah cincin itu” Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab. Dalam kediaman itu, ruangan dalam rumah Ki Tumenggung itu terasa dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri di hadapan Paksi pun mulai bersikap lebih keras. Katanya “Jangan menghambat tugasku anak muda. Pada saat matahari terbit nanti, aku harus menghadap ayahanda dan menyerahkan cincin itu” “Pangeran” berkata Paksi kemudian, “hamba tidak tahu menahu yang Pangeran maksudkan” “Sekali lagi aku bertanya” Pangeran Benawa itu mulai membentak, “dimana cincin itu, he. Aku dapat mempergunakan kuasaku atas nama ayahanda untuk memaksamu berbicara” Sementara itu Kiai Waskita pun berkata, “Katakan anak muda. Katakan agar kau terlepas dari kemarahan Pangeran Benawa” Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab. Sebenarnyalah Paksi memang menjadi bingung. Apa yang harus dikatakannya. Sebelumnya Wijang dan Kiai Mana Brewok tidak mengatakan bahwa ia akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Paksi terkejut ketika ia mendengar Pangeran Benawa itu berkata, “Bawa semuanya ke halaman” “Pangeran” sahut Ki Tumenggung, “apa maksud Pangeran?” Pangeran Benawa mengulangi perintahnya, “Bawa semuanya ke halaman” Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa itu pun segera bergerak. Mereka pun segera membawa Ki Tumenggung, Paksi dan adik laki-laki Paksi. Namun dalam pada itu, ia mendengar Ki Marta Brewok berbisik, “Kau harus tetap ingkar, Paksi” Paksi mengerutkan dahinya. Namun dengan demikian ia tahu, apa yang harus dilakukannya. Sejenak kemudian, mereka lelah berada di halaman. Paksi didorong berdiri di tengah-tengah. Pangeran Benawa yang berdiri dihadapannya itu pun bertanya sambil bertolak pinggang, “Siapa namamu, anak muda” “Nama hamba Paksi, Pangeran” jawab Paksi. “Nah Paksi. Katakan, dimana cincin itu sekarang. Menurut Kiai Waskita, menilik sikapmu dan tentu saja dari penglihatan yang lebih dalam dari sekedar melihat sikap dan ujud lahiriah itu, kau tahu dimana cincin iiu sekurang” “Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu, apakah yang Pangeran maksudkan dengan cincin kerajaan itu” Wajah Pangeran Benawa menjadi tegang. Suaranya menjadi semakin keras, “Katakan, Paksi. Selagi kau masih mempunyai kesempatan” “Ampun Pangeran. Apa yang mesti hamba katakan” Nampaknya kemarahan Pangeran Benawa tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba ia berkata kepada salah seorang pengawalnya, “Berikan cambuk itu” Paksi benar-benar menjadi tegang. Demikian pula Ki Tumenggung dan adik laki-laki Paksi itu. “Kau mau mengatakan dimana cincin itu atau tidak, Paksi” “Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu” Tiba-tiba cambuk yang berjuntai panjang itu meledak. Paksi terkejut, sehingga ia bergeser selangkah surut. Ki Tumenggung pun benar-benar menjadi cemas. Bukan karena Paksi yang akan disakiti. Tetapi yang dicemaskan adalah bahwa Paksi akan terpaksa mengatakan, bahwa cincin itu telah diberikan kepadanya. “Paksi” bentak Pangeran Benawa, “aku tidak terbiasa melakukan dengan cara ini. Tetapi kali ini aku terpaksa melakukannya jika kau tetap tidak mau menunjukkan cincin itu. Paksi sama sekali tidak menjawab. Pangeran Benawa itu pun kemudian melangkah maju. Sementara Kiai Waskita telah mendekatinya sambil berkata, “Anak muda. Bukankah lebih baik jika kau tidak disakiti. Katakan dimana cincin itu” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun telinga Paksi itu pun kemudian mendengar perlahan-lahan sekali, “Rapatkan kakimu” Paksi tidak tahu, apa maksud Ki Marta Brewok. Tetapi Paksi itu pun kemudian berdiri tegak dengan kedua kakinya yang merapat. “Kiai Waskita” berkala Pangeran Benawa, “menyingkirlah. Biarlah aku memaksa anak itu berbicara dengan caraku” Ki Marta Brewok yang disebut Kiai Waskita itu pun kemudian bergeser menjahui Paksi sambil berkata, “Jangan biarkan tubuhmu sakit, ngger” Tetapi Paksi tetap berdiam diri. Pangeran Benawa lah yang kemudian mendekati Paksi. Tiba-tiba saja cambuknya terangkat dan terayun deras sekali menyambar kaki Paksi. Satu ledakan yang keras kemudian terdengar. Adik Paksi memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat kaki kakaknya itu dikoyak oleh juntai cambuk yang panjang itu. Paksi sendiri mengatupkan giginya rapat-rapat serta meningkatkan daya tahan tubuhnya. Namun ternyata Paksi sendiri merasa heran, bahwa lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit di kakinya, ujung cambuk itu rasa-rasanya hanya melingkari kakinya saja tanpa melukainya. Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun membentak lagi, “Nah, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakannya?” Paksi benar-benar berdiri tegak seperti patung. Ia sama sekali tidak bergerak, tetapi juga tidak berbicara. Sekali lagi cambuk itu meledak. Juntainya melingkar di arah paha Paksi. Tetapi seperti yang pertama, lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit. Namun demikian, orang-orang yang menyaksikan lecutan-lecutan cambuk itu kulitnya terasa meremang. Adik laki-laki Paksi bukan saja memejamkan matanya, tetapi ia bergeser dan berpaling. Sementara Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Jika Paksi tidak tahan lagi, maka ia tentu akan berbicara tentang cincin yang sudah diserahkan kepadanya itu. Dalam pada itu, ketika Pangeran Benawa siap untuk mengayunkan cambuknya lagi, tiba-tiba ibunya berlari menghambur lewat pintu pringgitan menuruni tangga pcndapa, langsung memeluk anaknya. Sambil menangis ibu Paksi itu pun berkata, “Ampun Pangeran. Jangan sakiti anakku. Jika anakku salah dan harus dihukum, hukum saja hamba Pangeran” “Anakmu bersalah” berkata Pangeran Benawa. “Anakku tidak tahu apa-apa, Pangeran” “Minggirlah, Nyi Tumenggung” “Tidak. Aku tidak akan pergi. Biarlah aku yang mengalaminya. Biarlah aku dicambuk bahkan sampai mati sekalipun. Tetapi jangan anakku” Pangeran Benawa berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Nyi Tumenggung yang menangis itu dengan tajamnya. Sementara itu, Paksi merasakan betapa hangatnya ia berada didalam pelukan ibunya. Setahun lebih ia mengembara, seakan-akan terlempar dari keluarganya. Seakan-akan Paksi itu tidak lebih dari kleyang kabur kanginan. Seperti daun kering yang diterbangkan angin. Terbayang kembali peristiwa yang menimpa Wicitra. Ibunya juga memeluk Wicitra seperti ibunya. Ibu Wicitra itu juga bersedia menggantikan hukuman anaknya seperti ibunya. Tetapi ayahnya berbeda dengan ayah Wicitra. Jika ayah Wicitra bersedia mati bagi anaknya, ayahnya sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika ia dicambuk. Untunglah bahwa yang mencambuk itu adalah Pangeran Benawa yang agaknya dapat mempermainkan cambuknya sehingga tidak sangat menyakitinya, meskipun juntai cambuk itu juga terasa menyengat kakinya. Ki Tumenggung lah yang kemudian menjadi tegang. Pangeran Benawa itu melangkah mendekatinya dengan cambuk ditangannya. “Ki Tumenggung segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung tidak mau menunjukkan cincin itu kepadaku, maka aku akan memaksamu” “Pangeran” berkata Ki Tumenggung, “hamba adalah seorang Tumenggung. Pangeran tidak dapat berbuat seperti itu terhadap hamba. Meskipun Pangeran adalah putera Kangjeng Sultan. Tetapi apakah Pangeran berhak menghukum hamba, seorang Tumenggung yang diangkat berdasarkan kekancingan Kangjeng Sultan Hadiwijaya” “Aku tidak akan menghukum Ki Tumenggung. Tetapi aku akan membawa Ki Tumenggung menghadap ayahanda. Kiai Waskita akan menjelaskan segala-galanya kepada ayahanda. Sementara itu, aku akan menggeledah rumah Ki Tumenggung. Kiai Waskita akan tahu, apakah cincin itu ada dirumah ini atau tidak” “Pangeran” wajah Ki Tumenggung menjadi tegang, “hamba mohon Pangeran mengerti. Hamba tidak membawa cincin itu” Pangeran Benawa tidak menghiraukannya. Katanya, “Aku sendiri akan mencari cincin itu didalam bersama Kiai Waskita” “Pangeran” potong Ki Tumenggung. Tetapi Pangeran Benawa itu berkata selanjutnya, “Bawa Ki Tumenggung dan anak ini kembali masuk kedalam” Kepada Nyi Tumenggung Pangeran Benawa berkata, “Jika anak muda itu tidak Nyi Tumenggung lepaskan, maka ia akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi” Nyi Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Kiai Waskita lah yang mendekatinya sambil berkata, “Nyi. Untuk kepentingan anakmu sendiri. Lepaskanlah anak itu. Ia akan kami bawa masuk kedalam bersama Ki Tumenggung untuk mencari cincin itu” Nyi Tumenggung masih belum melepaskan Paksi, sehingga Kiai Waskita berkata, “Aku akan menanggung keselamatan anakmu” Dengan sorot mata penuh kebimbangan Nyi Tumenggung itu memandang Kiai Waskita. Dengan nada yang meyakinkan Kiai Waskita berkata, “Percayalah kepadaku” Akhirnya Nyi Tumenggung melepaskan Paksi yang kemudian digiring memasuki rumahnya kembali oleh Kiai Waskita sementara Ki Tumenggung telah dibawa oleh para pengawal Pangeran Benawa naik ke pendapa kemudian memasuki pringgitan. Namun sementara itu Ki Marta Brewok sempal berdesis di telinga Paksi, “Dimana cincin itu disimpan?” “Dibawa masuk kedalam bilik ayah” bisik Paksi. Sejenak kemudian Ki Tumenggung dan Paksi itu lelah berada diruang dalam. Beberapa orang pengawal berdiri didepan pintu. Pangeran Benawa yang berada diruang dalam itu pun kemudian bertanya kepada Kiai Waskita, “Kiai, barangkali kita tidak dapat memaksa Ki Tumenggung untuk berbicara. Bahkan mungkin Ki Tumenggung benar-benar tidak tahu bahwa cincin itu ada di rumah ini, karena cincin itu datang sendiri. Karena itu, kita akan mencari dengan cara kita sendiri” Kiai Waskita mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku akan mencoba, Pangeran” Sejenak kemudian, Kiai Waskita itu pun berdiri ditengah-tengah ruang dalam. Ia pun merenung sesaat. Kemudian seperti orang yang mendengarkan sesuatu yang tidak jelas, Kiai Waskita memiringkan kepalanya. Tiba-tiba saja Kiai Waskita itu melangkah perlahan-lahan. Tangan kirinya bertumpu pada tongkatnya. Punggungnya yang agak bongkok menjadi semakin bongkok. Kepala Ki Tumenggung menjadi pening ketika ia melihat orang yang disebut Kiai Waskita itu melangkah kepintu bilik Ki Tumenggung. Didepan pintu Kiai Waskita itu berhenti. Katanya “Menurut pengamatan hamba, cincin itu ada didalam bilik ini, Pangeran” “Ini bilik siapa Ki Tumenggung?” “Bilik hamba, Pangeran” “Nah, Ki Tumenggung. Kami akan mencari cincin itu di-bilik Ki Tumenggung. Tetapi agar Ki Tumenggung tidak menuduh kami mengambil sesuatu milik Ki Tumenggung, aku minta Ki Tumenggung menunggui kami disaat kami mencari cincin itu didalam bilik Ki Tumenggung” “Sebenarnya hamba memang berkeberatan, Pangeran. Didalam bilik itu tersimpan perhiasan-perhiasan Nyi Tumenggung. Benda-benda pusaka simpanan hamba dan benda-benda berharga lainnya” Pangeran Benawa mengangguk-anguk. Katanya, “Aku mengerti, Ki Tumenggung. Jika demikian, aku persilahkan Ki Tumenggung sajalah yang mencari cincin itu. Kami akan menungguinya. Seperti yang aku katakan, mungkin cincin itu datang sendiri ke rumah ini. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang Ki Tumenggung sendiri tidak tahu” “Tetapi…” “Seharusnya Ki Tumenggung tanggap akan maksudku dengan kesempatan yang aku berikan ini. Karena aku mempunyai cara lain yang tentu tidak akan Ki Tumenggung senangi” Ki Tumenggung berdiri termangu-mangu. Sementara Pangeran Benawa berdesis perlahan, “Cara ini mungkin untuk menyatakan bahwa Ki Tumenggung tidak bersalah” Ki Tumenggung tidak dapat berbuat lain. Ia menyadari, bahwa Pangeran Benawa sudah memberikan kesempatan kepadanya, sehingga ia dapat dianggap tidak bersalah. Tetapi beratnya untuk menyerahkan cincin itu. Cincin yang diburu oleh Paksi untuk waktu yang panjang. Lebih dari setahun. Tetapi jika Pangeran Benawa kehilangan kesabaran dan menggeledah sendiri bilik itu dan menemukannya, maka ia tidak akan dapat ingkar, bahwa ia dapat dituduh menyembunyikan cincin Kerajaan atau bahkan lebih buruk dari itu. Ia dapat dituduh mencuri cincin Kerajaan yang hilang itu karena terbukti dapat diketemukan dirumahnya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu akhirnya berkata, “Baiklah, Pangeran. Aku akan mencarinya. Memang mungkin cincin itu turun dari langit dan langsung masuk kedalam rumahku dan bahkan kedalam bilikku” Dengan lesu Ki Tumenggung itu pun kemudian masuk ke-dalam biliknya. Sementara Pangeran Benawa berdiri dipintu. Memang tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung selain mengambil cincin itu dan kemudian menyerahkannya kepada Pangeran Benawa. Pangeran Benawa yang berdiri dimuka pintu menerima cincin itu sambil tersenyum. Namun ia pun masih juga berdesis perlahan sekali, “Ki Tumenggung, sebenarnyalah Kiai Waskita tahu bahwa cincin itu tidak turun dari langit. Tetapi cincin itu tentu dibawa oleh seseorang kemari. Getaran panggraitanya yang tajam tidak dapat ditipu dengan cara apa pun juga. Tetapi jika aku berkata demikian dihadapan para pengawal, maka berarti harus ada orang yang ditangkap dan dituntut karena telah menyembunyikan cincin kerajaan” Ki Tumenggung tidak menyahut. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun demikian, terasa didadanya seakan-akan ombak di lautan yang didera prahara berdeburan menghantam tebing. “Nah, sudahlah. Persoalan ini aku anggap selesai. Aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Besok aku akan menghadap ayahanda dan berusaha untuk meredam persoalan ini agar tidak berkepanjangan” “Terima-kasih, Pangeran” desis Ki Tumenggung. “Sekarang, aku minta diri” Ketika kemudian Pangeran Benawa keluar dari ruang dalam, maka para pengawalnya yang berdiri dimuka pintu pringgitan pun mengikutinya pula. Demikian pula Kiai Waskita dan Ki Tumenggung. Dibelakangnya Paksi melangkah dengan ragu-ragu. Namun demikian Pangeran Benawa berada di pendapa bersama beberapa orang pengawalnya serta Kiai Waskita, tiba-tiba saja diluar dugaan siapapun, Ki Tumenggung itu berkata, “Ampun Pangeran… Jika hamba boleh berterus terang. Anak hamba itulah yang telah membawa cincin ini pulang” “He” Pangeran Benawa itu benar-benar terkejut mendengar pengakuan itu. Demikian pula Ki Marta Brewok dan apalagi Paksi sendiri. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri tegak di pendapa itu bertanya dengan suara bergetar, “Apakah kau berkata sebenarnya?” “Hamba Pangeran. Pangeran melihat sendiri, bahwa anak hamba itu masih mengenakan pakaian seorang pengembara. Dalam pengembaraannya itulah ia menemukan cincin itu dan dibawanya pulang. Diserahkannya cincin itu kepada hamba, sehingga dengan demikian hamba tidak tahu menahu, dari mana anak hamba itu mendapatkan cincin kerajaan itu” Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa serentak bergeser. Meskipun mereka belum menerima perintah apapun, namun mereka tiba-tiba saja sudah bersiaga. Untuk beberapa saat Pangeran Benawa tercenung. Ia memang agak bimbang menanggapi laporan Ki Tumenggung itu. Namun Pangeran Benawa itu pun tanggap pula, bahwa dalam saat yang gawat itu, Ki Tumenggung masih sempat berusaha untuk menyingkirkan anak sulungnya itu. Paksi sendiri pun segera mengetahui maksud ayahnya itu. Dengan demikian, maka Paksi lah yang harus bertanggung-jawab tentang cincin kerajaan yang berada di rumahnya itu. Pendapa rumah Ki Tumenggung itu pun kemudian telah dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang tidak siap menghadapi keadaan itu, memang harus berpikir, apa yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu, para pengawalnya telah siap untuk menjalankan perintah yang setiap saat diucapkan dari mulutnya. Pangeran Benawa memang dapat menguasai para pengawalnya itu dengan baik. Ia pun dapat memerintahkan para pengawalnya untuk merahasiakan apa yang terjadi seandainya dikehendakinya. Tetapi Pengeran Benawa tidak yakin, bahwa sekian banyak mulut para pengawalnya itu tidak ada satu pun yang terlanjur mengucapkan rahasia itu kepada orang lain sehingga rahasia itu akan dapat merambat sampai ke mana-mana, seandainya ia mengabaikan laporan Ki Tumenggung. Pengeran Benawa pun kemudian telah melangkah mendekati Ki Tumenggung. Pangeran Benawa itu berdiri hanya selangkah saja dihadapannya. “Kenapa tidak kau katakan hal ini sejak aku datang? Kenapa kau ingkar, bahwa dirumah ini terdapat cincin Kerajaan?” “Ampun Pangeran. Hamba hanya ingin melindungi anak hamba” “Jika demikian, kenapa justru pada saat segala-galanya aku anggap selesai, kau justru mengatakan bahwa anakmulah yang telah membawa cincin itu?” “Pangeran. Hamba ternyata tidak dapat mempertahankan kebohongan itu. Perasaan bersalah telah menekan jiwa hamba, sehingga akhirnya hamba memang harus berterus-terang. Kenyataan yang buruk tidak akan dapat disembunyikan selama-lamanya, sehingga akhirnya aku memilih untuk berterus-terang” “Ternyata kau memberikan pengakuan yang berbelit-belit, Ki Tumenggung. Tetapi baiklah. Aku sadari, bahwa aku tidak dapat bertindak tergesa-gesa terhadap seorang Tumenggung yang mendapat surat kekancingan langsung dari ayahanda. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada ayahanda. Tetapi tentang anakmu, akulah yang akan menentukan, apakah anakmu akan digantung atau dipancung” Tiba-tiba terdengar ibu Paksi menjerit. Ia pun berlari dan sekali lagi memeluk anaknya. “Jangan bawa anakku” teriak Nyi Tumenggung. Pangeran Benawa yang tidak menduga menghadapi persoalan itu memang agak menjadi bingung. Apa yang sebaiknya dilakukan. Namun dalam pada itu, Kiai Waskita pun telah mendekati Nyi Tumenggung sambil berkata, “Kau tidak dapat menahan anakmu, Nyi. Ia harus ikut bersama Pangeran Benawa” Namun kemudian hampir berbisik Kiai Waskita berkata, “Jangan cemas, Nyi. Aku akan melindunginya” Tiba-tiba tangis Nyi Tumenggung itu mereda. Nada suara itu pernah didengarnya. Lembut dan menyentuh perasaannya. Kiai Waskita itu pun berkata pula, “Lebih baik kau menyerahkan anakmu daripada persoalannya berkepanjangan. Jangan membuat Pangeran Benawa merasa terganggu dengan tingkahmu, Nyi” Namun kemudian Kiai Waskita itu berbisik lagi, “Percayalah kepadaku” Nyi Tumenggung tidak menyadari, pengaruh apa yang telah mencengkam jantungnya, sehingga Nyi Tumenggung itu melepaskan anaknya. Sementara Paksi sendiri berbisik, “Memang ibu jangan cemas. Aku sudah mengenal Kiai Waskita dengan baik” “Berkidunglah tembang Asmarandana, Nyi” desis Kiai Waskita kemudian, “kau pandai melagukannya. Kemudian kau pun harus selalu berdoa kepada Sang Pencipta untuk keselamatan anakmu” Kiai Waskita itu pun kemudian telah menarik lengan Paksi sambil berkata, “Ikut kami. Jika kau ingin membawa tongkatmu, bawalah” Paksi tidak menolak. Katanya kepada ibunya, “Aku minta diri ibu” Ibunya melepaskan Paksi dengan air mata yang mengalir di pipinya. Tetapi ada sesuatu yang aneh pada orang berewok yang bernama Kiai Waskita itu. Suaranya yang lembut itu seakan-akan pernah didengarnya. Bahkan orang itu menyebut tembang yang memang sering dilagukannya dahulu. Terasa ada sesuatu yang aneh pada orang itu. Namun Nyi Tumenggung itu pun tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia percaya kepada orang itu. Kiai Waskita pun kemudian telah membawa Paksi turun ke halaman. Sementara Pangeran Benawa pun telah bersiap pula meninggalkan halaman rumah itu. Seorang pengawal telah memegangi kendali kudanya ketika tiba-tiba saja beberapa orang berkuda memasuki halaman rumah Ki Tumenggung. Namun orang itu terkejut ketika mereka melihat Pangeran Benawa ada di halaman rumah itu pula, sehingga dengan serta-merta orang-orang itu pun berloncatan turun. “Paman Harya Wisaka” desis Pangeran Benawa. Harya Wisaka tertegun sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Angger Pangeran Benawa. Kenapa angger berada disini?” “Aku telah mengambil cincin kerajaan yang hilang itu paman. Cincin itu ada disini. Kiai Waskita dengan ketajaman panggraitanya dapat menangkap getarnya sehingga kami datang kemari untuk mengambilnya. Nah, kenapa paman pagi-pagi buta juga datang kemari?” Harya Wisaka menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata nalarnya memang trampil sehingga ia pun segera menjawab, “Aku terbiasa berkuda di pagi-pagi buta mengelilingi kota. Bukankah angger tahu itu? Dengan laku seperti itu, kesehatanku akan tetap terjaga. Pada umurku sekarang, aku berani berlomba melawan anak-anak muda, khususnya dalam ketrampilan menguasai kuda. Tetapi aku pun bersedia berlomba dalam hal apa saja” Pangeran Benawa mengerutkan dahinya Katanya, “Paman memang luar biasa” “Pagi ini kebetulan aku berkuda lewat didepan rumah ini. Aku tertarik mendengar sedikit keributan, sehingga aku pun kemudian singgah” “Apakah terjadi keributan disini?” bertanya Pangeran Benawa. “Apa pun yang terjadi, tetapi yang terjadi itu sangat menarik perhatianku” “Jika demikian, baiklah. Kami akan meninggalkan tempat ini. Kami telah berhasil mendapatkan cincin itu. Kami akan membawa anak muda yang telah membawa cincin itu ke rumah ini. Anak laki-laki sulung Ki Tumenggung” Harya Wisaka tidak menyahut. Tetapi nampak wajahnya menjadi tegang. Pangeran Benawa pun kemudian telah meloncat kepunggung kudanya. Ia pun kemudian berkata kepada seorang pengawalnya, “Berikan salah satu kuda kalian kepada anak muda itu. Kalian dapat berkuda berdua” Namun sebelum kuda Pangeran Benawa itu bergerak, Pangeran Benawa itu masih berkata, “Paman, aku tertarik akan kesediaan paman untuk berlomba ketrampilan menguasai kuda tetapi juga dalam hal apa saja” “Kenapa?” bertanya Harya Wisaka. “Suatu kali aku ingin melakukannya” Wajah Harya Wisaka menjadi panas. Dengan lantang ia pun menyahut, “Bagus ngger. Aku terima tantangan itu. Kapan angger ingin melakukannya” “Terserah kepada paman. Aku siap setiap saat” jawab Pangeran Benawa sambil menggerakkan kendali kudanya. Darah Harya Wisaka tersirap. Ia merasa ditantang oleh anak-anak yang baru kemarin berani naik ke punggung kuda. Tetapi dihadapan para pengawal, Harya Wisaka tidak dapat berbuat apa-apa. Namun Harya Wisaka itu pun masih juga menjawab, “Terima kasih atas kesempatan yang angger Pangeran berikan itu. Aku tidak akan pernah melupakannya” Pangeran Benawa tidak menghiraukannya lagi. Bahkan berpaling pun tidak. Bersama para pengawalnya Pangeran Benawa meninggalkan halaman rumah ayah Paksi yang mendapat gelar Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Sepeninggal Pangeran Benawa, maka ibu Paksi pun segera berlari masuk kedalam biliknya. Ia pun segera menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringan. “Ibu” terdengar suara anak laki-lakinya, adik Paksi. Nyi Tumenggung itu pun mencoba menahan isaknya. “Jangan menangis, ibu. Kakang Paksi akan dapat menjaga dirinya sendiri” Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil berdesis, “Kenapa hal ini harus terjadi atas kakakmu. Ia baru saja pulang dari pengembaraannya. Kini ia justru telah ditangkap dan dibawa oleh Pangeran Benawa. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu justru menunjuk kakakmu ketika Pangeran Benawa itu sudah siap untuk beranjak pergi” “Aku juga tidak mengerti, ibu. Seharusnya ayah tidak melakukannya” Nyi Tumenggung itu pun bangkit ketika ia melihat anak gadis remajanya berdiri di depan pintu biliknya. “Ibu, apa yang terjadi. Aku takut sekali ibu” “Kemarilah, ngger” desis Nyi Tumenggung. Gadis remaja itu pun berlari langsung memeluk ibunya. Tubuhnya gemetar oleh ketakutan yang sangat. “Jangan takut” kakaknya mencoba untuk menenangkannya, “besok aku akan mencari keterangan tentang kakang Paksi. Aku yakin, Pangeran Benawa tidak akan berbuat sewenang-wenang” “Apa yang terjadi dengan kakang Paksi?” bertanya adik perempuannya yang tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi. “Sedikit kesalah-pahaman. Hanya itu” jawab kakaknya. “Kau harus tidur lagi, ngger” desis Nyi Tumenggung. “Sudah pagi ibu. Sebentar lagi kita harus sudah bangun” “Kembalilah ke bilikmu. Masih ada waktu untuk beristirahat” berkata kakaknya. Tetapi gadis remaja itu menggeleng, katanya, “Aku disini saja bersama ibu” Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Ibu akan pergi ke dapur dan membangunkan para pembantu. Di pendapa ada beberapa orang tamu. Ayahmu tentu minta dibuatkan minuman bagi mereka” “Aku ikut ibu pergi ke dapur” Nyi Tumenggung tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka diajaknya anak gadisnya pergi ke dapur, sementara kakaknya kembali ke biliknya. Meskipun anak muda itu kembali berbaring di pembaringannya, tetapi ia tidak dapat memejamkan matanya. Ia memang merasa heran atas tingkah laku ayahnya yang dengan sengaja menyurukkan kakaknya kedalam kesulitan. Seandainya ayahnya itu tidak menunjuk Paksi, maka menurut Pangeran Benawa, persoalannya tentu tidak akan mempermasalahkannya lagi. Sementara itu, tiba-tiba saja telah datang Harya Wisaka dengan beberapa orang pengikutnya, sehingga anak muda itu bertanya didalam hatinya, “Apakah ada hubungan antara sikap ayah itu dengan kehadiran Harya Wisaka. Atau kehadiran Harya Wisaka itu ada hubungannya dengan kedatangan kakang Paksi yang membawa cincin kerajaan itu?” Tetapi anak muda itu sama sekali tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi dalam kaitannya dengan cincin kerajaan itu. Dalam pada itu, di halaman, Harya Wisaka menjadi sangat tegang. Kemarahannya serasa membakar jantungnya ketika ia mendengar dari Ki Tumenggung tentang sikap Pangeran Benawa. “Apakah benar kau mendapat isyarat dari langit tentang kehadiran cincin itu dirumah Ki Tumenggung?” “Aku tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah menuntun Pangeran Benawa itu kemari” “Yang aku ketahui, cincin itu justru dibawa oleh Pangeran Benawa yang justru telah meninggalkan istana beberapa lama. Bagaimana mungkin cincin itu dapat jatuh ketangan anakmu” “Tetapi ternyata anakku dapat menemukannya disebuah belumbang kecil. Ia melihat cahaya yang seakan-akan jatuh dari langit dan jatuh dibelakang sebuah gerumbul. Ternyata di belakang gerumbul itu terdapat sebuah belumbang” Harya Wisaka termangu-mangu sejenak, la mencoba menghubungkan peristiwa demi peristiwa. Demikian beruntun. “Hampir saja aku justru terjebak” desis Harya Wisaka. “Aku tidak sempat memberitahukan, bahwa Pangeran Benawa telah datang kemari” jawab Ki Tumenggung. “Tetapi berhati-hatilah, Ki Tumenggung. Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang cerdik dan berani. Ia tentu mempunyai prasangka buruk terhadapku karena aku datang kemari pagi-pagi buta” “Tetapi itu lebih baik daripada Pangeran Benawa datang kemudian” berkata Ki Tumenggung. Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. la dapat langsung melibatkan aku dalam soal cincin ini” “Sekarang, semua kesalahan telah aku limpahkan kepada Paksi. Biarlah Paksi bertanggung jawab atas cincin itu” “Kenapa Ki Tumenggung justru melimpahkan tanggung-jawab kepada anak Ki Tumenggung? Kenapa Ki Tumenggung tidak justru melindunginya?” “Anak iblis. Biar ia belajar memahami arti hidup. Anak itu tidak boleh menjadi benalu dirumah, meskipun ia anakku” “Kau termasuk orang yang aneh, Ki Tumenggung. Baru saja ia pulang dari sebuah pengembaraan yang panjang sambil membawa cincin kerajaan yang hilang itu” “Tetapi kehadiran anak itu dirumah hanya akan menimbulkan bencana saja” “Apakah Ki Tumenggung akan membiarkan anak itu dihukum jika ia dianggap bersalah?” “Apa yang harus aku lakukan? Jika aku melibatkan diri, maka tentu akulah yang akan dihukum” Harya Wisaka mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita memang tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi pada anakmu yang berada di tangan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa adalah orang yang aneh” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. “Kau dengar, Pangeran Benawa itu menantang aku?” “Ya” “Banyak kemungkinan dapat terjadi” Ki Tumenggung itu tidak menjawab. “Sudahlah” berkata Harya Wisaka, “aku akan kembali. Perburuan akan beralih didalam kota. Pangeran Benawa ternyata telah berada diistana kembali. Seandainya Pangeran Benawa itu tertangkap dimasa pengembaraannya, maka sia-sialah kematiannya. Ia akan mengalami nasib yang sangat buruk, justru karena cincin itu tidak ada padanya” “Tidak seorang pun yang akan percaya bahwa cincin itu tidak ada padanya” “Ternyata cincin itu ada pada anakmu yang sekarang kau surukkan kedalam mala-petaka” Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi ia merasakan sesuatu yang ganjil pada tekanan kata-kata Harya Wisaka..... “Apakah Harya Wisaka itu telah mencurigai aku?” bertanya Ki Tumenggung itu kepada diri sendiri. Dalam pada itu, maka Harya Wisaka pun berkata, “Nah, Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Aku minta diri. Mudah-mudahan kita berhasil untuk menggenggam cita-cita” Harya Wisaka itu justru mendekati Ki Tumenggung, “Cincin itu harus jatuh ketanganku. Pangeran Benawa haruss mati. Pajang akan kehilangan seluruh masa depannya” “Bukankah ada lajur lain yang dapat temurun dan menguasai tahta Pajang?” “Cincin kerajaan itu ada padaku. Aku akan mempergunakan pengaruhnya untuk memaksakan kehendakku. Banyak orang yang akan mendukung kehadiranku di Pajang” Ki Tumenggung tidak menjawab. Sementara itu, Harya Wisaka pun telah minta diri dan meninggalkan halaman rumah Ki Tumenggung. Dalam pada itu, anak laki-laki Ki Tumenggung yang semula berbaring didalam biliknya, ternyata telah menyelinap keluar. Biliknya terasa panas sekali. Bahkan kegelisahannya membuatnya tidak betah berbaring didalam biliknya dan lewat pintu butulan ia berdiri di pintu seketeng. Diluar kehendaknya, ia justru mendengar pembicaraan ayahnya dengan Harya Wisaka. Anak muda itu menyesal sekali, bahwa ia telah mendengar pembicaraan itu. Ia merasa kecewa sekali terhadap sikap ayahnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Karena itu, yang didengarnya itu justru menjadi beban yang terasa sangat berat di hatinya. “Apa yang sebenarnya ayah kehendaki? Pangkat? Derajad? Atau apa?” bertanya anak muda itu didalam hatinya, “sekarang pun ayah telah memilikinya. Ayah adalah seorang Tumenggung. Ayah adalah seorang yang cukup dihormati. Hidupnya berkecukupan. Apalagi? Apakah ayah ingin menjadi Tumenggung Wreda atau malah menjadi seorang Patih jika benar Harya Wisaka berhasil menguasai Pajang?” Sejenak kemudian, halaman rumah Ki Tumenggung yang luas itu menjadi sepi. Harya Wisaka dan para pengikutnya telah meninggalkan halaman itu. Sementara itu Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun telah masuk pula keruang dalam. Ketika dilihatnya adik Paksi itu berada diserambi, ia pun bertanya, “ Apa yang kau lakukan disitu?” “Aku tidak dapat tidur ayah, “ jawab anak muda itu. “Dimana ibumu?” “Didapur ayah. Ibu ingin menyiapkan minuman buat tamu-tamu ayah itu” “Mereka sudah pulang” “Mungkin airnya belum mendidih” Ki Tumenggung pun kemudian telah pergi ke dapur. Dilihatnya Nyi Tumenggung duduk diamben panjang. Disisinya duduk anak perempuannya yang masih saja gemetar. “Kenapa kau umpankan Paksi, Ki Tumenggung” berkata Nyi Tumenggung. “Aku umpankan? Bukankah aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi?” “Tetapi bukankah Ki Tumenggung dapat berdiam diri tanpa menunjuk kepada Paksi?” “Jadi kau ingin leherku dijerat ditiang gantungan oleh Kangjeng Sultan?” “Bukankah Pangeran Benawa tidak membawa kakang Tumenggung? Pangeran Benawa itu sudah akan meninggalkan rumah kita ketika tiba-tiba saja kakang menyebut nama Paksi” “Pangeran Benawa memang tidak membawa aku malam ini. Tetapi besok beberapa orang prajurit akan datang dan menyeretku ke alun-alun. Ditengah-tengah alun-alun sudah siap tiang gantungan yang akan menjerat laherku itu” “Aku tidak yakin bahwa itulah yang akan terjadi atas kakang Tumenggung seandainya kakang Tumenggung tidak menyebut nama Paksi. Tetapi tadi Pangeran Benawa sudah mengatakan, bahwa Paksi akan dapat digantung atau dipancung menurut keputusan Pangeran Benawa sendiri” “Itu terjadi diluar kuasaku” “Kalau saja ayah tidak menyebut nama kakang Paksi” desis adik perempuan Paksi. “Diam kau. Kau tidak tahu apa-apa. Apakah ibumu sudah meracuni otakmu sehingga kau dapat berkata seperti itu?” Namun terdengar suara adik laki-laki Paksi dipintu dapur, “Ayah sebenarnya tidak perlu menyebut nama kakang Paksi dihadapan Pangeran Benawa” “Jadi kau juga ingin melihat tubuhku tergantung di alun-alun?” “Aku tidak ingin melihat tubuh ayah tergantung di alun-alun. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kakang Paksi dipancung besok” “Salah satu diantara kita akan dikorbankan. Aku mengenal watak Pangeran Benawa yang bengis” “Seharusnya ayah bertahan sampai saat terakhir. Jika ayah menganggap bahwa kakang Paksi memang lebih baik dikorbankan daripada ayah sendiri, maka baru pada saat terakhir, jika segala usaha sudah gagal, ayah dapat menyebut nama kakang Paksi” “Tutup mulutmu” bentak ayahnya, “kau memang dungu. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi. Karena itu, jangan ikut campur. Aku tahu apa yang terbaik yang harus aku lakukan. Aku pun harus menegakkan kembali wibawaku di rumah ini. Nyi Tumenggung harus menyadari hal ini. Aku tidak mau kau bersikap seperti saat Paksi itu datang, Nyi. Aku laki-laki dan kau tidak lebih dari seorang perempuan. Kau tahu, siapa yang berkuasa dirumah ini siapa pun kau” Nyi Tumenggung melihat mata suaminya menjadi merah. Meskipun demikian, naluri seorang ibu masih saja berusaha untuk membela anaknya. Karena itu, maka Nyi Tumenggung itu pun berkata, “Tetapi aku tidak rela, bahwa Paksi harus menanggung akibatnya karena cincin itu ada dirumah ini. Jika Paksi pergi mencari cincin itu, bukankah ia menjalankan perintah kakang? Jika ia pulang membawa cincin itu, semata-mata karena baktinya kepada ayahnya. Tetapi apa yang diperbuat ayahnya terhadapnya?” “Cukup” teriak Ki Tumenggung. Hampir saja tangannya menyambar wajah Nyi Tumenggung. Tetapi anak perempuannya segera memeluk ibunya, sementara adik laki-laki Paksi berusaha menahan tangan ayahnya. Sambil mengibaskan tangannya, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu berkata, “Persetan dengan kalian. Siapa yang tidak mau tunduk kepadaku, pergi dari rumah ini?” Namun Nyi Tumenggung menyahut, “ Siapa yang harus pergi dari rumah ini?” Telinga Ki Tumenggung bagaikan disentuh api. Tetapi anak perempuannya telah menarik ibunya kepintu, sementara anaknya laki-laki masih berusaha menghalangi ayahnya itu. Ki Tumenggung itu menggeratakkan giginya. Bagaimanapun juga wibawanya sebagai pemimpin di rumah itu memang sudah ternoda. Dalam pada itu cahaya fajar pun mulai mewarnai langit. Kemerah-merahan. Tetapi Ki Tumenggung justru kembali ke biliknya. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya. Namun matanya tidak dipejamkannya. Bahkan giginyalah yang gemeretak menahan geram di hatinya. “Aku gagal menggantungkan harapan karena cincin itu tidak jadi jatuh ketangan Harya Wisaka” katanya didalam hatinya Lalu, “Bahkan agaknya Harya Wisaka justru mencurigai aku” Tiba-tiba Ki Tumenggung itu pun bangkit. Dihentakkan tangannya padat bibir pembaringannya. Ki Tumenggung memang menjadi sangat gelisah. Demikian pula Nyi Tumenggung, meskipun dengan alasan yang berbeda. Ki Tumenggung menjadi gelisah memikirkan nasibnya sendiri, sementara Nyi Tumenggung menjadi gelisah memikirkan nasib anaknya. Tetapi hari itu, Ki Tumenggung tidak pergi ke istana untuk menjalankan tugasnya. Ia tinggal saja dirumah dengan sangat gelisah, seakan-akan sedang pasrah menunggu nasib. Ki Tumenggung memang tidak yakin, bahwa dirinya tidak akan dilibatkan dalam persoalan cincin kerajaan itu. Kadang-kadang Ki Tumenggung memang menyesal, kenapa ia tergesa-gesa menyebut nama Paksi justru pada saat Pangeran Benawa sudah menyatakan untuk menutup persoalan cincin Kerajaan yang baru saja diketemukannya itu. Namun ia pun kemudian menggeram, “Tidak. Aku sudah bersikap benar. Pangeran Benawa yang aneh itu tidak dapat dipegang kata-katanya. Meskipun ia sudah mengatakan bahwa persoalannya sudah dilepaskannya, namun dapat saja tiba-tiba Ki Tumenggung itu dipanggil menghadap ke istana untuk diadili. Atau bahkan tiba-tiba saja beberapa orang prajurit dengan membawa pertanda kekuasaan Kangjeng Sultan datang menjemputnya untuk dibawa langsung menghadap untuk menerima hukuman. Bahkan mungkin hukuman gantung atau pancung. Sehari Ki Tumenggung menunggu tetapi tidak ada utusan dari istana untuk menyampaikan perintah apapun. “Apa yang terjadi di istana?” bertanya Ki Tumenggung kepada diri sendiri. Sementara itu di rumah, Ki Tumenggung selalu marah-marah. Adik laki-laki Paksi pun tidak beranjak dari rumahnya. Ia takut bahwa tiba-tiba saja ayahnya menumpahkan kemarahannya kepada ibunya. Sementara itu, adik perempuannya selalu berada disamping ibunya. Pada hari berikutnya kegelisahan Ki Tumenggung terasa semakin mencengkam. Karena itu, maka ia tidak lagi ingin tinggal dirumah. Tetapi Ki Tumenggung itu pun telah pergi ke istana. Ki Tumenggung mencoba untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ia hadir ditempat tugasnya seperti tidak terjadi apa-apa atas dirinya dan anak laki-lakinya. Ki Tumenggung itu menjadi heran. Ia tidak mendengar seorang pun diantara kawan-kawannya bertugas menyebut-nyebut tentang cincin kerajaan yang telah diketemukan. Ia pun tidak melihat sesuatu di istana yang berhubungan dengan cincin kerajaan itu. Ia tidak melihat perubahan apa pun terjadi di bangsal pusaka. Para prajurit yang bertugas untuk menjaga bangsal pusaka itu, bertugas sebagaimana biasanya tanpa menunjukkan bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Bahkan ketika ia melihat Pangeran Benawa dengan Raden Sutawijaya melintas di halaman dalam istana, keduanya sama sekali tidak menghiraukannya meskipun ia yakin bahwa Pangeran Benawa itu telah melihatnya ditempat tugasnya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah mimpi buruk?” pertanyaan itu telah bergejolak didalam hatinya. Kepala Ki Tumenggung menjadi pening, sehingga seorang kawannya bertugas bertanya, “Apakah Ki Tumenggung Sarpa Biwada sedang sakit. Wajah Ki Tumenggung nampak pucat. Ki Tumenggung nampak sangat gelisah” Dengan gagap Ki Tumenggung itu pun menjawab, “Tidak. Aku tidak apa-apa” Kawannya mengangguk kecil. Tetapi kawannya yang lain berkata, “Baju Ki Tumenggung basah oleh keringat. Tetapi tangan Ki Tumenggung terasa begitu dinginnya” Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu pun menyahut, “Aku tidak apa-apa” Kawannya itu memang meraba tangan Ki Tumenggung yang basah oleh keringat, tetapi terasa begitu dinginnya. Hari itu memang tidak ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus. Tetapi justru karena itu, Ki Tumenggung menjadi heran. Bahkan kegelisahannya menjadi semakin menekan jantungnya. Ketika sudah waktunya pulang, maka Ki Tumenggung pun meninggalkan tempat tugasnya. Hari itu rasa-rasanya tidak ada yang dapat dikerjakan di tempat tugasnya. Tetapi demikian ia keluar dari pintu gerbang istana, langkahnya tertegun. Ia melihat Harya Wisaka berdiri bersama dua orang pengawalnya. Beberapa orang kawannya mengangguk hormat. Tetapi mereka tidak berhenti. Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada sajalah yang berhenti untuk menemuinya. “Benawa memang gila” geram Harya Wisaka. “Kenapa?” “Agaknya Pangeran Benawa itu belum melaporkan kepada Kangjeng Sultan bahwa cincin itu telah berada ditangannya” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. “Ternyata Kangjeng Sultan sama sekali tidak berbuat sesuatu. Bahkan tidak ada gerak apa pun diistana yang memberikan pertanda bahwa cincin kerajaan itu sudah kembali” “Ya. Tidak seorang pun menyebutnya. Para prajurit di bangsal pusaka pun tidak menunjukkan peningkatan penjagaan atau menunjukkan perubahan apapun. Segalanya berjalan seperti biasa. Kedatangan Pangeran itu kembali dari pengemba-raannya pun sama sekali tidak mendapat sambutan apa-apa atau barangkali Pangeran Benawa sengaja untuk menghindari sambutan itu” "Menghadapi orang seperti Benawa kita memang harus berhati-hati sekali. Ia cerdik dan tangkas bergerak. Aku masih menunggu kesempatan untuk benar-benar menantangnya berlomba ketangkasan naik kuda” “Ada yang lebih penting dari berlomba naik kuda” desis Ki Tumenggung. “Ya” sahut Harya Wisaka. “Aku juga ingin tahu, apakah yang terjadi dengan Paksi” “Kau harus bergerak untuk megetahuinya. Mungkin anakmu itu sekarang sudah mati dipancung oleh Pangeran Benawa” Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika benar, maka istriku akan dapat menjadi pingsan mendengarnya” “Dan kau sendiri?” “Entahlah” jawab Ki Tumenggung. Harya Wisaka menepuk bahu Ki Tumenggung sambil berkata, “Nampaknya kau tidak sayang kepada anak-anakmu. Jika kau bekerja keras untuk meraih masa depan yang lebih baik, untuk apa sebenarnya hal itu kau lakukan jika tidak untuk anak-anakmu” Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Harya Wisaka pun berkata, “Mungkin aku adalah orang yang paling jahanam di istana ini dengan rencana-rencanaku yang barangkali dianggap gila oleh orang lain. Tetapi semuanya itu aku lakukan bagi anak keturunanku” Ki Tumenggung sama sekali tidak menjawab. Sementara itu Harya Wisaka pun berkala, “Letakkan harapan masa depanmu padamu dan keturunanmu. Maka kau akan berjuang lebih keras lagi. Kita sudah terlanjur basah. Kita tidak dapat melangkah kembali” Ki Tumenggung mengangguk. Katanya, “Tetapi tingkah laku Pangeran Benawa dapat membuat aku menjadi gila” “Kita bukan anak-anak cengeng Ki Tumenggung. Kau pernah berada dalam jajaran keprajuritan sebelum kau dipindahkan kejabatanmu yang sekarang. Bahkan mungkin suatu saat Ki Tumenggung akan kembali bertugas diantara para prajurit. Jiwa Ki Tumenggung sudah ditempa oleh pengalaman Ki Tumenggung yang luas. Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan berusaha untuk tidak menjadi gila” Harya Wisaka tertawa. Katanya, “Jangan terlalu tegang menghadapi permainan Benawa” Ki Tumenggung mengangguk. “Setiap saat, aku akan menghubungimu, Ki Tumenggung. Ada beberapa orang kawan kita memberikan beberapa keterangan tentang usaha mereka sebelum Pangeran Benawa kembali ke istana” “Ceritanya tentu masih sama saja” jawab Ki Tumenggung. “Mungkin. Tetapi kita sebaiknya mendengar mereka. Ternyata kita terlanjur mempunyai banyak lawan” Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Siapakah sebenarnya yang disebut oleh Pangeran Benawa itu sebagai nujum istana? Sudah berpuluh tahun aku mengabdi, aku belum pernah bertemu, bahkan melihat, orang brewok yang disebut nujum istana itu” Harya Wisaka pun tertawa. Katanya, “Tentu salah satu jenis permainan Pangeran Benawa” “Ya. Agaknya memang demikian. Permainan Pangeran Benawa tentu tidak akan ada habisnya” Ki Tumenggung pun kemudian telah meninggalkan Harya Wisaka yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Harya Wisaka itu pun telah masuk kedalam istana pula. Hari itu, Ki Tumenggung masih saja dicengkam oleh kegelisahan. Rasa-rasanya hubungannya dengan seluruh keluarganya telah terputus. Ketika makan sudah disiapkan, Ki Tumenggung sama sekali tidak mau menyentuhnya. Nyi Tumenggung dan kedua anaknya pun berusaha untuk tidak menimbulkan persoalan dirumah. Mereka sadar, bahwa setiap saat jantung Ki Tumenggung itu akan dapat meledak. Di hari berikutnya, adalah hari pasowanan. Kangjeng Sultan akan hadir dipaseban. Para Pangeran, Sentana, Nayaka Praja dan orang-orang terdekat dilingkungan istana serta para pejabat tinggi istana harus menghadap. Betapapun kegelisahan mencengkam jiwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada, namun ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya Jika ia tidak dapat menghadap di hari pasowanan itu, maka akan dapat timbul prasangka buruk atas dirinya. Apalagi karena baru saja Pangeran Benawa mengambil cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu dari rumahnya. Pada saatnya, maka Kangjeng Sultan pun telah hadir dipaseban. Seperti biasanya, Kangjeng Sultan mendengarkan beberapa laporan serta berbicara langsung dengan para pejabat tinggi istana. Para pengeran serta para sentana. Namun seperti biasa hanya beberapa orang sajalah yang berbicara dalam paseban yang dilakukan setiap selapan hari sekali. Paseban yang nampaknya lebih banyak diselenggarakan sekedar memenuhi tatanan. Sedangkan pembicaraan-pembicaraan yang sebenarnya justru lebih banyak dilakukan dalam pasowanan khusus serta pertemuan-pertemuan di lingkungan istana yang lebih kecil lingkupnya. Beberapa orang yang hadir dalam paseban agung itu justru telah mengantuk. Sedangkan Ki Tumenggung Sarpa Biwada lebih banyak merenung tentang dirinya sendiri. Beberapa orang yang berbicara di paseban agung itu adalah para pejabat tinggi yang lebih banyak memberikan laporan tentang keadaan rakyat Pajang. Rakyat Pajang yang hidup dalam suasana yang aman, tenteram dan damai. Tidak ada seorang pun yang merasa tidak puas. Kehidupan yang baik serta kesejahteraan yang tinggi membuat Pajang dikagumi oleh orang-orang manca negara yang sempat berkunjung ke Pajang. Pangeran Benawa yang ikut mendengarkan laporan-laporan itu mengangguk-angguk. Tetapi setiap kali ia mendengar laporan betapa Pajang dikagumi orang dari manca negara, jantungnya menjadi berdebar-debar. “Apa yang dikagumi?” bertanya Pangeran Benawa didalam hatinya. Tetapi Pangeran Benawa melihat Kangjeng Sultan mengangguk-angguk puas. Semua laporan sangat menyenangkan hatinya serta memberikan kebanggan kepadanya. Beberapa saat kemudian, para pejabat tinggi yang berkewajiban memberikan laporan telah selesai. Orang-orang yang terkantuk-kantuk justru terbangun. Mereka berharap bahwa paseban akan segera berakhir, sehingga mereka dapat keluar dari bangsal yang terasa menjadi semakin panas itu. Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang duduk dibaris-baris belakang melihat Harya Wisaka duduk dengan kepala tunduk. Sebenarnyalah Harya Wisaka menunggu, apakah dalam paseban agung itu akan disebut-sebut pula tentang cincin kerajaan yang hilang itu. Dalam suasana yang lesu itu, tiba-tiba beberapa orang terguncang jantungnya. Kangjeng Sultan sendiri kemudian berkata, “Aku mengucapkan lerima-kasih atas kesetiaan kalian. Pekerjaan yang baik hendaknya kalian teruskan, sedangkan yang tidak baik, dapat kalian tinggalkan. Dalam kesempatan ini, aku, Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang bertahta di Pajang, ingin memberikan penghargaan dan ganjaran kepada seorang anak muda yang telah berjasa kepada keluarga istana yang juga berarti berjasa bagi Pajang. Anak muda itu bernama Paksi” Orang-orang yang semula acuh tidak acuh saja, tiba-tiba seperti terbangun dari tidur. Apalagi Ki Tumenggung Sarpa Biwada Ki Tumenggung itu terkejut bukan kepalang. Paksi telah mendapat penghargaan dan ganjaran. “Tentu karena ia dapat membawa kembali cincin kerajaan itu” berkata Ki Tumenggung didalam hati, “kenapa bukan aku saja yang mengaku telah membawa cincin itu kembali setelah aku tidak mempunyai pilihan lain” Namun dahinya pun kemudian berkerut ketika Kangjeng Sultan itu melanjutkan, “Anak muda yang bernama Paksi Pamekas itu telah membantu dan bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan puteraku, Pangeran Benawa yang mengalami kecelakaan yang berat ketika puteraku itu sedang mengembara melihat-lihat kenyataan hidup di padesan” Jantung Ki Tumenggung Sarpa Biwada seakan-akan hampir meledak. Rasa-rasanya ia ingin berteriak mengatakan bahwa ialah yang telah membawa cincin kerajaan kembali ke Pajang. Dalam pada itu, Kangjeng Sultan pun berkata, “Pangeran Benawa, Katakan apa yang telah terjadi atasmu” “Hamba ayahanda” jawab Pangeran Benawa, “mohon perkenan ayahanda” “Katakan” Pangcran Benawa itu pun kemudian berceritera bahwa ia telah tergelincir di jurang yang dalam di kaki Gunung Merapi, “Untunglah bahwa anak muda yang bernama Paksi Pamekas dengan berani menuruni tebing jurang yang terjal itu. Ia pun mengalami kecelakaan. Tetapi keadaannya jauh lebih baik dari kedaanku sendiri, sehingga ia sempat membawa aku pergi dari jurang itu dengan mengambil arah perjalanan yang lain. Ia masih sempat mencari air, menitikkan dibibirku. Memampatkan darah yang mengalir dari luka-lukaku dengan daun metir dan sawang kemladean yang sempat dicarinya disemak-semak” Mereka yang ada di paseban itu pun mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Namun Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwadalah yang menjadi sangat gelisah. “Permainan gila” geram Harya Wisaka, “cincin itu agaknya masih disembunyikannya. Namun kegelisahaan Harya Wisaka itu memuncak ketika ia melihat Pangeran Benawa itu menyembah ayahandanya. Cincin bermata tiga itu dikenakannya di jari-jari manisnya “Apakah aku yang sudah menjadi gila?” bertanya Harya Wisaka kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Harya Wisaka, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun menjadi sangat bingung menanggapi peristiwa yang terjadi itu. Ia tidak tahu pasti, apa yang sedang dihadapinya itu. Namun sebenarnyalah yang mereka lihat, Paksi telah dipanggil untuk menghadap dan menerima langsung ganjaran dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya. “Karena sifatnya sebagai seorang kesatria sejati yang bersedia berkorban untuk keselamatan orang lain tanpa pamrih, maka kepada Paksi Pamekas telah aku anugerahkan sebilah keris dengan sekampil uang. Aku tahu, bahwa kau tidak mengharapkannya. Tetapi aku titahkan kepadamu untuk menerimanya. Kau tidak dapat menolak ganjaran dari seorang raja, karena ganjaran itu akan mendatangkan keberuntungan yang berlipat ganda bagimu” Paksi menerima ganjaran itu tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia pun tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya, sehingga ia justru mendapat ganjaran. Namun Harya Wisaka itu pun berkata didalam hatinya, “Ternyata Pangeran Benawa sudah mempermainkan ayahandanya. Jika saja Kangjeng Sultan mengetahui bahwa ia termasuk sasaran permainan Pangeran Benawa, maka ia tentu akan sangat marah” Tetapi Harya Wisaka tidak melihat jalan untuk menyampaikan kepada Kangjeng Sultan bahwa Kangjeng Sultan itu sudah dipermainkan oleh puteranya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun berkata didalam hatinya, “Tentu laporan Pangeran Benawa kepada Kangjeng Sultan tidak sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Pangeran Benawa merasa sangat berterima-kasih bahwa cincin itu telah kembali kepadanya atau Paksi benar-benar telah menolongnya” Jantung Ki Tumenggung itu pun terasa berdegup semakin cepat. Bahkan ia pun mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Apakah kedatangan Paksi membawa cincin itu memang satu permainan bersama antara Paksi dan Pangeran Benawa?” Tetapi Ki Tumenggung pun bertanya kepada diri sendiri, “Tetapi dimana mereka saling mengenal?” Tetapi baik Ki Tumenggung Sarpa Biwada mau pun Harya Wisaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Setelah menyerahkan ganjaran kepada Paksi, maka Kangjeng Sultanpun menutup paseban agung itu. Namun Kangjeng Sultan itu sempat berkata kepada mereka yang datang menghadap, “Ayah Paksi, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tentu ikut merasa bahagia pula hari ini bahwa anak laki-lakinya telah mendapat ganjaran. Tetapi lebih dari itu, adalah satu kebanggan orang tua bahwa anaknya memiliki sifat seorang kesatria sejati” Beberapa orang telah berpaling kearah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Memang ada sepercik kebanggaan. Tetapi kebanggaan itu segera larut. Ketika ia mengatakan kepada Pangeran Benawa bahwa Paksi lah yang telah membawa cincin kerajaan itu pulang, justru ia berharap bahwa anaknya akan mendapat hukuman. Ia dapat dituduh mencuri cincin yang hilang itu. Pada saat Pangeran Benawa datang untuk mengambil cincin itu, Paksi telah mencoba untuk ingkar. Tetapi yang terjadi justru Paksi mendapat penghargaan sebagai seorang kesatria serta ganjaran sebilah keris bersama wrangkanya serta sejumlah uang. Dalam pada itu, sejenak kemudian, paseban agung itu telah ditutup. Setelah Kangjeng Sultan meninggalkan bangsal, mereka yang menghadap pun segera meninggalakan paseban itu pula. Beberapa orang sempat mengucapkan selamat kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Namun ketika mereka juga ingin mengucapkan selamat kepada Paksi, ternyata Paksi sudah tidak ada di paseban. Dalam pada itu, Harya Wisaka pun telah mendekati Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Dengan nada berat Harya Wisaka itu pun berdesis, “Satu permainan yang menarik. Apakah kau terlibat dalam permainan ini?” “Tidak” jawab Ki Tumenggung, “Aku justru menjadi salah seorang yang telah dipermainkan” “Tetapi sikapmu terhadap anak laki-lakimu aneh” Ki Tumenggung memandang Harya Wisaka dengan kerut didahi. Namun Harya Wisaka pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Ki Tumenggung pun kemudian meninggalkan istana itu dengan hati yang semakin risau. Ia tahu, bahwa Paksi tentu akan pulang dengan membawa ganjaran yang telah diterima. Tetapi Ketika Ki Tumenggung itu sampai dirumah, ia masih belum melihat Paksi. Agaknya Paksi itu telah dibawa Pangeran Benawa ke Kasatrian dan berada disana beberapa lama. Sebenarnyalah Paksi memang berada di Kasatrian. Di Kasatrian Paksi bukan saja berbincang dengan Ki Marta Brewok dan Pangeran Benawa, tetapi hadir juga di kasatrian itu Raden Sutawijaya. Kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa telah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Juga permainannya tentang cincin kerajaan yang dibawanya pergi itu. “Sebaiknya Kakangmas Sutawijaya sajalah yang membawa cincin itu. Pada suatu saat aku akan dapat mengalami kesulitan jika aku yang membawanya” “Cincin itu cincinmu adimas” jawab Raden Sutawijaya. “Tidak. Aku belum pernah mendapat limpahan wewenang dari ayahanda” “Bukankah itu hanya menunggu saatnya saja?” desis Raden Sutawijaya. Katanya kemudian, “Tetapi kita tahu, bahwa banyak orang yang memburu cincin itu. Antara lain adalah paman Harya Wisaka sendiri. Kita berdua mengetahui akan hal itu” “Ya, kakangmas. Ia memburuaku sampai ke kaki Gunung Merapi. Beruntunglah bahwa aku masih juga sempat pulang” “Tentu bukan hanya paman Harya Wisaka yang telah memburu adimas” “Benar kakangmas. Beberapa perguruan telah berusaha untuk mencari aku dan sudah jemu untuk diperas agar aku menyerahkan cincin itu” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Karena itu, adimas jangan pergi kemana-mana. Sebaiknya untuk sementara adimas tetap saja berada di istana” Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya, “Aku merasa seperti seekor burung didalam sangkar. Aku tidak betah, kakangmas” “Bagaimana jika adimas mohon kepada ayahanda, agar cincin itu disimpan di bangsal pusaka saja seperti sebelum cincin itu dinyatakan hilang” “Aku sudah menghadap ayahanda dan mengatakan bahwa cincin itu sudah aku ketemukan. Tetapi ayahanda nampaknya tidak begitu mempedulikan” “Apa kata ayahanda?” “Ayahanda tidak begitu menanggapinya. Menurut ayahanda, memang akulah yang membawa cincin itu. Ayahanda justru memerintahkan agar aku menyimpan cincin itu baik-baik” “Nah, bukankah itu sudah satu limpahan wewenang kepada adimas, bahwa cincin itu milik adimas?” “Tidak kakangmas. Ada bedanya. Ayahanda berkata Bawa saja cincin itu dahulu” Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Jangan terlalu risau. Bawa saja cincin itu. Jika cincin itu kau letakkan di bangsal pusaka, maka cincin itu akan benar-benar hilang. Mungkin diambil seseorang dengan kekerasan. Tetapi jika cincin itu ada di jari adimas Pangeran Benawa, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengambilnya” “Aku justru akan menjadi sasaran orang-orang yang mencari cincin itu” “Sudah aku katakan, jangan meninggalkan kasatrian. Setidak-tidaknya untuk sementara” “Tetapi siapakah sebenarnya yang meniup-niupkan berita bahwa siapa yang memiliki cincin ini akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini?” “Siapa pun yang mula-mula meniupkan berita itu, namun sekarang setiap orang sudah mempercayainya” “Sementara ayahanda sama sekali tidak menghiraukannya. Seharusnya ayahanda menyadari, bahwa hal ini akan dapat mengguncang ketenangan Pajang” “Aku sudah mencoba menjelaskan. Tetapi ayahanda menganggap bahwa persoalannya adalah persoalan kecil saja. Ayahanda minta aku tidak terlalu memikirkannya” Pangeran Benawa berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian, “ Jika saja ayahanda tahu apa yang aku lihat. Orang-orang itu memburu Pangeran Benawa seperti seorang sedang memburu tupai” “Sekali lagi aku nasehatkan, jangan meninggalkan kasatrian untuk sementara” “Bukan sekedar tentang aku sendiri, kakangmas. Tetapi tentang orang-orang yang ingin memiliki cincin bermata tiga itu. Beberapa perguruan telah mengerahkan murid-muridnya. Yang satu berbenturan dengan yang lain. Mereka saling mencurigai dan bahkan benturan-benturan kekerasan sudah sering ter-jadi” “Mulai hari ini akan tersebar berita bahwa Pangeran Benawa sudah berada di istana. Dengan demikian mereka akan berhenti bertengkar. Tidak ada lagi yang dipertengkarkan” “Tetapi paman Harya Wisaka?” “Nah, kita sekarang tinggal mengamati paman Harya Wisaka. Kau harus berhati-hati terhadap paman Harya Wisaka yang kita tahu, sangat licik. Sebenarnya paman Harya Wisaka adalah seorang yang pintar, ia banyak memilki pengetahuan dan akal. Tetapi kepandaiannya dan kecerdikannya telah disalah gunakan” “Kakangmas. Ki Tumenggung Sarpa Biwada agaknya telah bekerja-sama dengan paman Harya Wisaka” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Paksi, maka dilihatnya wajah Paksi yang tegang. “Maaf Paksi” berkata Pangeran Benawa, “aku tidak sedang mengada-ada. Tetapi bahwa Harya Wisaka datang ke rumahmu pada saat cincin itu kau serahkan kepada ayahmu, telah mengundang kecurigaanku” Paksi mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Hamba dapat mengerti, Pangeran” “Karena itu, aku ingin minta kau pulang” Paksi mengangguk lagi sambil menjawab, “Hamba Pangeran” “Sebenarnya aku merasa berat untuk membebani tugas yang aku sendiri merasa ragu, apakah kau mampu memikulnya” Paksi menundukkan kepalanya. Ia sudah menduga, tugas apakah yang akan dibebankan kepadanya. “Paksi” berkata Pangeran Benawa selanjurnya, “aku ingin minta kepadamu untuk mengamati hubungan antara ayahmu dengan Harya Wisaka” Paksi tidak segera menjawab. Ia sadar, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat baginya. Bagaimanapun juga, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu adalah ayahnya, apakah ia akan dapat mencegahnya? Raden Sutawijaya agaknya dapat membaca gejolak perasaan Paksi. Karena itu, maka ia pun berkata, “Kau tidak usah bertindak sendiri, Paksi. Kau hanya berkewajiban untuk melaporkannya kepada adimas Pangeran Benawa” Paksi mengangguk. Tetapi di wajahnya memancar keragu-raguan yang mencengkam. “Paksi” berkata Ki Marta Brewok, “pengawasan itu sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada Harya Wisaka. Bukan kepada ayahmu, meskipun pelaksanaannya memang harus dilakukan kepada kedua-duanya. Yang berniat buruk adalah Harya Wisaka. Ayahmu hanya terlibat saja. Meskipun hal itu tidak dapat terjadi jika ayahmu tidak bersedia bekerja-sama” Paksi menarik nafas panjang. Terdengar ia pun berdesis, “Aku mengerti, guru” “Nah, jika demikian, aku berharap bahwa kau dapat melakukannya dengan baik” berkata Pangeran Benawa, “namun kau harus menyadari, bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu tinggi dan tangkas berpikir. Karena itu kau harus berhati-hati” “Hamba Pangeran” Paksi mengangguk. “Dalam keadaan tertentu, Harya Wisaka dapat berbuat sangat kejam” berkata Pangeran Benawa kemudian, “kau telah melihatnya sendiri, apa yang pernah dilakukannya” “Hamba Pangeran” “Nah, dengan demikian, kau tidak saja harus mengamati hubungan ayahmu dengan Harya Wisaka. Tetapi mungkin sekali kau harus bertindak dalam keadaan yang sangat mendesak. Jika ayahmu membuat Harya Wisaka kecewa, maka Harya Wisaka tentu tidak akan segan-segan menyingkirkannya” berkata Ki Marta Brewok kemudian. “Ya, guru” “Berhati-hatilah” pesan Pangeran Benawa. Paksi mengangguk lagi. Tetapi diwajahnya masih nampak keragu-raguan. Bahkan kemudian dengan nada berat ia pun bertanya, “Apa yang harus hamba lakukan, jika hamba harus pergi lagi dari rumah? Hamba tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh ayah. Kadang-kadang hamba merasa bahwa rumah itu bukan lagi rumahku” Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya -Ayahmu memang aneh, Paksi. Tetapi untuk sementara kita berharap bahwa kau tidak akan pergi dari rumahmu” “Hubungan yang membingungkan” desis Raden Sutawijaya, “namun bagaimanapun juga, aku kagum akan sikapmu. Apa pun yang dilakukan oleh ayahmu terhadapmu, kau tetap bersikap sebagai seorang anak yang baik” Paksi tidak menjawab. Memang kadang-kadang timbul persoalan didalam dirinya, apakah ia harus bersikap lain terhadap ayahnya. Namun sejak kecil Paksi sudah diajar untuk mematuhi segala perintah ayahnya itu. Meskipun kadang-kadang ia tidak tahu apakah perintah itu wajar atau tidak. Tetapi ayahnya adalah seorang raja dirumahnya. Apa pun yang dilakukan tidak seorang pun yang dapat mencegahnya. Sedangkan apa yang dikatakan adalah kebenaran bagi seisi rumahnya. “Paksi” berkata Ki Marta Brewok kemudian, “apa pun yang pernah dilakukan oleh ayahmu, ia tetap ayahmu. Kau harus patuh kepadanya. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak dapat menyatakan pendapatmu. Tentu saja sekedar masukan bagi ayahmu. Keputusan terakhir memang ada di tangan ayahmu. Meskipun demikian setelah kau dewasa penuh, maka kau pun dapat mendengarkan kata nuranimu sendiri. Kau dapat berpijak pada landasan keyakinanmu untuk menanggapi setiap persoalan yang timbul. Namun semua itu tidak akan dapat menghapuskan hubungan antara anak dan ayah pada tempatnya masing-masing” Paksi mengangguk-angguk. Sementara Pangeran Benawa pun berkata, “Pulanglah Paksi. Ibumu tentu menjadi sangat gelisah menunggumu. Kita tidak tahu, apakah ayahmu sempat menceriterakan bahwa di paseban, kau justru telah mendapat ganjaran dari Kangjeng Sultan. Bukan hukum gantung atau hukum pancung. Sebenarnyalah malam itu aku juga menjadi bingung. Aku tidak mengira bahwa tiba-tiba ayahmu menyebut namamu. Bahkan ayahmu telah menunjuk bahwa kaulah yang telah membawa cincin itu pulang” Paksi mengangguk dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimana dengan ganjaran uang yang sekampil ini? Keris yang hamba terima merupakan ganjaran dan sekaligus penghargaan yang tidak ternilai bagi hamba. Tetapi uang itu justru membingungkan hamba” “Kenapa kau menjadi bingung? uang itu adalah uangmu” “Tetapi hamba tidak melakukan apa-apa. Apalagi menyelamatkan Pangeran” “Paksi” sahut Pangeran Benawa, “yang kau lakukan jauh lebih besar dari sekedar menolong aku yang terperosok kedalam jurang dengan memeprtaruhkan nyawamu. Jauh lebih besar dari itu. Tanpa kehadiranmu bersamaku, aku sudah menjadi lumat oleh orang-orang yang memburu cincin itu” “Pada kenyataannya justru Pangeranlah yang telah menyelamatkan hamba” “Tidak. Atau katakanlah, kita sudah bekerja bersama. Kau tidak usah membayangkan bahwa jurang itu adalah sebuah lekuk yang dalam dan berdinding batu-batu padas yang runcing. Tetapi jurang dapat berujud apa saja, sementara aku terperosok kedalamnya” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Uang didalam kampil itu terlalu banyak” “Paksi” berkata Raden Sutawijaya, “Pangeran Benawa adalah putera seorang Raja. Kau tahu, berapa besarnya kekayaan seorang raja. Nah, kau akan tahu bahwa uang didalam kampil itu tidak berarti apa-apa bagi seorang Raja” “Tetapi bagi hamba?” “Juga tidak seberapa. Bukan berarti upahmu selama kau bersama-sama dengan adimas Pangeran Benawa. Tetapi sekedar ucapan terima-kasih dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya” Paksi menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Benawa berkata, “Paksi, selain sebilah keris sebagai penghargaan yang diberikan karena sifat kesatriamu, sekampil uang sekedar pernyataan terima-kasih, maka aku juga ingin memberikan seekor kuda yang baik buatmu” “Seekor kuda?” bertanya Paksi dengan nada tinggi. “Ya. Aku tahu dirumahmu sudah ada beberapa ekor kuda, Tetapi kuda-kuda itu adalah milik ayahmu. Sekarang kau sendiri akan memiliki seekor kuda pula” Paksi memandang Pangeran Benawa dengan sinar mata yang berkilat-kilat. Sebenarnyalah ia memang ingin memiliki seekor kuda. Diam-diam ia memang sering naik kuda milik ayahnya jika ayahnya tidak ada dirumah. Tetapi jika ayahnya mengetahuinya, maka ayahnya akan selalu menjadi sangat marah. Bahkan Paksi pernah mendapat hukuman karena ia membawa seekor kuda berkeliling kota. Untunglah adik-adiknya tidak pernah melaporkannya kepada ayahnya jika Paksi setiap kali membawa kudanya keluar. Demikian pula para pembantu dirumahnya. Tetapi memang pernah terjadi, ayahnya sendiri secara kebetulan melihatnya langsung ketika ayahnya sedang bertugas. Meskipun demikian, sekali-sekali memang ayahnya memberinya kesempatan untuk berkeliling kota dialas punggung kuda, meskipun jarang sekali terjadi. Bahkan kadang-kadang bersama adik laki-lakinya. Hari itu, Paksi telah diperkenankan pulang dengan naik seekor kuda yang besar dan tegar berwarna kelabu. Kuda yang sangat baik menurut penilaian Paksi. “Terima-kasih Pangeran” berkata Paksi berulang kali. Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi sambil berkata, “Paksi. Masih ada kewajibanmu. Kau masih harus menuntaskan ilmumu, agar kau tidak dapat lagi dihanyutkan oleh ilmu cleret Tahun itu” Paksi mengerutkan dahinya, sementara Ki Marta Brewok berkata selanjurnya, “Kau jngat, bahwa kau pernah diangkat oleh angin pusaran?” Paksi mengangguk kecil. Namun kemudian jantungnya telah dicengkam oleh kegelisahan sebelum ia memasuki halaman rumahnya.....

Beberapapuisinya pernah dibacakan di Japan Foundation Jakarta (10 Agustus 2011), di UPSI Perak Malaysia (25 Februari 2012), di Rumah PENA Kuala Lumpur Malaysia(2 Maret 2012) dan di Rumah Makan
Wijang termangu-mangu sejenak, tetapi kemudian berkata, “Kali ini aku mempercayaimu. Kami akan mencarinya di tempat lain. Waktu yang diberikan oleh Eyang Resi Sapu Geni tidak terlalu panjang.” “Resi Sapu Geni?” ulang Repak Rembulung. “Aku belum pernah mendengar nama itu.” “Tentu,” potong Wijang, “kau hanya tahu nama-nama Perguruan Tegal Arang, Goa Lampin, Umbul Telu, dan perguruan-perguruan kecik lainnya.” Repak Rembulung mengerutkan dahinya. Katanya, “Apakah maksudmu dengan perguruan kecik?” “Perguruan sebesar kecik. Kecik memang terlalu kecil dibandingkan dengan kentos salak.” “Ternyata kalian terlalu sombong, anak-anak muda.” “Jika kami tidak sombong, maka kami tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran ini.” “Baik, baik,” Repak Rembulung mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi sebenarnya aku merasa sayang sekali melihat sikap dan kelakuan kalian.” “Kenapa?” “Kalian masih terlalu muda untuk terdampar dalam kehidupan seperti ini.” “Maksudmu?” “Kau mempunyai masa depan yang cerah dengan ilmu yang tinggi.” “Ya. Aku yakin itu,” jawab Wijang. Repak Rembulung tertawa. Katanya, “Kau memang terlalu yakin akan dirimu. Tetapi kau benar. Jika kalian berdua tidak sombong, maka kalian tidak akan terjun ke dalam pertempuran ini.” “Ya.” “Tetapi justru itulah yang kami maksudkan. Kenapa kalian yang muda, yang yakin akan kemampuan diri dan mendambakan hari depan yang cerah, tersekap dalam kehidupan seperti ini.” “Kehidupan seperti apa?” “Menurut kalian sendiri, kalian berasal dari Perguruan Goa Lampin. Namun kemudian kalian menganggap bahwa kami, dari perguruan kecik hanya mengenal perguruan-perguruan kecik lainnya, antara lain kau sebut pula Goa Lampin.” Wijang mengerutkan dahinya. Sementara Pupus Rembulung berkata, “Anak-anak muda, siapa pun kalian, tetapi kalian adalah anak-anak muda yang aneh bagi kami. Meskipun sejak semula kami yakin, bahwa kalian bukan orang-orang dari Goa Lampin, bahkan bukan pula pengikut orang yang bernama Ki Sapu Geni, namun sikap kalian mencemaskan kami.” “Kenapa?” bertanya Wijang. “Mudah-mudahan kalian tidak bersungguh-sungguh dan berusaha mengelabuhi dengan kekasaran kalian yang berlebih-lebihan itu. Tetapi seandainya kalian benar-benar larut dalam dunia seperti ini, maka kami sangat menyayangkannya.” “Lalu, apa yang sebaiknya harus kami lakukan?” “Kalian dapat memanfaatkan kemampuan kalian untuk kepentingan yang lebih berarti. Maksudku, seandainya kalian ada di dalam satu lingkungan, apakah itu Goa Lampin, atau pengikut Resi Sapu Geni, atau dari perguruan-perguruan gelap lainnya, maka hidup kalian tidak akan berarti apa-apa.” Wijang tertawa. Katanya, “Kalian dapat berkata seperti itu, tetapi apa yang kalian lakukan? Apakah kalian menginjak jalan kebenaran dengan sikap kalian?” “Aku sudah mengira, bahwa kau akan mengikuti keberadaan kami dalam dunia kami sekarang ini,” jawab Pupus Rembulung. “Kami memang tidak akan dapat ingkar bahwa kami telah tenggelam dalam dunia yang pekat ini. Justru karena itu aku dapat mengatakan bahwa sebaiknya kalian mencoba melihat kepada diri kalian sendiri, apa yang sekarang sedang terjadi atas diri kalian. Seandainya kami masih semuda kalian, maka kami akan berpikir ulang untuk menerjuni dunia seperti yang kami rambah sekarang. Tetapi kesadaran kami datang terlambat. Karena itulah, aku ingin memperingatkan kalian, agar kesadaran kalian tidak datang terlambat.” Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Wijang pun tertawa. Katanya, “Kalian berdualah yang aneh. Kalian sebaiknya menasehati diri kalian sendiri.” Tetapi Pupus Rembulung itu tertawa pendek. Katanya, “Baiklah, anak muda. Segala sesuatunya memang terserah kepada kalian sendiri. Apakah kalian juga akan menjadi seorang petualang seperti kami, seperti orang-orang Tegal Arang, Umbul Telu dan barangkali aku juga dapat menyebut Goa Lampin atau Resi Sapu Geni, atau seorang lurah prajurit. Hari depan kalian adalah milik kalian sendiri. Bentuklah menurut selera kalian.” Wijang termangu-mangu sejenak, sementara Paksi justru diam membeku. “Sekarang, biarlah aku melanjutkan perjalanan. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas dua hal. Pertama, kalian telah membantu kami, karena kalian tidak mau melihat pertempuran yang tidak adil. Kedua, kalian percaya bahwa Pangeran Benawa tidak berada di tangan kami,” berkata Pupus Rembulung. Wijang tidak menyahut. Sementara Repak Rembulung berkata, “Semoga kalian tidak bertemu dengan Pangeran Benawa.” “Kenapa?” “Akibatnya tidak akan baik bagi kalian berdua.” “Kenapa?” “Berhasil atau tidak berhasil, pengaruhnya akan sangat buruk bagi kalian berdua.” “Kalian takut aku berhasil menangkapnya lebih dahulu?” “Aku takut bahwa segala-galanya akan berhasil bagi kalian,” jawab Repak Rembulung. “Omong kosong. Seberapa pun tinggi ilmu Pangeran Benawa, tetapi ia manusia juga seperti kami. Kami berdua akan dapat melumpuhkannya.” “Jika kalian berhasil, maka pengaruhnya pun tidak akan kalah buruknya.” “Maksudmu?” “Kalian tidak akan pernah hidup tenang. Kalian akan diburu oleh orang-orang yang menginginkan cincin itu. Apakah cincin itu masih tetap ada pada kalian atau tidak. Termasuk Harya Wisaka. Di samping itu, keluarga istana yang kehilangan pangerannya akan memburu kalian seperti memburu tupai.” “Apakah hal seperti itu tidak terjadi pada orang lain? Pada kalian berdua misalnya, seandainya kalian berhasil menangkap Pangeran Benawa.” “Hidup kami sudah kami pertaruhkan. Nama kami sudah terlanjur dilengkapi lumpur. Tetapi kalian belum. Kalian masih muda dan berhari depan panjang, jika kalian sendiri tidak menjerumuskan diri ke dalam kesulitan sehingga umur kalian menjadi pendek. Kalian masih mempunyai banyak kesempatan untuk membentuk diri sendiri. Apakah kalian benar-benar akan menjadi budak di Goa Lampin atau pengikut Sapu Geni atau kalian akan memilih menjadi seorang lurah prajurit atau seorang bebahu sebuah padukuhan. Dengan kemampuan yang tinggi, kalian akan dapat melindungi rakyat padukuhan kalian dari tindak kejahatan.” Wajah Wijang menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Cukup. Sekali lagi aku katakan, nasehati diri kalian sendiri.” “Baik, anak-anak muda. Kami juga akan menasehati diri kami sendiri. Selamat.” Repak Rembulung dan Pupus Rembulung kemudian meninggalkan Wijang dan Paksi yang berdiri termangu-mangu. Mereka berjalan dengan tanpa menaruh kecurigaan kepada Wijang dan Paksi jika saja mereka akan berbuat licik. “Orang-orang aneh,” desis Wijang kemudian. Paksi pun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Mungkin sesuatu akan dapat terjadi jika kita masih berada disini. Orang-orang yang baru saja mencegat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu tentu akan datang kembali.” Paksi memandang orang-orang yang terluka itu. Namun ia tidak berkata apa-apa kepada mereka. Segala sesuatu memang terserah kepada kawan-kawan mereka. Sambil melangkah, Paksi pun berdesis, “Nampaknya orang-orang yang ingin merampok uang itu telah menggiring kita untuk menyaksikan keanehan sifat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” “Ya. Jika mereka tidak memaksa kita untuk berbelok, kita tidak akan sampai ke tempat ini. Kita tidak akan mempunyai kesan yang membingungkan tentang Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Kita melihat satu sisi yang keras dan kasar dari kedua orang itu, tetapi di sisi lain, kita masih bisa melihat kelembutan tingkah laku mereka. Mereka mengobati orang yang dilukainya, mereka mengucapkan terima kasih kepada kita dan yang aneh, mereka menasehati kita.” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Di antara orang-orang dari perguruan yang hitam itu, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tampak semakin hitam. Tetapi disini kita melihat ia dalam ujud dan sifat yang lain.” “Aku tidak mengerti,” desis Wijang. Namun Paksi pun berdesis, “Apakah keduanya mengetahui bahwa mereka telah berhadapan dengan Pangeran Benawa sendiri, sehingga mereka menunjukkan sikap yang telah disaputnya menjadi menjadi lembut dan bijak?” “Agaknya tidak. Mereka tidak tahu dengan siapa mereka berbicara. Jika mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Pangeran Benawa tanpa sisi yang lain dari sifat-sifat mereka, maka mereka akan berusaha menangkapnya.” “Tetapi mereka menyadari, bahwa orang yang dianggapnya Pangeran Benawa itu mempunyai ilmu yang tinggi.” “Tetapi mereka tentu tidak akan dengan mudah melepaskan kesempatan itu. Apalagi mereka belum meyakini bahwa kemampuan kita tidak akan dapat mereka kalahkan. Mereka hanya sempat melihat bagaimana kita bertempur tanpa mengenali ilmu kita yang sebenarnya.” Paksi mengangguk-angguk. Keduanya pun berjalan semakin menjauhi medan. Tetapi mereka tidak berniat untuk mengikuti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Namun sambil berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu mereka masih saja membicarakan kedua orang suami istri yang aneh itu. Dalam pada itu, terik matahari semakin menyengat. Di hadapan mereka membentang hutan yang membujur panjang. Sedang di arah lain, sawah yang bersusun nampak hijau ditumbuhi batang padi yang subur. Nampaknya itu bukan sekedar sawah tadah hujan. Air yang jernih mengalir di parit-parit yang terjadi secara alami, menuruni kaki Gunung Merapi, sehingga sawah yang tersusun itu tidak akan kekurangan air di segala musim. Dalam pada itu, Wijang dan Paksi pun merasa bahwa mereka harus menjadi semakin berhati-hati. Mereka sudah mulai bersinggungan dengan orang-orang yang memburu mereka, terutama Pangeran Benawa. Meskipun ia masih belum dapat dikenali oleh orang-orang yang dikenalinya, namun keduanya mencemaskan bahwa pada suatu saat mereka tidak akan dapat menghindar lagi. Ketika hal itu mereka bicarakan, maka Wijang pun berkata, “Apa boleh buat. Aku sudah mengambil keputusan untuk mengambil pengembaraan ini meskipun tujuanku semula masih belum dapat aku lakukan dengan baik.” “Apakah keadaan istana Pajang itu sedemikian menjemukan bagi Pangeran, sehingga Pangeran segan untuk pulang?” “Pertanyaanmu aneh, Paksi. Bukankah sudah aku katakan, jika aku pulang membawa cincin ini, maka cincin ini akan hilang. Selebihnya darimana aku dapat melihat kehidupan yang sebenarnya dari masyarakat Pajang jika aku tetap berada di istana?” “Tetapi apakah kejemuan Pangeran di istana itu bukan satu dorongan yang kuat bagi Pangeran untuk meninggalkan istana?” “Ya. Bukankah hal itu juga sudah pernah aku katakan kepadamu? Tetapi sudahlah, kita akan meneruskan pengembaraan kita.” Paksi pun kemudian tidak bertanya lagi tentang niat Pangeran Benawa untuk melanjutkan pengembaraan. Bahkan sebenarnya Paksi memang berharap agar Pangeran Benawa itu mengambil keputusan yang demikian, sehingga ia akan mendapatkan kawan dalam pengembaraan itu. Namun yang kemudian justru bertanya adalah Pangeran Benawa, “Paksi, bagaimana dengan kau sendiri? Apakah kau tidak berniat untuk pulang? Jika kau ingin membawa cincin bermata tiga itu, bawalah. Berikan kepada ayahmu. Apakah benar ayahmu akan menyerahkan kepada Ayahanda Sultan atau tidak.” “Aku tidak mau bermain-main dengan benda yang sangat berharga itu. Jika permainan itu berakibat buruk, maka aku akan menyesal sepanjang hidupku.” Wijang tersenyum. Namun ia pun bertanya, “Berakibat buruk apa maksudmu?” “Jika ayah tidak mau menyerahkan cincin itu ke istana, maka akibatnya akan sangat buruk baginya.” Wijang justru tertawa. Katanya, “Kau teringat kepada kedua orang yang menginginkan cincin itu?” “Ya. Pangeran telah membuat aku berdebar-debar ketika Pangeran menyerahkan cincin itu kepada mereka.” “Dan kau cemas bahwa aku akan memperlakukan ayahmu seperti mereka? Tentu tidak mungkin, Paksi. Kau tentu akan marah. Dan kau tentu akan membunuh aku.” “Mungkin aku dapat membunuh Pangeran, jika tangan dan kaki Pangeran diikat lebih dahulu dengan Janget Kinatelon.” Wijang tertawa. Suaranya lepas menghambur menggetarkan udara lereng Gunung Merapi itu. Tetapi lingkungan itu ternyata sepi. Tidak ada seorang pun yang mendengar suara tertawa Pangeran Benawa. Keduanya pun kemudian berjalan terus. Namun mereka mulai menggeser arah untuk menemukan jalan yang lebih baik dari sebuah padang yang banyak ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang bahkan kadang-kadang semak-semak berduri. Ketika mereka menemukan sebuah jalan, maka matahari telah condong ke barat. Cahayanya masih terasa menyengat kulit. Namun keduanya berjalan terus meskipun tidak terlalu cepat. Namun tiba-tiba Wijang pun berkata, “Nampaknya di depan itu sebuah padukuhan yang cukup besar.” “Ya,” Paksi mengangguk-angguk. “Kita akan singgah. Apakah kau tidak lapar?” Paksi tersenyum. Namun Wijang itu pun berkata dengan nada tinggi, “Kau tentu tidak lapar.” “Aku juga sudah lapar,” jawab Paksi. “Kenapa kau tidak pucat?” “Apakah kau juga pucat?” “Aku tidak dapat melihat wajahku sendiri.” “Apakah kita harus mencari blumbang dan melihat kita di dalamnya?” “Pokoknya kita lihat, apakah di padukuhan di depan ada kedai atau tidak.” Paksi tertawa. Katanya, “Nampaknya kau kelaparan.” Wijang mengangguk sambil menjawab, “Aku tidak pernah merasa kelaparan seperti sekarang. Aku tidak tahu kenapa.” Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka memasuki padukuhan di depan mereka. Padukuhan yang memang agak besar. Demikian mereka memasuki regol padukuhan, maka keduanya pun yakin, bahwa di dalam padukuhan itu tentu terdapat kedai yang memadai. Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di dalam padukuhan itu, mereka mendapatkan sebuah kedai nasi yang masih dibuka. Di sebelahnya sebuah kedai yang lain, yang menjual kebutuhan sehari-hari serta keperluan dapur. Ternyata tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pasar hewan yang sudah sepi. Nampaknya hari itu memang bukan hari pasaran. Meskipun demikian, di sebelah pasar itu justru masih nampak kesibukan perdagangan. Agaknya padukuhan itu adalah penghasil kelapa dan gula kelapa yang cukup besar, sehingga di sebelah pasar hewan itu terdapat tiga empat pedati yang sedang memuat kelapa dan gula kelapa. Dengan demikian, maka tempat itu masih terhitung ramai meskipun matahari sudah menjadi semakin condong. Kedai yang masih dibuka itu masih juga dikunjungi beberapa orang. Sementara itu, kedua kedai yang lain agaknya sudah lebih dahulu ditutup. Wijang dan Paksi pun kemudian memasuki kedai yang masih dibuka itu. Mereka segera mencari tempat di sudut, sehingga mereka tidak akan merasa terganggu oleh mereka yang keluar masuk kedai itu. “Hati-hatilah dengan kampilmu,” desis Wijang. “Nanti ada orang yang menginginkannya lagi.” Paksi memandang ke sekitarnya. Kedua orang duduk di sudut yang lain. Tiga orang di dekat pintu dan dua orang lagi justru duduk menghadap ke tempat pemilik kedai itu menyiapkan pesanan-pesanan para pembelinya. Sejenak kemudian, maka Wijang pun telah memesan minuman dan makanan bagi dirinya sendiri dan bagi Paksi. “He, kau pesan apa untukku?” “Pokoknya kita memesan minuman dan makanan yang sama. Nasi pecel, telur rebus dan ikan goreng.” “Ikan apa?” “Apa saja yang ada. Gurameh, lele, sepat atau bahkan wader.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menolak. Ia juga senang makan nasi pecel asal tidak terlalu pedas. Ketika kemudian Paksi menikmati pesanan itu, maka tiba-tiba saja Wijang menggamitnya. Katanya, “Berhati-hatilah. Nampaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan kita.” “Darimana kau tahu?” “Dua orang berhenti di depan pintu. Nampaknya mereka memperhatikan kita berdua. Berbisik-bisik dan kemudian pergi.” “Kita nikmati saja minuman dan makanan ini lebih dahulu,” jawab Paksi. “Aku setuju,” sahut Wijang. Namun ketika Paksi menghabiskan satu mangkuk nasi, ia merasa cukup kenyang. Karena itu, ketika Wijang menambah lagi, Paksi menggeleng. Katanya, “Aku belum lapar sekali. Bukankah tadi kita sudah makan?” “Aku tidak ingat lagi. Yang penting aku harus makan karena aku lapar.” Paksi tersenyum. Sebuah pertanyaan timbul di dalam hatinya, apakah di istana Pangeran Benawa dapat makan senikmat itu. Beberapa saat kemudian, keduanya pun sudah selesai. Wijang mengelus perutnya sambil berkata, “Kau benar, Paksi. Ternyata aku merasa terlalu kenyang.” “Belum lagi jika kau habiskan wedang sere serta beberapa potong makanan yang disediakan itu.” Wijang menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau ingin perutku meledak?” Paksi tertawa. Namun suara tertawanya pun patah ketika ia juga melihat dua orang yang bergeser ketika ia mengangkat kepalanya. “Aku melihat mereka,” desis Paksi tiba-tiba. “Mereka siapa?” “Dua orang yang tadi kau lihat,” jawab Paksi. Namun tiba-tiba saja wajahnya nampak tegang. Katanya, “Rasa-rasanya aku mengenal mereka.” “Kau mengenal mereka?” bertanya Wijang dengan dahi yang berkerut. “Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. “Sekarang giliranmu. Aku kira mereka memperhatikan aku.” Paksi pun kemudian bertanya, “Apakah kau tidak akan memesan apa-apa lagi?” “Kau kira perutku tidak akan pernah kenyang?” Paksi masih sempat senyum. Kemudian bertanya, “Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Mungkin di luar beberapa orang sudah menunggu kita.” “Kita harus mempersiapkan diri.” Paksi pun kemudian membayar harga makan dan minum mereka sambil minta diri kepada pemilik kedai itu. Ketika keduanya keluar dari kedai, maka mereka pun memperhatikan keadaan di sekitar kedai itu. Beberapa orang memang nampak berjalan lewat jalan di depan dan di sebelah kedai itu. Namun Paksi tidak melihat orang yang rasa-rasanya sudah dikenalnya itu. “Orang-orang itu sudah pergi,” desis Wijang. “Ya. Tetapi tentu tidak jauh dari kita.” Keduanya pun kemudian melangkah meninggalkan kedai itu, sementara Paksi bertanya, “Kita akan pergi kemana?” “Ke selatan. Pokoknya ke selatan,” jawab Wijang. Paksi menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Pokoknya kita pergi ke selatan.” Demikianlah keduanya pun melangkah semakin jauh dari kedai itu. Namun sebelum mereka terlalu jauh, maka mereka pun mendengar keributan di belakang rumpun bambu yang tumbuh di sebuah halaman yang agak kosong. Pendengaran mereka yang tajam segera mengetahui, bahwa telah terjadi pertempuran di belakang rumpun bambu yang lebat itu. Keduanya pun dengan serta-merta telah meloncat melingkari rumpun bambu itu. Keduanya tertegun ketika mereka melihat pertempuran yang sengit. Dua orang melawan seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ternyata bukan hanya mereka berdua sajalah yang telah mendengar suara ribut di belakang rumpun bambu itu. Beberapa orang yang lain pun telah berdatangan, seorang demi seorang. Tetapi tidak seorang pun segera berani melerai pertempuran yang sengit itu. Paksi yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Salah seorang yang bertempur berpasangan itu pernah dikenalnya. Tetapi seorang yang lain belum. Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja seorang dari mereka yang bertempur berpasangan itu terlempar dari arena. Sebuah luka yang panjang menganga di dadanya. Yang seorang lagi masih berusaha untuk bertahan. Tetapi sebelum Paksi dan Wijang sempat berbuat sesuatu, maka orang itu pun telah terpelanting pula. selain luka di lehernya, maka kepala orang itu telah membentur sebuah batu yang cukup besar, sehingga orang itu langsung terbunuh. Dengan cepat Paksi berjongkok di sebelah orang yang pernah dikenalnya. Sambil mengguncang orang itu, Paksi berdesis, “Paman, Paman Derpa.” Orang yang terluka itu pun berusaha untuk memperhatikan anak muda yang menyebut namanya. Dengan suara yang lemah orang itu pun kemudian berdesis, “Angger Paksi.” “Ya, Paman.” “Menyingkirlah. Orang itu sangat berbahaya bagimu.” “Kenapa? Dan kenapa Paman sekarang berada disini?” “Aku mendapat perintah dari ibumu untuk mencari Angger. Sudah setahun lebih kau meninggalkannya. Ibu ingin kau segera pulang. Berhasil atau tidak berhasil.” Paksi tidak segera menjawab. Sementara orang itu berkata, “Tetapi agaknya ayahmu berkeberatan, Ngger. Kau baru boleh pulang jika kau bawa apa yang dipesankan oleh ayahmu.” Paksi mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya, “Apa hubungannya dengan orang itu, Paman?” “Orang itu adalah seorang dari mereka yang mendapat perintah dari ayahmu. Mereka juga harus mencari benda yang diinginkan oleh ayahmu itu. Tetapi mereka juga mendapat tugas untuk mencarimu.” “Apakah yang dikehendaki oleh ayah?” Sebelum Derpa menjawab, orang yang telah melukainya itulah yang menjawab sambil tertawa, “Kau harus menemukan benda itu. Jika tidak, lebih baik aku habisi sama sekali.” “Itukah pesan ayahku, atau kehendakmu sendiri.” “Aku berhak menentukan.” Namun Derpa yang terluka parah itu berdesis, “Ayahmu memang tidak menghendaki kau segera pulang.” “Kenapa, Paman? Kenapa?” “Aku tidak tahu, Ngger.” “Paman. Paman,” Paksi mengguncang orang itu. Tetapi Derpa sudah menutup matanya untuk selama-lamanya. Jantung Paksi bagaikan tersulut api. Ia pun segera bangkit berdiri, memandang orang yang membunuh Derpa itu dengan mata yang menyala. “Kau telah membunuh Paman Derpa.” Orang itu tertawa. Katanya, “Kedua orang itu sangat menjengkelkan. Ia adalah budak-budak ibumu yang setia, kesetiaan mereka adalah kesetiaan yang buta. Aku sudah memperingatkan mereka mengurungkan niatnya mencarimu. Tetapi mereka tidak mau mendengarkannya.” “Apakah sebabnya kau melarangnya? Apakah mereka merugikanmu sehingga kau bunuh mereka.” “Tentu. Aku mendapat tugas dari ayahmu, agar kau tidak pulang sebelum kau berhasil. Bukankah tugas kedua orang tuamu bertentangan dengan tugasku.” “Aku tidak peduli. Aku akan pulang.” Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Semua akan sia-sia. Jika kau memaksa pulang, maka kau akan mati. Tetapi seandainya kau tidak pulang pun, aku memang akan membunuhmu.” “Kenapa?” “Seorang sainganku akan berkurang. Bukankah kau juga akan mencari cincin itu.” “Kau gila. Kau berada di dalam satu lingkungan yang pekat. Disini ada seribu orang yang sedang mencari cincin itu.” “Aku akan bunuh mereka satu demi satu.” “Siapa kau sebenarnya?” Orang itu memandang Paksi dengan tajamnya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Siapa pun aku, akibatnya akan sama saja bagimu. Kau akan mati. Itu saja yang perlu kau ketahui.” “Persetan. Kau telah membunuh Paman Derpa dan seorang kawannya. Kau pun harus mati disini.” “He? Aku harus mati? Apakah kau harus membunuh diri?” “Aku akan membuatmu,” geram Paksi. Suara tertawa orang itu bagaikan mengguncang rumpun bambu di sebelahnya. Di sela-sela tertawanya orang itu berkata, “Kau memang lucu, anak manis. Tetapi sangat menjengkelkan karena kesombonganmu. Tetapi pengaruhnya sangat bagus bagiku. Dengan demikian nafsuku membunuh menjadi semakin besar. Sekarang, sebutlah nama ibumu untuk yang terakhir kalinya.” Paksi bergeser menjauhi tubuh Derpa yang terbaring diam. Beberapa orang di sekitar tempat itu menjadi tegang. Mereka berharap anak muda itu menyingkir saja. Tetapi Paksi justru mendekati orang yang memegang sebilah pedang itu. “Apa yang akan kau lakukan, anak muda?” bertanya orang itu. Paksi pun menjawab dengan nada tinggi, “Sudah aku katakan, aku akan membantumu untuk membunuh diri.” Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau bukan saja sombong. Tetapi kau sudah gila. Bukankah kau lihat, bahwa aku dapat membunuh dua orang yang diutus oleh ibumu mencarimu?” “Ya,” jawab Paksi. “Lalu apa yang dapat kau lakukan?” Paksi justru melangkah mendekat. Katanya, “Bukankah kepalamu masih belum sekeras batu hitam? Tongkatku ini akan memecahkan tulang kepalamu.” “Kesombonganmu sudah berlebihan, anak muda. Sudah waktunya aku membungkam mulutmu.” Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Ia justru semakin mendekati orang yang telah membunuh Derpa. Sementara itu, Wijang sama sekali tidak berusaha untuk mencampurinya. Ia berdiri saja beberapa langkah dari Paksi. Meskipun demikian, ia siap berbuat sesuatu jika diperlukan. Bahkan Wijang sedang memperhatikan seseorang yang berdiri tidak terlalu jauh dari arena pertempuran itu. Agaknya orang itu mempunyai hubungan dengan orang yang telah membunuh Derpa, langsung atau tidak langsung. Karena itu, kecuali mempersiapkan diri jika ia diperlukan untuk membantu Paksi, maka Wijang pun mengawasi orang yang dicurigainya itu. Dalam pada itu, Paksi yang marah itu pun telah bersiap untuk bertempur. Tongkatnya mulai menggelepar di tangannya. Namun orang yang telah membunuh Derpa itu masih saja tertawa. Dengan golok yang besar, yang telah melukai dan bahkan membunuh Derpa, orang itu menuding Paksi sambil berkata, “Kau memang lucu, anak muda. Tetapi orang-orang yang akan mati kadang-kadang memang berbuat aneh-aneh.” Paksi tidak menjawab. Tetapi dengan kecepatan yang tinggi, Paksi yang marah itu telah memukul golok di tangan orang yang menertawakannya itu. Orang itu benar-benar terkejut. Tenaga Paksi ternyata sangat besar, sehingga orang itu tidak dapat mempertahankan goloknya, sehingga golok itu terpelanting jatuh beberapa langkah dari kakinya. Dengan serta-merta orang itu pun bergerak untuk memungut goloknya. Namun tiba-tiba pula ujung tongkat Paksi telah melekat di lehernya. Sekali lagi orang itu terkejut. Ia tidak mengira sama sekali bahwa anak muda itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka orang itu pun mengurungkan niatnya untuk mengambil goloknya, karena ujung tongkat yang menekan lehernya itu akan dapat melukainya. Bahkan luka yang parah. “Aku dapat membunuhmu sekarang. Tetapi aku bukan pengecut yang licik. Kau tentu beralasan bahwa aku belum bersiap karena seranganku datang tiba-tiba. Sekarang, ambil golokmu. Kita akan bertempur dengan jujur.” Jantung orang itu bergetar ketika Paksi menarik tongkatnya. Justru karena itu, maka untuk beberapa saat ia berdiri termangu-mangu. Wijang pun mengerutkan dahinya melihat sikap orang yang dicurigainya. Ia tidak melihat bahwa orang itu akan mencoba membantu orang yang telah membunuh Derpa. Meskipun nampak ketegangan di wajahnya, namun ia berdiri saja di tempatnya. Sementara itu, beberapa orang yang lain pun masih juga berkerumun menyaksikan apa yang telah terjadi di belakang rumpun bambu yang lebat di halaman yang kosong itu. “Ambil golokmu,” bentak Paksi. “Kita akan bertempur. Aku tidak peduli apa kau bersenjata atau tidak.” Ketika Paksi mundur beberapa langkah, maka orang itu pun dengan cepat meraih goloknya. Demikian ia berdiri tegak dengan golok di tangannya, maka ia pun menggeram, “Satu penghinaan yang pahit. Tetapi kau akan menyesal dengan kesombongan yang tidak ada taranya ini, anak muda.” “Kita akan bertempur. Aku tidak yakin bahwa ayah menghendaki agar kau membunuhku. Mungkin benar jika ayah ingin aku pulang dengan membawa benda yang dikehendaki. Tetapi niat untuk membunuh itu tentu timbul dari jantungmu yang berbulu itu.” “Bukankah kau dengar, Derpa juga mengatakan bahwa ayahmu tidak ingin kau pulang.” “Ayah tidak ingin aku pulang tanpa membawa benda itu.” “Persetan,” geram orang itu. “Kesombonganmu serta penghinaan ini tidak akan dapat dimaafkan lagi.” “Cukup,” potong Paksi. “Bersiaplah.” Orang itu kemudian bersiap. Sekilas ia memandang Wijang yang berdiri termangu-mangu. Orang itu merasa semakin direndahkan bahwa anak muda yang seorang lagi sama sekali tidak akan berusaha membantu Paksi. “Apakah anak muda ini merasa dirinya sudah memiliki ilmu yang mumpuni?” bertanya orang itu di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, Paksi dan Wijang pun mengerti, bahwa orang yang membunuh Derpa itu belum pernah mengenal orang yang bernama Pangeran Benawa. Meskipun orang itu sekali-sekali memperhatikan Wijang, namun perhatiannya yang sekilas itu sekedar untuk meyakinkan, apakah anak muda itu akan melibatkan diri atau tidak. Sejenak kemudian, orang yang bersenjata golok itu telah mulai menyerang. Tetapi orang itu menjadi sangat berhati-hati. Yang dilakukan Paksi adalah isyarat, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang berilmu dan mempunyai tenaga dan kekuatan yang besar. Namun bagaimanapun juga orang itu tetap yakin, bahwa ia akan dapat membunuh anak muda itu dalam waktu singkat. Jika goloknya sempat lepas, itu karena ia benar-benar lengah dan tidak menduga bahwa anak muda itu akan menyerang demikian tiba-tiba. Paksi pun kemudian telah memutar tongkatnya pula. Sekali-sekali tongkatnya itu terjulur. Ketika orang yang bersenjata golok itu mencoba dengan tiba-tiba membentur tongkat Paksi, ternyata tongkat itu tidak terlepas dari tangan anak muda itu. Bahkan telapak tangan orang itulah yang menjadi panas. Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat. Mereka mulai saling menyerang. Golok di tangan orang itu mulai berputaran, kemudian terayun mendatar mengarah ke leher Paksi. Namun tongkat Paksi pun bergerak mengimbangi kecepatan gerak golok kawannya. Setiap kali golok itu membentur tongkat Paksi, sehingga golok itu tidak pernah dapat menyerang kulit anak muda itu. Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit. Wijang yang memperhatikan pertempuran itu sekali-sekali mengerutkan dahinya. Namun Wijang pun tidak melepaskan perhatiannya kepada orang yang dicurigainya itu. Mungkin saja orang itu menyerang dengan senjata rahasia atau berbuat sesuatu dengan licik. Tetapi nampaknya orang itu benar-benar tidak akan melibatkan diri. Pertempuran antara orang yang telah membunuh Derpa melawan Paksi itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung tongkat Paksi lah yang kemudian telah berhasil menembus pertahanan lawannya. Ketika golok itu dengan derasnya menyambar ke arah bahu kanan Paksi, maka Paksi pun sempat memiringkan tubuhnya. Demikian golok itu terayun tanpa menyentuhnya, maka dengan cepat Paksi menjulurkan tongkatnya. Ujung tongkat Paksi itulah yang justru mematuk lambung lawannya sehingga lawannya terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika sekali lagi Paksi menyerang ke arah dada, orang itu menangkis dengan goloknya. Bahkan sambil berputar, orang itu menyerang dengan ayunan goloknya yang besar itu. Paksi lah yang meloncat surut. Tetapi demikian cepatnya ia bergerak, sehingga dengan satu loncatan panjang, Paksi menjulurkan tongkatnya mematuk dadanya. Sekali lagi orang itu terdorong surut. Namun ia tidak sempat memperbaiki keadaannya. Paksi yang memburunya mengayunkan tongkatnya dengan derasnya memukul ke arah dahi. Orang yang telah membunuh Derpa itu tidak menyerah. Ia mencoba menggeliat menghindari ayunan tongkat lawannya. Orang itu memang berhasil menyelamatkan kepalanya. Tetapi tongkat Paksi telah mengenai pundak kirinya. Demikian kerasnya, sehingga orang itu mengaduh kesakitan. Dengan cepat ia berusaha mengambil jarak. Namun Paksi tidak memberinya kesempatan. Anak muda yang marah itu memburunya terus. Tongkatnya menebas dengan cepatnya. Orang yang masih kesakitan itu tidak sempat mengelak. Lambungnya telah disambar oleh tongkat Paksi. Orang itu gagal menangkis serangan itu dengan goloknya. Ia pun gagal untuk mengelak. Pada saat yang gawat itu, ujung tongkat Paksi telah menukik mengenai perutnya, sehingga orang itu membungkuk kesakitan. Pada saat itulah, tongkat Paksi terayun mengenai tengkuknya. Terdengar orang itu berteriak. Kemudian mengumpat kasar. Namun kemudian orang itu terjatuh berguling di tanah sambil mengerang kesakitan. Paksi pun berdiri termangu-mangu. Orang itu masih menggeliat. Namun jari-jarinya tidak lagi dapat menggenggam goloknya, sehingga goloknya itu pun tergolek sejengkal dari tangannya itu. Perlahan-lahan Paksi melangkah mendekatinya. Bahkan kemudian berjongkok di sampingnya. “Anak iblis,” orang itu mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu pun terkulai kembali dengan lemahnya. Paksi tidak menyahut. Dipandanginya saja orang yang sudah tidak berdaya itu. Betapapun kemarahan membakar jantungnya, tetapi Paksi tidak dapat sekali lagi mengayunkan tongkatnya mengakhiri hidup orang itu. Meskipun demikian, orang itu keadaannya sudah sedemikian parahnya meskipun ia masih berusaha untuk mengancam, “Aku akan membunuhmu.” “Apa sebenarnya pesan ayahku?” tiba-tiba Paksi bertanya. “Persetan dengan ayahmu,” geram orang itu. “Aku tidak peduli dengan ayahmu. Aku ingin membunuhmu, karena kau akan dapat mengganggu usahaku.” Paksi menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Dipandanginya saja orang yang terbaring sambil mengerang kesakitan itu, namun sambil mengumpat-umpat. Tetapi suaranya semakin lama menjadi semakin lambat. Akhirnya suaranya terdiam. Ternyata bahwa orang yang telah membunuh Derpa dan kawannya itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Nafasnya pun kemudian telah terhenti. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Orang yang telah membunuh Derpa dan kawannya itu pun telah dibunuhnya pula. Namun dalam pada itu, ketika Paksi mengangkat wajahnya, ia melihat Wijang dengan cepat melangkah pergi. Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Karena itu, maka dengan serta-merta ia pun telah mengikutinya. Untuk sesaat ia melupakan tubuh-tubuh yang terbaring diam itu. Orang-orang yang berkerumun pun termangu-mangu. Mereka melihat seorang yang dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul oleh anak muda yang datang bersama-sama anak muda yang baru saja bertempur dengan membunuh lawannya. Demikian orang itu turun ke jalan, maka Wijang pun menghentikannya. “Tunggulah, Ki Sanak.” Orang itu memang berhenti. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya banyak orang yang berkerumun pula di jalan itu. Sementara itu, Wijang telah berdiri di belakangnya sambil berkata, “Tunggu, Ki Sanak. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.” Orang itu kemudian memutar tubuhnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. “Kenapa kau tidak membantu kawanmu yang terbunuh itu?” “Ia bukan kawanku,” jawab orang itu. “Jadi untuk apa kau mengawasinya?” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ketika ia melihat Paksi datang pula menyusulnya, maka orang itu pun menjadi semakin gelisah. “Siapakah orang ini?” bertanya Paksi. “Aku curiga kepadanya. Ia mengamati pertempuran itu. Kemudian dengan tergesa-gesa pergi ketika lawanmu terbunuh.” Paksi melangkah mendekat. Dengan nada berat ia bertanya, “Kau juga diupah oleh ayahku?” Orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Paksi dan Wijang berganti-ganti. Namun agaknya orang itu juga tidak mengenal bahwa yang dihadapinya itu adalah seorang pangeran. “Kenapa kau diam saja?” bentak Paksi. Orang itu terkejut. Ia memang sedang membuat pertimbangan. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku bukan kawan orang yang terbunuh itu. Tetapi memang aku sedang mengawasinya.” “Kenapa dan untuk siapa kau melakukan pengawasan terhadap orang yang terbunuh itu?” bertanya Paksi. “Aku adalah kepercayaan ayahmu.” “Nah, bukankah orang itu juga bekerja untuk ayahku?” “Ya. Tetapi ia seorang yang tidak dapat dipercaya. Karena itu, aku harus mengawasinya. Aku tahu bahwa orang itu berusaha untuk mengikuti Derpa yang mendapat perintah dari ibumu mencarimu. Sebenarnya ia bertugas untuk mengetahui, hanya mengetahui, apakah kau sudah berhasil mendapatkan benda yang dikehendaki oleh ayahmu itu atau belum?” “Kalau belum?” “Kau harus mencari terus sampai kau dapat menemukannya.” “Jika untuk selamanya aku tidak menemukannya?” “Kau tidak dapat kembali pulang.” “Kalau aku sudah mendapatkannya?” “Kau harus pulang dan menyerahkan benda itu kepada ayahmu.” “Kenapa ia akan membunuhku?” “Ia ingin mendapatkan cincin itu bagi dirinya sendiri.” “Ketika ia mencoba membunuhku, kenapa kau tidak berusaha untuk mencegahnya?” Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Namun akhirnya ia berkata, “Aku tidak mendapat tugas untuk mencegahnya. Ayahmu tidak akan kehilangan jika kau dibunuh oleh orang itu. Tanpa memikul dosanya, ayahmu akan merasa beruntung atas kematianmu.” “Kenapa? Kenapa ayahku menginginkan kematianku?” “Ayahmu tidak pernah mengupah orang untuk membunuhmu. Tetapi ia sama sekali tidak berkeberatan jika hal itu terjadi.” “Ya, tetapi kenapa?” “Aku tidak tahu.” Wajah Paksi menjadi sangat tegang. Tongkatnya pun kemudian teracu ke dada orang itu. Katanya, “Dengar. Aku dapat melobangi dadamu dengan tongkat ini.” “Aku percaya.” “Jadi, jawab pertanyaanku.” “Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak dapat mencampuri persoalan-persoalan yang menyangkut keluargamu.” “Kau jangan berbohong. Aku dapat membunuhmu,” geram Paksi. “Kau dapat membunuhku. Tetapi aku tidak akan pernah dapat menjawab pertanyaanmu itu.” Jantung Paksi bagaikan membara. Dengan lantang ia pun berkata, “Aku tantang kau bertempur.” Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Katanya kemudian, “Aku bukan pengecut. Bahkan aku merasa bahwa ilmuku tidak kalah dari ilmu orang yang telah kau bunuh itu. Tetapi aku juga merasa bahwa aku tidak akan dapat mengalahkanmu. Meskipun demikian, jika kau menghendaki untuk membunuhku dengan cara sebagaimana kau lakukan atas orang yang membunuh Derpa itu, aku tidak akan menolak.” Wijang lah yang kemudian berkata, “Kau tidak usah bertempur lagi, Paksi. Biarlah orang ini menemui ayahmu. Biarlah ia mengatakan apa yang telah terjadi disini. Kematian Derpa dan kawan-kawannya, kematian orang yang telah membunuhnya dan pembicaraanmu dengan orang ini.” “Aku tidak dapat mempercayainya. Ia dapat berbohong dan bahkan dapat memfitnah. Ia dapat mengadu domba antara aku dan ayahku. Aku pun tidak percaya bahwa orang ini tidak mempunyai hubungan dengan orang yang telah terbunuh itu. Semua. Aku tidak percaya semua kata-katanya.” “Aku mengerti,” sahut Wijang. “Tetapi menurut pendapatku, beri kesempatan ia menemui ayahmu. Apa pun yang akan dikatakannya. Pada saatnya kau akan dapat mengerti, apakah orang ini berkata sebenarnya atau tidak. Kita mempunyai banyak waktu untuk memburunya kemana pun ia bersembunyi. Ayahmu akan dapat memberikan petunjuk kemana kita harus mencarinya.” “Anak-anak muda,” berkata orang itu, “kalian harus ingat, bahwa bukan hanya aku yang dapat berbohong. Ayahmu juga dapat berbohong.” “Persetan kau,” geram Paksi. Wijanglah yang kemudian berkata, “Pergilah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, akibat dari langkah-langkah yang akan kau ambil akan menentukan nasibmu kemudian.” Orang itu tidak menjawab. Sementara Paksi pun berkata, “Baik. Kau mendapat kesempatan kali ini. Tetapi pada suatu saat, kau akan membuat perhitungan dengan aku.” Orang itu masih saja tidak menjawab. Ketika kemudian ia memandang berkeliling, maka orang-orang yang ada di sekitarnya pun memandanginya dengan tegang pula..... “Aku akan pergi,” berkata orang itu kemudian. “Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan apa yang telah terjadi disini.” Paksi tidak menjawab. Tetapi Wijang pun berkata, “Pergilah. Kau juga harus mengatakan kepada ayahnya, bahwa ada seribu orang yang sedang mencari benda yang dicarinya. Sulit bagi Paksi untuk dapat menemukannya.” Tiba-tiba saja Paksi memotong, “Tetapi aku akan pulang. Ibuku menginginkan aku pulang. Aku tidak peduli siapa pun juga.” Orang itu tidak menyahut. Sementara Paksi membentak, “Cepat, pergilah.” Orang itu pun menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia bergeser surut. Namun kemudian ia pun melangkah meninggalkan Paksi dan Wijang yang berdiri tegak mengawasinya. “Ia akan bercerita kepada ayahmu,” berkata Wijang. “Ya.” “Ayahmu harus tahu, bahwa kau bukan lagi Paksi sebagaimana saat kau meninggalkan rumahmu.” Paksi termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Tetapi apakah benar ayah menghendaki kematianku?” “Jangan percaya.” “Setidak-tidaknya ayah tidak menghendaki aku pulang.” “Tentu bukan itu maksudnya,” jawab Wijang. “Ayahmu ingin mendorong agar kau lebih bersungguh-sungguh mencari benda yang diinginkan.” Paksi memandang Wijang sekilas. Namun kemudian katanya, “Kau hanya ingin menenangkan perasaanku. Tetapi kau menangkap ketidakwajaran itu. Aku, sekitar setahun yang lalu, dalam umurku yang baru tujuh belas, aku harus keluar dari rumah untuk mencari jejak cincin yang hilang tanpa bekal ilmu yang memadai. Bukankah itu keputusan gila yang pernah diambil oleh ayahku?” “Sudahlah. Ada tiga sosok mayat yang terkapar di belakang rumpun bambu ini. Nanti kita berbicara lagi.” Paksi pun tiba-tiba teringat kepada Derpa yang telah terbunuh. Ia mengenal orang itu. Derpa sempat berkata kepadanya, bahwa ibunya mengharapkannya pulang. Bersama Wijang ia pun kemudian kembali ke balik rumpun bambu. Beberapa orang masih berkerumun. Empat orang di antara mereka berdiri di sebelah tubuh-tubuh yang terkapar itu. Seorang di antara mereka kemudian memperkenalkan dirinya, “Aku bekel di padukuhan ini, anak muda.” Wijang dan Paksi pun mengangguk hormat. Dengan nada dalam Paksi pun berkata, “Kami mohon maaf, Ki Bekel, bahwa peristiwa ini terjadi di padukuhan ini.” “Beberapa orang saksi mengatakan, bahwa kalian tidak memancing keributan ini. Bahkan kalian merupakan salah satu sasaran dari orang yang ternyata terbunuh itu.” “Ya, Ki Bekel. Aku juga tidak tahu pasti, kenapa tiba-tiba saja orang itu ingin membunuhku.” “Baiklah,” berkata Ki Bekel, “nanti aku berharap, kalian berdua singgah di rumahku. Mungkin kita dapat berbicara tentang beberapa hal yang perlu.” “Baik, Ki Bekel. Tetapi perkenankanlah kami berdua menyelenggarakan penguburan mereka yang terbunuh ini. Namun kami ingin mendapat keterangan, dimana kami dapat mengubur mereka.” Ki Bekel tersenyum. Katanya, “Biarlah orang-orang padukuhan ini membantu kalian, anak-anak muda.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Bekel.” Ki Bekel itu pun kemudian berkata kepada orang yang berdiri di sebelahnya, yang ternyata adalah jagabaya di padukuhan itu, “Perintahkan beberapa orang untuk mengubur mereka, Ki Jagabaya. Aku akan membawa kedua orang anak muda ini ke rumahku.” “Baik, Ki Bekel,” jawab Ki Jagabaya. Namun Paksi pun kemudian berkata, “Tolong, Ki Bekel, pisahkan yang seorang ini dari yang lain. Yang seorang ini justru memusuhi kedua orang yang lain. Aku pun mohon, seorang dari kedua orang ini dapat diberi ciri. Orang ini bernama Derpa.” “Baik, anak muda. Ki Jagabaya akan melakukannya.” “Pada suatu saat, kami akan kembali. Keluarga kedua orang itu tentu ingin melihat kuburan mereka.” “Baik, baik, anak muda.” Demikianlah, Ki Bekel justru membawa Paksi dan Wijang ke rumahnya. Setelah membersihkan diri di pakiwan, maka keduanya pun duduk di pringgitan bersama Ki Jagabaya. “Siapakah kalian berdua itu, anak muda. Dan kenapa kalian sampai kemari? Beberapa orang yang berada di sekitar arena itu mendengar bahwa kalian sedang mencari sesuatu di lingkungan ini yang aku yakini tentu sebuah cincin yang sekarang sedang diburu oleh banyak orang.” “Sebenarnya kami berdua tidak memerlukannya, Ki Bekel. Tetapi ayah kami yang memaksa untuk mencarinya.” “Apakah kalian bersaudara?” “Ya, Ki Bekel. Bukan saudara kandung. Tetapi saudara sepupu,” jawab Paksi. “Nama kalian?” “Namaku Paksi.” “Namaku Wijang, Ki Bekel,” Wijang pun mengangguk hormat. “Yang kalian maksud dengan ayah kalian itu, ayah Angger Paksi atau ayah Angger Wijang.” Tiba-tiba saja Wijang menjawab, “Sebenarnya adalah ayahku, Ki Bekel. Tetapi Paksi juga menyebutnya ayah.” Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Itukah sebabnya, maka ayah kalian itu menginginkan Angger Paksi tidak pulang.” “Kami masih harus menegaskan kebenaran pernyataan itu, Ki Bekel. Sebab sikap ayahku terhadap aku dan Paksi nampaknya tidak ada bedanya.” Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin ayah Angger Wijang telah memendam perasaannya sejak lama, sehingga pada suatu saat, perasaan itu terungkit. Sementara itu ayah Angger Wijang tidak mempunyai cara dan alasan yang pantas untuk menyingkirkan Angger Paksi.” “Aku tidak yakin, Ki Bekel,” sahut Wijang. “Baiklah. Aku tidak ingin seakan-akan menyelidiki persoalan yang timbul di lingkungan keluarga kalian. Namun yang penting, yang akan aku beritahukan kepada kalian adalah, bahwa banyak orang yang sedang memburu cincin itu. Cincin yang aku dengar telah murca dari keraton. Cincin itu telah hilang dari bangsal pusaka bersama dengan hilangnya salah seorang pangeran di Pajang. Justru Pangeran Benawa.” Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja. “Karena itu, Ngger, aku ingin memperingatkan, bahwa sebaiknya kalian tidak melibatkan diri dalam usaha penemuan cincin itu. Meskipun aku tahu, bahwa ternyata Angger Paksi berilmu tinggi, tetapi kalian hanya berdua. Sementara itu, menurut pendengaranku, beberapa orang sakti dari berbagai lingkungan sedang berkeliaran di sisi selatan Gunung Merapi. Mereka menganggap bahwa sepercik cahaya yang sangat terang, yang turun dari langit, adalah cincin yang hilang itu, yang jatuh di lereng sebelah selatan Gunung Merapi ini. Namun di samping itu, maka mereka pun telah beramai-ramai memburu Pangeran Benawa yang diduga membawa cincin itu pergi dari istana.” “Jadi Pangeran Benawa sendiri telah mencuri cincin itu, Ki Bekel?” bertanya Wijang. “Jangan berkata begitu, Ngger. Bagaimanapun juga Pangeran Benawa adalah seorang pangeran.” “Jadi?” “Tidak seorang pun tahu, apa maksud Pangeran Benawa dengan membawa cincin itu pergi dari istana. Jika banyak orang menganggap bahwa siapa yang mengenakan cincin itu di jarinya, ia akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini, maka sebenarnya Pangeran Benawa mempunyai kesempatan terbesar tanpa harus membawa cincin itu pergi.” “Jika demikian, Pangeran Benawa telah memancing pergolakan yang dapat meresahkan banyak orang.” “Sudahlah. Yang penting ingin aku sampaikan kepada kalian berdua, sebaiknya kalian tidak usah melibatkan diri ke dalam pusaran perburuan itu. Kalian dapat menjelaskan hal itu kepada ayah kalian, jika ayah kalian memang telah menugaskan kalian untuk mencarinya.” Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Wijang berkata, “Baik, Ki Bekel. Kami akan meninggalkan tempat ini. Sejak semula memang kami merasa segan untuk melakukannya. Kami sama sekali tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Karena itu, kami berkeliaran saja di lereng selatan Gunung Merapi ini.” “Aku senang kesediaan Angger untuk meninggalkan tempat ini. Aku tidak ingin melihat anak-anak yang masih muda seperti Angger berdua harus terlibat dalam persoalan yang rumit, yang akan merenggut jiwa Angger. Sedangkan sebenarnya masa depan Angger masih panjang dan masih penuh dengan harapan-harapan.” “Ya, Ki Bekel,” jawab Paksi, “kami akan memperhatikan pesan Ki Bekel. Seperti yang dikatakan oleh saudaraku, kami akan segera meninggalkan tempat ini.” “Bukan maksud kami mengusir Angger berdua. Jika Angger berdua masih ingin tinggal disini, aku sama sekali tidak berkeberatan.” “Terima kasih, Ki Bekel. Agaknya kami ingin meneruskan perjalanan kami.” “Angger berdua akan kemana?” “Kami akan mengembara kemana saja, seakan-akan kami sedang mencari cincin itu. Pada suatu hari kami akan pulang dan melaporkan bahwa kami telah gagal.” Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi segala sesuatunya terserah kepada kalian, anak-anak muda. Aku hanya memberikan pertimbangan, karena aku merasa sayang, bahwa masa depan kalian akan patah karena keinginan orang tua kalian yang berlebihan itu” “Ya, Ki Bekel. Kami mengerti,” sahut Wijang. “Kami mengucapkan terima kasih atas nasehat dan petunjuk Ki Bekel.” “Aku juga mempunyai anak seumur kalian. Aku selalu membayangkan masa depan yang baik bagi anakku itu. Aku pun berharap anakku itu berumur panjang.” Namun ketika kemudian Wijang dan Paksi mohon diri, Ki Bekel menahannya. Katanya, “Kami sedang menyiapkan makan untuk kalian berdua.” Wijang dan Paksi berpandangan sejenak. Mereka baru saja makan dan bahkan terlalu kenyang. Karena itu, maka Wijang pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih, Ki Bekel. Tetapi kami berdua baru saja makan menjelang peristiwa itu terjadi. Ketika kami sedang berada di kedai itulah, kedua orang yang sedang mencari kami itu melihat dan selanjutnya justru terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain yang juga berkepentingan dengan kami.” “Tetapi tidak baik menolak rejeki, anak-anak muda. Meskipun hanya sedikit, aku minta kalian makan lebih dahulu.” “Sungguh, Ki Bekel. Kami mengucapkan terima kasih. Kami mohon maaf, bahwa kami terpaksa tidak dapat menerima uluran tangan Ki Bekel. Kami bukannya menolak, tetapi agaknya tidak ada tempat lagi di dalam perut kami.” “Tetapi kalian baru saja bertempur. Kalian tentu letih dan seandainya kalian baru saja makan, maka kalian tentu telah menjadi lapar kembali.” “Kami mohon maaf, Ki Bekel.” Kerut dahi Ki Bekel nampak semakin dalam. Agaknya ia menjadi kecewa. Tetapi apaboleh buat. Keduanya masih merasa sangat kenyang. Dengan demikian, maka Wijang dan Paksi pun segera minta diri. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada Ki Bekel yang menjadi kecewa. Tetapi Ki Bekel pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Selamat jalan. Mudah-mudahan kalian tidak menjumpai persoalan yang dapat mengganggu perjalanan kalian. Sekali lagi aku ingin menasehatkan, jangan melibatkan diri dalam persoalan yang gawat ini.” Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Hampir berbareng keduanya menjawab, “Baik, baik, Ki Bekel.” Demikianlah, keduanya pun segera meninggalkan rumah Ki Bekel dari padukuhan yang terhitung besar itu. Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, maka dua orang yang berwajah garang keluar dari ruang dalam. Dengan geram, seorang di antara mereka berkata, “Setan-setan kecil itu menolak untuk makan.” Ki Bekel dengan wajah gelisah menyahut, “Aku sudah mencoba untuk memaksa mereka, tetapi mereka tidak mau.” “Sikapmu tidak meyakinkan,” geram yang lain. “Aku sudah berusaha. Tetapi keduanya memang menolak.” Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi dan berkulit kuning berkata, “Jika saja mereka mau makan, maka racun itu akan membuat mereka menjadi lemah. Kita akan dengan mudah mengakhiri mereka di bulak sebelah.” “Tanpa racun kita akan mengakhiri mereka di pategalan. Tidak di bulak. Itu tentu akan lebih baik. Kemungkinan kecil sekali akan dilihat orang, bagaimana kita membantai kedua anak muda itu.” Namun dalam pada itu, Ki Bekel pun bertanya, “Apa sebenarnya salah mereka sehingga mereka harus dibantai? Bukankah mereka sudah bersedia untuk meninggalkan daerah ini serta tidak lagi ikut memburu cincin bermata tiga itu?” “Mereka tentu berbohong. Aku tidak percaya kepada mereka. Aku menduga bahwa mereka adalah para pengikut Harya Wisaka. Keduanya agaknya sedang memburu Pangeran Benawa. Ilmu mereka nampaknya cukup meyakinkan, sehingga mereka, setidak-tidaknya yang membawa tongkat itu, akan dapat mengganggu tugas-tugas kami. Apalagi jika Harya Wisaka menurunkan orang-orangnya yang lain di daerah ini.” “Mereka tentu bukan pengikut Harya Wisaka. Bukankah jelas bahwa mereka ditugaskan oleh ayah mereka. Bahkan agaknya ada persoalan yang rumit di dalam lingkungan keluarga mereka sendiri. Seorang di antara mereka dengan sengaja diusir dari rumahnya, sehingga perintah untuk mencari cincin itu adalah sekedar untuk menyingkirkannya.” “Mereka hanya berpura-pura.” “Bagaimana mungkin yang dilakukan itu sekedar pura-pura. Tiga orang mati dan sudah dikuburkan. Yang mati itu tidak sekedar pura-pura.” “Kau memang dungu, Ki Bekel,” seorang di antara kedua orang itu membentak. “Orang-orang seperti Harya Wisaka tidak akan merasa sayang mengorbankan orang-orangnya untuk melakukan satu permainan yang rumit. Orang-orang yang saling membunuh itu sendiri tidak menyadari, bahwa mereka tidak lebih dari alat-alat permainan yang diatur oleh Harya Wisaka.” “Permainan yang demikian tentu merupakan permainan yang berlebihan.” “Cukup,” yang lain pun membentak pula. “Kau tidak tahu cara yang diambil oleh Harya Wisaka. Cara yang paling kasar pun akan dilakukannya.” Ki Bekel memang tidak menjawab. Ia sadar, dengan siapa ia berhadapan. Sementara itu, salah seorang dari kedua orang itu pun berkata, “Ingat, Ki Bekel, jika kau tidak ingin padukuhanmu ini hancur, ikuti petunjuk-petunjukku. Aku mempunyai kekuatan yang cukup untuk berbuat apa saja atas padukuhan ini.” Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Jantungnya terasa bergejolak. Tetapi ia tidak dapat melawan kehendak kedua orang itu, karena Ki Bekel menyadari bahwa di belakang kedua orang itu terdapat sebuah kelompok yang berlindung di belakang nama sebuah perguruan yang mempunyai banyak pengikut. Tetapi wajah Ki Bekel itu menjadi pucat ketika salah seorang di antara kedua orang itu berkata, “Marilah, kita susul kedua anak itu.” “Kita hanya berdua?” bertanya yang seorang. “Ki Sampar Angin ada di banjar. Bersama Ki Sampar Angin kita akan dapat menyelesaikan siapa saja.” Kawannya mengangguk-angguk, sementara itu yang lain itu berkata selanjutnya, “Kita berdua akan membunuh seorang di antara mereka. Sedangkan Ki Sampar Angin akan menyelesaikan yang seorang lagi.” Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan terlalu lama.” “Kita akan melakukannya malam nanti.” “Tetapi kita jangan kehilangan jejak.” Keduanya pun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel dengan tergesa-gesa. Namun seorang di antara mereka sempat berkata, “Jangan berbuat aneh-aneh, Ki Bekel. Kakang Wira Bangga akan merasa tidak senang jika kau tidak mau mengikuti petunjuk-petunjukku, apalagi pesan-pesan Kakang Wira Bangga sendiri.” Ki Bekel itu tidak menjawab. Dadanya merasa menjadi sesak. Ia harus menelan kepahitan sikap kedua orang yang berwajah garang itu. Apalagi jika mereka menyebut nama Wira Bangga. Maka bulu-bulu kuduk Ki Bekel menjadi meremang. Sejenak kemudian, kedua orang itu pun telah hilang dari halaman rumah Ki Bekel. Ki Bekel tahu pasti, bahwa keduanya akan pergi ke banjar menjemput orang yang bernama Ki Sampar Angin. Kemudian menyusul kedua orang anak muda yang harus mengalami nasib buruk. Meskipun anak-anak muda itu berbekal ilmu, tetapi apakah mereka mampu menghadapi kedua orang yang garang itu dan apalagi Ki Sampar Angin, kepercayaan Ki Wira Bangga. Tetapi Ki Bekel tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan padukuhannya itu sendiri seakan-akan berada di bawah bayang-bayang Ki Wira Bangga yang setiap saat akan dapat menghancurkannya. Satu-satunya harapan Ki Bekel adalah, kedua orang anak muda itu telah menempuh jalan yang jejaknya tidak dapat diikuti oleh kedua orang berwajah garang yang masih akan singgah di banjar untuk menjemput Ki Sampar Angin. “Kalau saja kedua anak-anak muda itu tahu bahaya yang sedang mengancam mereka,” berkata Ki Bekel di dalam hatinya. Tetapi Ki Bekel pun mengetahui, bahwa jalan ke selatan itu membujur panjang melintasi beberapa padukuhan. Kecuali jika kedua orang anak muda itu berbelok mengambil jalan yang lebih kecil, bahkan lorong-lorong sempit atau jalan setapak. “Jika mereka mengikuti jalan panjang itu, maka mereka tentu akan segera disusul oleh Ki Sampar Angin dengan kedua orang berwajah garang itu,” berkata Ki Bekel dalam hatinya pula. Ada niat untuk menyusul dan memberitahu bahaya yang akan menyusul kedua anak muda itu. Jika ia menunggang kuda, maka dalam waktu singkat kedua orang anak muda itu akan dapat disusulnya. Tetapi Ki Bekel tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Taruhannya bukan sekedar Ki Bekel itu sendiri, tetapi seluruh padukuhannya. Para penghuni padukuhan yang tidak tahu-menahu persoalannya, akan ikut mengalami kesulitan. Karena itu, maka Ki Bekel pun kemudian hanya duduk saja di pringgitan. Kepalanya terasa pening dan keringatnya pun membasahi pakaiannya. Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Tiba-tiba saja ia teringat kepada nasi yang telah disediakan bagi kedua orang anak muda yang akan diracunnya. Racun yang lemah, yang akan membuat tenaga kedua orang anak muda itu menjadi rapuh. Namun, yang gagal karena kedua orang anak muda itu menolaknya. “Jika seseorang makan nasi itu, nasibnya akan menjadi sangat buruk,” berkata Ki Bekel yang kemudian tergesa-gesa pergi ke ruang dalam. Nasi itu pun kemudian telah dibawanya ke kebun belakang. Dibuatnya lubang yang agak dalam. Ditaruhnya nasi itu ke dalamnya dan kemudian ditimbunnya rapat-rapat. Dalam pada itu, Wijang dan Paksi telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka memang menyusuri jalan yang panjang yang menuju ke selatan. Keduanya sama sekali tidak berniat untuk keluar dari jalur jalan itu dan mengambil jalan setapak atau lorong-lorong sempit. “Sikap Ki Bekel itu agak aneh,” desis Wijang. “Ya. Aku merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar,” sahut Paksi. “Mudah-mudahan hanya prasangka buruk,” gumam Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia pun bergumam, “Rasa-rasanya ia memang mengusir kita dari padukuhannya. Apakah Ki Bekel juga berkepentingan cincin itu?” “Mungkin saja. Justru karena daerahnya pernah dilalui atau bahkan menjadi tempat persinggahan orang-orang yang sedang memburu cincin itu, maka ia pun ikut-ikutan memburunya. Apalagi Ki Bekel merasa bahwa padukuhannya merupakan lingkungan perburuan, setidak-tidaknya lintasan perburuan itu,” sahut Wijang. Paksi tidak segera menyahut. Dipandanginya jalan yang membujur panjang di hadapannya. Sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Cahayanya mulai memudar. Panas tidak lagi terasa memanggang tubuh kedua orang anak muda itu. Ketika langit menjadi semakin suram, maka Paksi pun bertanya, “Dimana kita akan bermalam? Apakah kita akan bermalam di banjar padukuhan?” Wijang termangu-mangu sejenak. Katanya, “Padukuhan-padukuhan di jalur ini, nampaknya sangat berhati-hati menanggapi kehadiran orang yang mereka anggap asing. Aku memperhatikan orang-orang di padukuhan-padukuhan yang telah kita lewati. Termasuk padukuhan yang telah menjeratmu dalam pertempuran itu.” “Ya. Aku pun merasakan betapa orang-orang padukuhan memandang kita lewat. Itu tentu karena mereka mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan dari orang-orang yang lewat di padukuhan mereka.” “Kita akan bermalam di tempat yang terbuka saja.” “Di padang perdu.” “Ya. Kita sudah sering bermalam di tempat terbuka.” Keduanya pun kemudian sepakat untuk mencari tempat bermalam sebelum gelap turun, sehingga mereka dapat mengetahui keadaan di seputar tempat mereka bermalam itu. Ketika senja turun, maka mereka telah menemukan tempat yang menurut pendapat mereka cukup baik untuk bermalam. Tidak terlalu dekat dengan hutan. Beberapa buah batu besar berserakan di tempat itu, sehingga mereka akan dapat tidur di atas salah satu batu yang datar. Keduanya pun kemudian telah memilih dua buah batu yang jaraknya tidak terlalu jauh. Mereka pun kemudian telah sepakat untuk bergantian tidur. “Bagaimanapun juga kita berada di daerah yang asing,” berkata Wijang. “Kita harus berhati-hati.” Paksi mengangguk. Katanya kemudian, “Kau sajalah yang tidur dahulu. Aku akan tidur lewat tengah malam.” Wijang tersenyum. Katanya, “Pilihan yang baik.” Paksi pun tersenyum. Katanya, “Kau dapat tidur sekarang.” “Siapa yang dapat tidur di saat seperti ini?” Paksi tertawa. Katanya, “Jika demikian, baiklah. Kita masih punya waktu untuk membersihkan diri. Di sebelah tentu ada sungai. Aku mendengar airnya yang gemericik.” Keduanya pun kemudian telah pergi ke sungai. Pendengaran mereka yang tajam telah menuntun mereka ke sebuah tebing. Namun Wijang pun kemudian berbisik di telinga Paksi, “Jangan letakkan tongkatmu jika kau turun ke sungai.” “Ya. Aku mendengar. Tetapi aku belum melihat sesuatu.” “Aku juga belum. Gelap mulai turun. Berhati-hatilah. Setiap saat bahaya dapat menyergap kita.” Paksi mengangguk kecil. Dengan hati-hati Paksi menuruni tebing sungai. Pendengarannya yang tajam, dengan mengetrapkan ilmu Sapta Pangrungu, Paksi menangkap desir lembut beberapa langkah di sampingnya. Sentuhan tubuh seseorang dengan dedaunan pada gerumbul perdu. Sambil bertelekan tongkatnya, Paksi menuruni tebing. Ia berjalan di depan, sedangkan Wijang berjalan di belakang. Kedua anak muda itu mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri. Keduanya hanya duduk saja di atas sebuah batu yang besar sambil berkelakar. Sekali-sekali terdengar suara mereka tertawa meledak dan berkepanjangan. Ketika gelap malam menjadi semakin hitam, keduanya seakan-akan tidak menghiraukannya. Keduanya masih saja berbicara. Bahkan keduanya mulai berteka-teki. Ternyata orang-orang yang menunggu mereka lengah, menjadi tidak sabar lagi. Dengan satu isyarat, tiga orang telah meloncat dari balik gerumbul. Kemudian meluncur menuruni tebing sungai itu pula. Sambil berdiri di tepian yang berpasir dan berbatu-batu, Ki Sampar Angin pun berkata, “Selamat malam, anak-anak muda. Apa yang kalian lakukan disitu?” Wijang dan Paksi tidak terkejut lagi karena kehadiran mereka. Keduanya memandang ketiga orang itu sejenak. Kemudian kedua orang anak muda itu turun dari atas batu yang besar itu. “Selamat malam, Ki Sanak,” desis Wijang. “Siapakah kalian dan apakah kalian ingin bertemu dengan kami?” “Ya,” sahut Ki Sampar Angin. “Kami memang ingin bertemu dengan kalian.” “Untuk apa?” bertanya Wijang pula. Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Kami sengaja mengikuti perjalanan kalian.” “O.” “Kami ingin mendapatkan cincin bermata tiga itu.” “Cincin apa?” bertanya Paksi dengan serta-merta. “Jangan ingkar. Cincin itu tentu sudah ada pada kalian.” “Aku tidak tahu maksudmu,” geram Wijang. “Jangan berpura-pura. Sekarang berikan cincin itu kepada kami. Kami tidak akan mengusik kalian.” “Kami tidak tahu, apa maksud kalian yang sebenarnya.” “Jangan banyak bicara. Ada tidak ada alasannya kita akan bertempur. Kami akan menghancurkan kalian semuanya dan mengambil cincin itu dari salah seorang dari kalian berdua.” Wijang berpaling kepada Paksi sejenak. Namun dengan sengaja ia menjawab dengan kata-kata yang cukup tajam, “Apa kalian melihat wajah kami bercahaya sehingga kalian menganggap bahwa kami telah menemukan cincin yang sedang diburu itu? Ki Sanak, kami bukan orang-orang tamak seperti kalian. Kami justru menghindari dari lingkungan perburuan ini.” “Kalian akan pergi sambil membawa cincin itu?” bertanya Ki Sampar Angin. “Mimpimu sangat buruk, Ki Sanak.” “Jangan mencoba melawan, karena tidak ada artinya sama sekali. Perlawanan hanya akan menambah kemarahan kami, sehingga kami akan dapat berbuat sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan menjelang kematian kalian.” Wijang dan Paksi pun segera teringat pula kepada dua orang yang dengan ringan hati berusaha membunuh mereka. Jika mereka tidak menemukan cincin itu, tidak menjadi apa. Korban yang telah dibunuh itu tidak membebani perasaan mereka sama sekali. “Ki Sanak,” berkata Wijang kemudian, “kami sama sekali tidak berurusan dengan cincin itu.” “Kau kira aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang telah mati termasuk yang kau bunuh itu.” Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Jika kau tahu apa yang kami bicarakan, kau tentu juga tahu, setidak-tidaknya menangkap makna pembicaraan kami, bahwa cincin itu masih belum kami ketemukan.” Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Mungkin kau memang belum menemukan. Tetapi bukankah kau masih akan mencarinya? Kau atau ayahmu atau siapa pun yang berhubungan dengan kau, menurut perhitunganku adalah orang-orang yang digerakkan oleh Harya Wisaka. Begitu rumitnya permainannya, sehingga kalian menjadi saling membunuh tanpa disadari. Berebut medan dan dahulu mendahului. Ayah kalian itu pun tentu hanya sekedar barang mainan Harya Wisaka sehingga bersedia mengorbankan anak dan kemenakannya.” “Kau mengigau,” geram Paksi. “Permainan yang sangat rumit. Entahlah, apa yang dilakukan oleh Harya Wisaka. Prajurit-prajurit sandi yang selama ini mendapat kepercayaan dari Kangjeng Sultan pun telah menjadi alat permainannya pula. Para bangsawan dan para tumenggung.” “Kau mengigau,” geram Paksi yang jantungnya mulai memanas. “Kau kira kau dapat memperlakukan kami sekehendak hatimu?” “Aku tahu bahwa kau memiliki kemampuan yang baik. Tetapi kau tidak akan dapat melawan kami bertiga. Seorang di antara kalian akan segera dibantai oleh kedua orang kawanku, sedangkan yang seorang lagi akan segera aku cincang sampai lumat.” Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Mereka sadar bahwa orang yang bernama Sampar Angin itu tentu orang yang berilmu tinggi. Sedangkan kedua orang yang lain tentu juga orang-orang yang berbahaya. Bagaimana juga Wijang dan Paksi harus memperhitungkan berbagai macam kemungkinan. Bahkan kemungkinan yang terburuk sekalipun. Betapapun kedua anak muda itu membekali dirinya, namun kemampuan mereka tetap saja terbatas. Dengan demikian, maka mungkin saja orang itu memiliki kemampuan melampaui kemampuan mereka berdua. Tetapi apa pun yang akan terjadi, keduanya harus menghadapinya. Sudah tentu mereka tidak akan dengan suka rela menyerahkan leher mereka untuk dipenggal. Karena itu, maka Wijang pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Apa pun yang terjadi, kami memang harus menghadapi.” Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Tetapi sebelum kami membantai kalian, kami ingin kalian mengetahui serba sedikit tentang kami bertiga. Namaku Ki Sampar Angin. Mungkin kalian sudah pernah mendengarnya. Kedua orang itu kawanku ini adalah Ki Sura Semu dan Ki Prana Gombak. Keduanya adalah orang yang namanya sangat ditakuti. Bukan saja oleh orang kebanyakan, tetapi gegedug di seluruh Pajang pun selalu memperhitungkan kehadirannya. Karena itu, kalian tidak akan dapat memperlakukannya sebagaimana kau lakukan sebagaimana orang yang menyusulmu atas perintah ayahmu dan yang telah membunuh dua orang yang mencarimu atas perintah ibumu itu.” Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Namun mereka tidak ingin kalah sebelum berusaha mempertahankan diri. Karena itu, mereka tidak ingin menghiraukan, siapa pun yang mereka hadapi. Apakah mereka orang-orang sakti yang dapat bersembunyi di balik kabut, atau bahkan dapat terbang di awang-awang. Karena itu, maka Wijang pun menyahut, “Kami akan mempertahankan hidup kami. Kami merasa masih terlalu muda untuk mati.” “Itu adalah ciri dari para pengikut Harya Wisaka. Mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah. Mereka baru mengakhiri perlawanan mereka setelah mati. Kesetiaan mereka sampai pada batas kematian. Itulah yang aku kagumi. Bagaimana Harya Wisaka dapat membuat orang-orangnya kehilangan pribadinya dan berserah diri seutuhnya bagi kepentingannya.” “Kenapa kau masih saja mengigau, Ki Sampar Angin. Kami sudah siap untuk mempertahankan diri.” Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Aku kagumi keberanian kalian. Aku memang iri kepada Harya Wisaka yang mempunyai pengikut setia sampai mati.” Wijang dan Paksi pun tidak menjawab. Apa pun yang mereka katakan tidak berarti apa-apa. Orang itu akan tetap dapat menganggapnya sebagai pengikut Harya Wisaka. Namun mungkin juga karena Ki Sampar Angin dan kelompoknya terlalu cemas terhadap kekuatan Harya Wisaka, sehingga setiap kekuatan yang tidak dikenalnya selalu dihubungkannya dengan apa yang disebutnya sebagai permainan yang digerakkan oleh Harya Wisaka. Tetapi apa pun latar belakang dari Ki Sampar Angin, Wijang dan Paksi harus sangat berhati-hati menghadapi ketiga orang yang berilmu tinggi itu. Sebenarnyalah sejenak kemudian, Ki Sampar Angin pun bergeser selangkah. Kepada kedua orang kawannya ia pun berkata, “Nah, kita sudah terlalu lama berbicara. Sekarang waktunya untuk membunuh mereka.” Kedua orang itu pun bergeser pula. Sementara Wijanglah yang kemudian berdiri tegak untuk menghadapi kedua orang itu. Menurut perhitungannya, kedua orang itu tentu lebih berbahaya dari Ki Sampar Angin meskipun ilmu Ki Sampar Angin tentu lebih tinggi dari Sura Semu dan Prana Gombak. Tetapi jika keduanya bergabung menjadi satu, maka kekuatan dan kemampuan keduanya akan lebih besar dari Ki Sampar Angin. Paksi lah yang kemudian bersiap menghadapi Ki Sampar Angin. Seorang yang nampaknya memiliki bekal ilmu yang tinggi serta pengalaman yang sangat luas. Ki Sampar Angin pun sambil tertawa mulai meloncat menyerang. Tetapi ia menghentikan langkahnya, karena Paksi menyilangkan tongkatnya. Sambil bergeser selangkah Ki Sampar Angin berkata, “Nampaknya tongkatmu adalah senjata andalanmu.” Paksi tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Ki Sampar Angin melibat Paksi dengan pertempuran yang cepat. Demikian tiba-tiba sehingga Paksi pun terdorong beberapa langkah surut. Ki Sampar Angin kemudian berdiri di atas batu sambil berkata, “Nah, kau harus menyadari, bahwa bobot ilmuku tidak sekedar sejajar dengan bobot ilmu orang yang telah kau bunuh itu.” “Ya,” jawab Paksi, “aku tahu.” “Nah, dengan demikian kau tahu apa yang akan terjadi atas dirimu.” “Apa pun yang terjadi,” geram Paksi. Ki Sampar Angin tidak berbicara lagi. Tetapi serangan-serangannya pun kemudian telah datang bergulung seperti angin pusaran. Namun Paksi pun telah dibekali ilmu pula. Karena itu, tongkatnya pun segera berputaran. Sekali-sekali menukik menusuk dengan cepatnya. Ternyata Ki Sampar Angin pun mengalami kesulitan melawan anak muda yang bersenjata tongkat itu. Gerakannya menjadi sangat terbatas. Serangannya sulit untuk menjangkaunya, karena putaran tongkat anak muda itu merupakan pertahanan yang sangat rapat. Bahkan serangan-serangan tongkat Paksi pun semakin lama menjadi semakin berbahaya. Ketika tongkat Paksi terjulur lurus ke arah dada, Ki Sampar Angin dengan cepat pula bergeser selangkah ke samping. Namun tiba-tiba saja tongkat itu menggeliat. Hampir saja tongkat itu menyambar kening Ki Sampar Angin, sehingga Ki Sampar Angin itu dengan tergesa-gesa meloncat jauh surut. Meskipun tongkat itu tidak menyentuhnya, tetapi jantung Ki Sampar Angin telah tergetar. Hampir saja keningnya terkoyak tongkat anak muda itu. Karena itu, maka Ki Sampar Angin pun tidak akan membiarkan tubuhnya dikenai oleh senjata lawannya yang menjadi semakin berbahaya. Ketika tongkat Paksi kemudian menyambarnya, maka tiba-tiba saja telah terjadi benturan yang keras. Paksi terkejut. Sementara itu, Ki Sampar Angin pun tertawa. Katanya, “Kau terkejut anak muda.” Paksi tidak menjawab. Tetapi ia bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan sepasang gelang-gelang besi yang digenggamnya di kedua belah tangannya, maka Ki Sampar Angin tentu akan menjadi lebih berbahaya. “Apakah kau belum pernah melihat jenis senjata seperti senjataku?” Paksi mengerutkan dahinya. Namun asal saja ia menjawab, “Sudah.” “O. Siapakah yang pernah mempergunakan senjata seperti senjataku ini?” Paksi pun menjawab sekenanya, “Di lereng Gunung Merapi.” “Di lereng Gunung Merapi? Saat terjadi perang brubuh itu?” Seperti orang yang sedang mengigau Paksi menjawab, “Ya.” “Kalau begitu, aku menjadi yakin sekarang. Kau tentu salah satu dari alat permainan Harya Wisaka.” Paksi terkejut. Sambil memutar tongkatnya ia bertanya, “Kenapa kau mengambil kesimpulan seperti itu?” Ki Sampar Angin tiba-tiba saja meloncat mengambil jarak. Katanya, “Kau tentu ada di pertempuran itu. Kau tentu berada di dalam pasukan Harya Wisaka.” “Apakah kau juga ada di dalam pertempuran itu?” “Tidak. Baru kemudian Wira Bangga memberitahukan kepadaku tentang pertempuran itu. Tentang keganasan Harya Wisaka dan para pengikutnya yang terdiri dari para prajurit dan bahkan prajurit sandi. Tetapi juga beberapa orang pertapa yang dapat dipengaruhinya serta beberapa perguruan yang dipimpin oleh orang-orang buta mata hatinya, karena mereka tidak dapat mengerti, siapakah Harya Wisaka itu.” “Apakah hatimu tidak buta dan melihat dengan terang, siapakah yang berdiri di belakangmu? Ternyata kau juga tidak lebih dari barang permainan yang dimainkan oleh Wira Bangga sebagaimana pengakuanmu sendiri.” “Tidak, anak muda. Hubunganku dengan Wira Bangga berbeda dengan hubungan Harya Wisaka dengan alat-alat permainannya.” “Aku tidak peduli,” geram Paksi. “Aku bukan pengikut Wira Bangga. Tetapi aku telah menempatkan diri dan bekerja untuknya, karena aku ingin melihatnya berhasil. Aku adalah kakak seperguruannya.” “O,” Paksi menjadi berdebar-debar. Tetapi kesan itu tidak nampak pada sikapnya mau pun pada kata-katanya. Orang itu adalah saudara tua seperguruan Wira Bangga. Dengan demikian dapat diduga bahwa ilmunya agak lebih tinggi, setidak-tidaknya lebih matang dari ilmu yang dimiliki oleh Wira Bangga. “Nah, kau sekarang tahu siapa aku sebenarnya. Karena itu, maka kau sama sekali tidak mempunyai harapan untuk dapat keluar dari tempat ini dengan selamat.” Namun Paksi pun bertanya, “Apakah perguruanmu itu termasuk salah satu perguruan hitam?” Orang itu tertawa lagi berkepanjangan. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah yang kau maksud dengan perguruan hitam?” “Kau tahu maksudnya,” geram Paksi. “Baik. Mungkin aku harus menerjemahkan hitam itu dengan sifat-sifat yang buruk. Bekerja dengan iblis dan berniat untuk menghancurkan dunia ini.” “Nah, kau akui keberadaanmu?” “Aku tidak pernah memperdulikan, apakah kami termasuk golongan yang disebut hitam atau putih. Yang penting aku mempunyai ilmu yang tinggi, yang dapat aku pergunakan untuk menggapai keinginan-keinginan yang bergetar di dalam dadaku.” “Jadi kau anggap sah untuk mempergunakan cara apa pun untuk mencapai tujuan?” “Bersiaplah,” tiba-tiba saja Ki Sampar Angin menggeram. Paksi tidak bertanya lagi. Ia pun segera bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan gelang-gelang besi yang digenggam di kedua tangannya, Ki Sampar Angin pun menyerang Paksi dengan garangnya. Kedua tangannya terayun-ayun mengerikan. Dengan gelang-gelang besinya, Ki Sampar Angin berulang-ulang membentur tongkat Paksi yang menggelepar di tangannya. Namun Paksi pun semakin lama semakin merasakan, betapa besar tenaga orang yang bernama Ki Sampar Angin itu. Bahkan semakin lama serangan-serangan Ki Sampar Angin menjadi semakin deras mengalir mendera pertahanan Paksi yang mulai goyah. Paksi pun harus meningkatkan kemampuannya untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan Ki Sampar Angin yang datang bagaikan angin prahara. Dalam pada itu, Wijang pun harus bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Wijang pun harus berloncatan dengan cepat untuk menghindari serangan-serangan yang datang beruntun, susul-menyusul dari kedua orang yang berdiri seberang-menyeberang. Dengan demikian, maka Wijang pun harus meningkatkan ilmunya pula. Ia harus mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk menghindari serangan lawan-lawannya. Kedua orang lawan Wijang itu ternyata agak terkejut juga melihat kemampuan anak muda itu. Ternyata anak muda itu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Berloncatan dan bahkan kadang-kadang bagaikan terbang menghindar dari garis serangan kedua lawannya. Wijang yang sebenarnya adalah Pangeran Benawa itu ternyata memang memiliki ilmu yang seakan-akan tidak terbatas. Meskipun ia harus menghadapi lawannya yang berilmu tinggi, namun ternyata bahwa Wijang tidak segera mengalami kesulitan. Dengan kemampuannya yang tinggi, kedua orang lawannya kadang-kadang telah terkejut karena unsur gerak Wijang yang tidak terduga-duga. Meskipun demikian, Wijang masih mampu menyembunyikan ciri-ciri ilmunya yang sebenarnya agar kedua orang lawannya tidak dapat mengenalinya. Kadang-kadang Wijang bertempur dengan keras. Tidak ada bedanya dengan kekasaran kedua orang lawan-lawannya. Namun kedua orang lawan Wijang itu pun mempunyai landasan ilmu yang tinggi serta pengalaman yang luas. Mereka tidak pernah merasa dihambat oleh perasaannya. Apalagi belas kasihan serta pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan yang lain. Keduanya bertempur tanpa kendali, serangan-serangan mereka meluncur tanpa terkekang sama sekali. Karena itulah, maka Wijang harus benar-benar berhati-hati. Meskipun keduanya tidak segera dapat menguasainya, namun Wijang tidak boleh lengah barang sekejappun, karena yang sekejap itu akan dapat berarti akhir dari segala-galanya. Sebenarnya Wijang tidak mencemaskan diri sendiri. Sekilas ia sempat melihat, apa yang terjadi dengan Paksi. Wijang melihat, bahwa Paksi sudah terjerat dalam kesulitan. Wijang menyesal, bahwa ia telah memilih kedua orang itu sebagai lawannya. Semula ia menganggap kemampuan Ki Sampar Angin tentu tidak akan lebih tinggi dari kemampuan kedua orang yang bertempur berpasangan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ki Sampar Angin adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi. Bahkan Wijang pun merasa, bahwa seorang diri, ia akan mengalami kesulitan untuk melawan Ki Sampar Angin. Karena itu, maka Wijang pun segera menghentakkan ilmunya. Sepasang pisau belatinya telah berada di dalam genggamannya. Seperti banjir bandang ia melibat kedua orang lawannya..... Kedua lawannya pun telah bersenjata pula. Seorang di antara mereka bersenjata kapak, sedang yang lainnya bersenjata golok yang besar. Meskipun demikian, pisau belati di tangan Wijang itu pun menjadi sangat berbahaya. Dengan pelindung pergelangan tangannya, Wijang menangkis serangan-serangan kapak dan golok lawannya. Kemudian dengan pisau belatinya ia menyerang dengan cepat, seperti kuku burung sikatan yang menyambar mangsanya di rerumputan. Wijang yang mengetahui kesulitan Paksi, dengan mengerahkan kemampuannya, berusaha untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan kedua lawannya. Tetapi ternyata Wijang tidak dapat melakukannya dengan cepat. Kedua lawannya tidak membiarkan lehernya dikoyak oleh pisau belati Wijang atau perut mereka dibelah dengan pisau belati yang tajam itu. Karena itu, maka mereka pun memberikan perlawanan yang cukup berat bagi Wijang meskipun Wijang berhasil mendesak kedua lawannya itu. Wijang menjadi semakin cemas ketika Paksi tidak lagi mampu memberikan perlawanan yang dapat membendung arus serangan lawannya. Gelang-gelang di kedua tangan Ki Sampar Angin membuat tongkat Paksi menjadi tidak berarti. Dalam puncak ilmunya, Paksi berloncatan dengan cepatnya sehingga kadang-kadang hanya nampak seperti bayangan yang berterbangan di seputarnya. Namun Ki Sampar Angin tidak menjadi bingung. Bahkan kadang-kadang Ki Sampar Angin bahkan dapat mencegat tata gerak Paksi yang cepat itu. Paksi yang telah menempa diri dengan laku yang berat, ternyata tidak mampu mengatasi kemampuan Ki Sampar Angin. Serangan-serangannya tidak mampu memecahkan pertahanan lawannya. Bahkan beberapa saat kemudian, serangan-serangan Ki Sampar Angin yang datang benar-benar merupakan angin prahara, yang telah menggulungnya, menghanyutkannya dalam putaran yang semakin cepat. Paksi yang mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi itu kemudian bagaikan selembar kapuk randu yang diombang-ambingkan oleh angin pusaran yang keras, yang kemudian menggulungnya dan siap melemparkannya ke udara dan membantingnya jatuh di tanah yang berbatu-batu. Wijang menjadi sangat cemas. Terdengar Wijang berteriak nyaring, “Paksi, kau mampu meringankan tubuhmu. Kau tentu mampu memberatkan tubuhmu.” Suara Wijang itu memang menggetarkan jantung Paksi. Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Paksi pun berusaha melawan angin pusaran yang sedang mempermainkannya. Tetapi pengaruhnya tidak terlalu besar. Paksi masih saja terombang-ambing tanpa dapat berbuat banyak. Meskipun penalarannya masih tetap utuh, namun rasa-rasanya sangat sulit bagi Paksi untuk dapat keluar dari pusaran kekuatan ilmu Ki Sampar Angin. Kecemasan semakin mencekam jantung Wijang. Ia semakin mengerahkan kemampuannya untuk menyelesaikan kedua lawannya. Tetapi kedua lawannya juga berilmu tinggi. Keduanya mampu memberikan perlawanan yang menyulitkan bagi Wijang. Meskipun Wijang selalu mendesak mereka, namun Wijang masih belum berhasil memberikan pukulan terakhir. Dalam keadaan yang rumit itu, Wijang tidak lagi memikirkan akibatnya, ketika Wijang harus mengerahkan kemampuan puncaknya, tiba-tiba saja Wijang justru telah menyelipkan kedua pisau belatinya di sarungnya. Dengan serta-merta Wijang itu telah menelakupkan kedua telapak tangannya. Pada kedua telapak tangan Wijang yang menelakup itu, telah mengepul asap yang berwarna kehijauan. Ki Sampar Angin yang melihatnya terkejut. Apalagi ketika ia melihat Wijang itu kemudian mengangkat tangan kanannya di atas kepalanya. “Lebur Seketi,” Ki Sampar Angin memperingatkan kedua orang kawannya. Kedua orang lawan Wijang itu terkejut pula. Hanya ada beberapa orang yang mampu memiliki kemampuan menguasai ilmu yang menggetarkan jantung itu. Apalagi lawan mereka itu masih muda. Memang sulit dipercaya. Namun ciri-ciri dari ilmu itu sudah nampak diungkapkan oleh anak muda itu. Dengan demikian, maka jantung kedua orang lawan Wijang itu serasa berdentang semakin cepat. Dengan serta-merta mereka berloncatan menebar. Namun Wijang bergerak terlalu cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang seorang di antara kedua lawannya. Orang itu tidak lagi mampu mengelakkan dirinya. Karena itu, dengan mengerahkan segenap ilmunya, maka orang itu terpaksa menangkis serangan Wijang. Dengan demikian, maka dua kekuatan ilmu yang tinggi telah berbenturan. Wijang memang tergetar selangkah surut. Namun lawannya telah terlempar beberapa langkah. Terbanting jatuh dan berguling beberapa kali. Namun kemudian orang itu sama sekali tidak bergerak lagi. Pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang lain telah meloncat mengayunkan tangannya ke arah tengkuk Wijang. Wijang yang masih terguncang itu tidak dapat membentur serangan itu. Ia tidak sempat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, sehingga jika ia memaksakan sebuah benturan terjadi, maka keadaan Wijanglah yang akan menjadi sangat sulit. Dalam keadaan yang demikian, Wijang masih berusaha menghindar. Ia pun menjatuhkan dirinya di saat tangan lawannya itu menyambarnya. Wijang masih berhasil menghindar dari ilmu lawannya. Namun ketika kemudian ia meloncat bangkit, maka akibat benturan yang terjadi sebelumnya, terasa mempengaruhi pernafasannya. Tetapi Wijang tidak sempat berpikir terlalu jauh. Ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghancurkan lawannya yang seorang lagi sebelum ia dapat membantu Paksi yang mengalami kesulitan yang semakin parah. Paksi sudah mulai kehilangan kemampuan perlawanannya. Tongkatnya memang masih berada di tangannya, tetapi tubuhnya berada diombang-ambingkan oleh pusaran angin yang tidak mampu dilawannya. Dalam pada itu, Ki Sampar Angin itu pun berteriak, “Berhati-hatilah. Kau berhadapan langsung dengan Pangeran Benawa. Bertahanlah. Anak itu sudah tidak berdaya. Dalam sekejap aku dapat membunuhnya.” Pangeran Benawa serta Paksi yang sudah tidak berdaya itu terkejut. Ternyata Ki Sampar Angin mampu mengenali Pangeran Benawa dari ungkapan ilmu yang memang sudah jarang dikuasai oleh orang-orang berilmu tinggi. “Anak semuda itu yang mampu menguasai ilmu itu hanyalah beberapa orang saja. Antara lain Pangeran Benawa dan Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi Mas Ngabehi itu sekarang berada di istana.” Namun Wijang sempat berteriak, “Ada lebih dari seribu orang yang mampu melakukan sebagaimana aku lakukan sekarang. Kalianlah yang ternyata sangat picik, sehingga tidak mengetahui isi dari dunia oleh kanuragan yang sebenarnya.” Ki Sampar Angin pun menyahut, “Siapa pun kau, tetapi kau tidak akan mampu menolong kawanmu. Beruntunglah aku, bahwa aku dapat langsung bertemu dengan Pangeran Benawa.” Wijang menggeram. Tetapi ia tidak boleh terbenam dalam pembicaraan itu. Paksi sudah semakin tidak berdaya meskipun ia mengerahkan segenap ilmunya. Ternyata Wijang yang dadanya telah terguncang oleh benturan ilmu dengan salah seorang lawannya, tidak segera mampu mengalahkan lawannya yang seorang lagi. Wijang pun harus berpikir ulang, apakah ia masih dapat membenturkan ilmunya sekali lagi tanpa menghancurkan dadanya yang sudah melemah. Sementara itu, lawannya juga merasa ragu untuk berbenturan ilmu. Meskipun lawannya itu mengetahui bahwa anak muda itu sudah tidak lagi berada pada puncak kemampuannya. Tetapi Lebur Seketi adalah ilmu yang sangat menggetarkan. Seorang kawannya telah terkapar jatuh dan tidak mampu bangkit kembali untuk selamanya. Sementara itu, keadaan Paksi ternyata menjadi semakin memburuk. Dalam pusaran angin, Paksi hanya mampu meronta. Menggeliat dan mencoba bertahan. Tetapi ia sama sekali sudah tidak mampu untuk menyerang lawannya. Wijang yang semakin gelisah itu tidak dapat sekedar menunggu, berpikir dan apalagi ragu-ragu. Karena itu, maka Wijang pun akhirnya memutuskan untuk mengetrapkan ilmunya Lebur Seketi, apa pun bakal jadinya. Jika ia masih dapat mengalahkan lawannya, maka ia akan dapat membantu Paksi. Jika tidak, biarlah ia pun hancur dalam pertempuran itu. Karena itu, maka sekali lagi Wijang menelakupkan tangannya. Dalam kegelapan malam, beberapa pasang mata yang tajam itu melihat asap yang berwarna kehijauan mengepul dari sela-sela telapak tangannya. Kemudian Wijang pun dengan cepat mengangkat tangannya dan meloncat menyerang lawannya. Lawannya tidak mempunyai pilihan lain. Demikian cepatnya semuanya itu terjadi. Karena itu, lawannya itu pun telah mengerahkan semua kemampuannya pula. Menyilangkan tangannya di depan wajahnya. Sekali lagi telah terjadi benturan yang keras. Ilmu yang jarang ada duanya itu telah membentur pertahanan lawannya. Akibatnya memang sangat mendebarkan. Ternyata Wijang tidak hanya terdorong selangkah surut. Tetapi ia pun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Nafasnya menjadi semakin sesak, sementara jantungnya terasa bagaikan terbakar. Ketika kemudian Wijang berusaha untuk bangkit, maka keseimbangannya masih belum pulih kembali. Sendi-sendinya terasa semakin tidak berdaya. Wijang memandang lawannya yang terlempar dan jatuh terguling. Benturan itu telah membuat bagian dalamnya terluka parah. Kekuatan Aji Lebur Seketi benar-benar tidak dapat ditandinginya meskipun lawannya sudah tidak berada di puncak kemampuannya. Orang itu masih mampu menggeliat. Bahkan mengerang kesakitan. Namun kemudian suaranya yang lemah itu pun telah terputus sama sekali. Namun Wijang pun sudah terlalu lemah pula. Meskipun demikian, ia tidak dapat membiarkan Paksi mengalami bencana. Karena itu, tertatih-tatih Wijang pun melangkah mendekati pusaran angin yang sedang mempermainkan Paksi yang sudah menjadi semakin lemah. Ketika Ki Sampar Angin melihat kedua lawannya sudah tidak mampu melakukan perlawanan dan bahkan mungkin sudah terbunuh, ia pun menggeram marah. Apalagi ketika ia melihat Wijang tertatih-tatih mendatanginya. “Kau sudah tidak berdaya, Pangeran,” berkata Ki Sampar Angin. “Tenagamu sudah terkuras habis. Kau tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Bahkan lari pun kau tidak mungkin melakukannya. Tetapi kematian kedua orang kawanku itu harus kau tebus. Kawanmu ini pun harus mati.” Ki Sampar Angin tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian telah menghentakkan ilmunya, sehingga pusaran angin itu menjadi semakin cepat. “Tunggu,” teriak Wijang. “Apa yang kau kehendaki dariku. Bebaskan kawanku, aku akan memenuhi apa yang kau inginkan.” “Cincin itu,” teriak Ki Sampar Angin. “Baik. Aku akan memberikan cincin itu.” “Apakah cincin itu benar ada padamu?” “Ya,” jawab Wijang. “Jika demikian, aku akan membunuh kawanmu, kemudian membunuhmu, aku akan mendapatkan cincin itu.” “Kau curang. Kau harus melepaskan kawanku itu.” Tetapi Ki Sampar Angin justru tertawa berkepanjangan. Dihentakkannya ilmunya bukan saja semakin tinggi, tetapi justru sampai ke puncak. Paksi sudah tidak berdaya lagi. Pusaran itu menghisapnya, melemparkannya ke udara. Kemudian melepaskannya, sehingga Paksi itu pun meluncur dengan derasnya jatuh di sungai yang berbatu-batu. Tetapi yang tidak terduga itu telah terjadi. Demikian tubuh itu hampir menghantam sebongkah batu yang besar, maka sesosok tubuh telah meloncat menyambarnya. Dengan kekuatan dan kemampuan melampaui kewajaran, orang itu menangkap tubuh Paksi, kemudian meletakkannya di atas batu besar itu. Sementara sosok tubuh itu berdiri tegak di sebelahnya dengan kaki renggang. Paksi sendiri kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk di sebelah orang itu. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Jantungnya yang rasa-rasanya berhenti berdenyut itu, terasa mulai dialiri darahnya kembali. Ki Sampar Angin terkejut bukan kepalang. Sosok tubuh itu tiba-tiba saja telah ada disitu tanpa diketahui, kapan ia datang. Paksi yang kemudian turun dari batu besar itu berusaha untuk mengenali orang yang telah menolongnya. Dengan nada tinggi Paksi yang lemah itu berdesis, “Ki Marta Brewok.” Orang itu tertawa. Katanya, “Benar, Paksi. Aku datang tepat pada waktunya. Seandainya tubuhmu jatuh menimpa batu ini, maka dapat dibayangkan, apa yang terjadi atas dirimu.” Wijang yang melangkah tertatih-tatih mendekat itu pun berdesis pula, “Untunglah Ki Marta Brewok berada disini di saat yang sangat gawat ini. Pada saat kami berdua sudah tidak berdaya untuk mengadakan perlawanan.” “Kalian berdua memang bukan lawan orang ini,” desis Ki Marta Brewok. “Ki Sampar Angin adalah orang yang sangat sakti. Ilmunyalah yang sebenarnya bernama Sampar Angin. Tetapi nama ilmunya itulah yang kemudian dipakainya untuk namanya.” “Persetan. Siapakah kau yang telah berani mencampuri persoalanku dengan anak-anak muda ini.” Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Ternyata kebesaran namamu tidak seimbang dengan kebesaran jiwamu. Kau hanya berani bermain-main dengan anak-anak. Sudah tentu kau dapat memenangkan pertempuran melawan mereka. Itu pun sama sekali tidak adil, kau bertiga, sedang anak-anak itu hanya berdua.” “Aku memerlukan mereka. Dan kau tidak berhak ikut campur.” “Setiap orang Pajang berhak ikut campur, karena kau akan merampas cincin kerajaan Pajang. Setiap orang Pajang wajib mengamankan cincin itu.” “Kau sendiri tentu menghendaki cincin itu.” “Tidak. Jika aku menginginkannya, tentu sudah aku lakukan. Aku mengenal mereka sejak lama. Aku pernah tinggal bersama mereka. Aku tahu bahwa cincin itu ada pada Pangeran Benawa sejak ia meninggalkan istana.” Ki Sampar Angin memandang orang itu dengan tajamnya. Sementara itu Ki Marta Brewok itu pun kemudian telah meloncat turun dan melangkah mendekat. “Apa pun yang kau katakan,” berkata Ki Sampar Angin, “aku menginginkan cincin itu, maka kaulah yang akan mati lebih dahulu.” “Aku sudah tahu kedahsyatan ilmumu, Ki Sampar Angin. Tetapi itu tidak menggetarkan perasaanku. Aku sudah bertekad untuk membantu menyelamatkan cincin itu. Karena itu maka cincin itu harus tetap berada di tangan Pangeran Benawa.” Sorot mata Ki Sampar Angin bagaikan menyala. Ia memang tidak menghiraukan lagi kedua orang anak muda yang sudah tidak berdaya itu. Meskipun Pangeran Benawa berilmu tinggi, tetapi benturan ilmu yang terjadi dua kali berturut-turut itu membuatnya menjadi sangat lemah. Karena itu, maka yang akan dihadapinya hanyalah orang yang disebut Marta Brewok itu. Meskipun Ki Sampar Angin sadar, bahwa lawannya itu berilmu sangat tinggi, tetapi Ki Sampar Angin meyakini, bahwa orang itu tidak akan mampu mengalahkan ilmunya. Angin pusaran itu akan segera membelitnya, menghisap dan melemparkannya ke udara. Kemudian membantingnya di atas bebatuan. Ki Mana Brewok pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ia bergeser selangkah mendekat. Ki Sampar Angin itu pun telah bersiap pula untuk bertempur. Di tangannya justru tidak lagi tergenggam lingkaran-lingkaran besinya. Tetapi dengan kedua tangannya yang kosong, Ki Sampar Angin tidak kalah berbahayanya. Apalagi ia sudah mengetrapkan ilmunya yang menggetarkan itu. Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Keduanya langsung berada pada tataran ilmu yang tinggi. Ayunan tangan mereka menimbulkan sambaran angin yang deras, tajam dan panas. Tetapi daya tahan Ki Marta Brewok cukup tinggi. Karena itu, maka sentuhan udara yang tajam dan panas itu sama sekali tidak mempengaruhi perlawanannya. Dalam pada itu, Ki Sampar Angin pun tidak ingin bertempur berlama-lama. Ia sadar bahwa lawannya yang berilmu itu sudah melihat tataran ilmunya, bahkan sampai ke puncak. Karena itu, maka Ki Sampar Angin pun segera mengetrapkan ilmunya. Serangan-serangannya pun kemudian telah melibat lawannya bagaikan libatan angin prahara. Semakin lama semakin cepat berputar seperti angin pusaran. Tetapi Ki Marta Brewok bukannya Paksi. Karena itu, maka angin pusaran itu tidak mampu menghanyutkannya, mengombang-ambingkannya dan apalagi melemparkannya ke udara. Serangan Ki Sampar Angin itu menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Sambil berputar mengitari Ki Marta Brewok, Ki Sampar Angin menyerang dengan garangnya. Namun putaran itu semakin lama menjadi semakin cepat, secepat angin pusaran. Bahkan ketika Ki Sampar Angin sendiri bergerak semakin lamban, pusaran angin itu tetap melibatnya, justru semakin cepat. Tetapi tubuh Ki Marta Brewok pun semakin lama menjadi semakin berat, sehingga akhirnya menjadi seberat timah. Angin pusaran yang menjadi semakin kencang itu sama sekali tidak mampu mengguncangnya. Bahkan bergeser pun tidak. Ki Sampar Angin berdiri tegak sambil mengangkat kedua tangannya menengadah. Sementara itu, angin pusarannya menjadi semakin kuat berusaha mengangkat dan menghisap tubuh Ki Marta Brewok. Tetapi Ki Marta Brewok sama sekali tidak bergetar. Sambil menyilangkan tangannya di dadanya, Ki Marta Brewok berdiri di tengah-tengah angin pusaran yang kuat itu, yang mengangkat debu, dedaunan, tanah, pasir dan bahkan potong-potongan dahan yang patah. Ketika Ki Sampar Angin sampai ke puncak ilmunya, pepohonan yang tumbuh di pinggir sungai itu pun telah tercabut sampai ke akarnya. Bukan hanya pohon-pohon perdu, tetapi pepohonan yang lebih besar. Meskipun demikian, Ki Marta Brewok masih tetap berdiri di tengah-tengah angin pusaran itu. Di dalam gelap malam, Ki Marta Brewok menjadi semakin tidak nampak lagi, karena pusaran angin yang mengangkat segala macam benda yang ada di sekitarnya. Dalam pada itu, Wijang telah membimbing Paksi untuk menjauhi arena. Hanya dengan lambaran Aji Sapta Pandulu, mereka dapat melihat Ki Marta Brewok yang berdiri di tengah-tengah libatan ilmu Sampar Angin itu. Semakin lama Ki Marta Brewok semakin merendah pada lututnya. Dengan ilmunya Ki Marta Brewok itu telah membuat dirinya semakin berat pula. Dua kekuatan sedang beradu. Ki Sampar Angin berusaha untuk menghisap dan mengangkat lawannya, melemparkannya ke udara sehingga tubuh itu akan jatuh terbanting di atas bebatuan. Tetapi Ki Marta Brewok ingin bertahan. Seakan-akan Ki Marta Brewok itu berusaha untuk menghunjamkan kakinya jauh-jauh ke perut bumi, sehingga angin pusaran Ki Sampar Angin tidak mampu mengangkatnya lagi. Untuk beberapa lama mereka beradu ilmu. Meskipun tidak jelas, tetapi dengan Aji Sapta Pandulu, Wijang dan Paksi melihat, bahwa kedua orang itu benar-benar sedang mengerahkan ilmu masing-masing. Jantung Wijang dan Paksi rasa-rasanya berdentang semakin keras dan semakin cepat. Mereka tidak dapat menduga, apa yang akan terjadi. Nampaknya kedua orang berilmu sangat tinggi itu benar-benar tengah mempertaruhkan hidup mereka dalam pertempuran yang habis-habisan itu. Dalam pada itu, selagi Wijang dan Paksi dicengkam oleh ketegangan, maka tiba-tiba saja mereka terkejut. Ki Marta Brewok yang ada di dalam pusaran angin yang semakin keras dan kuat itu, yang telah mencabut beberapa batang pohon dan melontarkannya ke udara, seakan-akan telah meledak. Percikan-percikan api memancar dari tubuhnya. Bahkan kemudian semburan asap yang putih kebiru-biruan menderu dan menghembus dengan kuatnya angin pusaran di sekitarnya. Angin pusaran itu pun kemudian telah pecah. Segala macam benda yang sedang diterbangkan itu pun berhamburan. Juga beberapa buah gerumbul perdu, semak-semak dan bahkan pohon yang tercabut dengan akar-akarnya. Terdengar Ki Sampar Angin itu berteriak keras-keras. Suaranya melengking tinggi. Namun kemudian suara itu pun semakin menurun, sementara itu tubuh Ki Sampar Angin menjadi bergetar. Akhirnya tubuh itu pun tidak lagi berdaya untuk tetap tegak berdiri mempertahankan keseimbangannya. Demikian tubuh itu jatuh berguling, maka segala sesuatunya pun menjadi reda. Tidak ada lagi suara gemuruh angin pusaran. Tidak ada lagi hembusan asap yang menyembur dari tubuh Ki Marta Brewok bersama pancaran api. Udara di atas sungai itu pun menjadi bersih kembali. Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok berjalan tertatih-tatih mendekati tubuh Ki Sampar Angin. “Ki Marta Brewok,” desis Wijang dengan cemas. Sambil menggandeng Paksi, Wijang yang dirinya sendiri juga masih terlalu lemah, melangkah mendekati Ki Marta Brewok. “Bagaimana keadaan Ki Marta Brewok?” bertanya Wijang dengan cemas. Ki Marta Brewok mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa, Pangeran. Duduklah. Aku ingin melihat orang ini sejenak.” Wijang berdiri termangu-mangu. Paksi lah yang kemudian duduk di atas sebongkah batu, sementara Ki Marta Brewok bergeser mendekati tubuh Ki Sampar Angin. Ki Marta Brewok pun kemudian berjongkok di sebelah Ki Sampar Angin. Ketika Ki Marta Brewok meletakkan tangannya di leher Ki Sampar Angin, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. “Bagaimana, Ki Marta?” bertanya Wijang. “Ki Sampar Angin telah meninggal.” Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tiga orang telah terbunuh di tempat ini. Sejenak kemudian, maka mereka bertiga pun telah duduk di atas bebatuan. Dengan nada dalam Ki Marta Brewok pun berkata, “Apa yang akan kita lakukan terhadap ketiga sosok mayat itu?” “Bagaimana kita dapat menguburkannya?” desis Wijang. Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Satu-satunya kemungkinan adalah menguburkan mereka di tepian. Yang dapat kita gali dengan tangan kita adalah pasir tepian.” “Apakah binatang buas yang berkeliaran di padang perdu itu tidak akan mencium baunya dan menggalinya.” “Di atasnya kita timbun dengan bebatuan yang cukup kuat.” “Marilah,” berkata Wijang. Namun ketika kemudian ia bangkit berdiri, nampak sekali bahwa tenaganya seakan-akan telah terkuras habis. Ki Marta Brewok yang melihat keadaannya itu pun berkata, “Kita tidak tergesa-gesa, Pangeran. Sekarang kita dapat beristirahat. Tenagaku pun rasa-rasanya telah terhisap habis. Aku harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuanku untuk melawan Aji Sampar Angin itu.” “Baiklah, kita akan beristirahat dahulu,” desis Wijang. Namun yang kemudian bertanya adalah Paksi, “Tetapi kenapa tiba-tiba Ki Marta sudah berada di tempat ini?” “Aku sudah lama berada disini. Aku mendengarkan segala pembicaraan kalian dengan Ki Sampar Angin.” “Apakah yang menuntun Ki Marta Brewok sampai ke tempat ini?” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Antara lain adalah Ki Sampar Angin itu. Ketika aku melihatnya, maka tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk mengikutinya. Aku tahu, bahwa kehadiran orang itu sangat berbahaya bagi orang lain. Apalagi di daerah ini. Daerah perburuan cincin bermata tiga itu. Karena itu, aku langsung menduga bahwa Ki Sampar Angin juga sedang berburu cincin itu.” “Ki Marta Brewok mengikutinya?” Ki Marta Brewok nampak ragu. Tetapi kemudian ia pun mengangguk, “Ya. Aku pun mengikutinya.” Wijang mengangguk-angguk. Namun terasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Paksi pun merasakan hal itu pula. Karena itu, ia pun kemudian bertanya, “Apakah ada hal lain yang membawa Ki Marta Brewok sampai ke tempat ini?” Ki Marta Brewok terdiam sesaat. Namun kemudian ia pun menjawab agak tersendat, “Tidak. Tidak ada hal lain yang membawaku kemari. Mungkin juga ada unsur kebetulan saja.” Paksi lah yang kemudian bertanya, “Apakah Ki Marta Brewok melihat apa yang terjadi di belakang rumpun bambu siang tadi?” Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, “Ketika kau bunuh orang yang telah membunuh Derpa?” Paksi menarik nafas panjang. Agaknya Ki Marta Brewok menyaksikan pula apa yang telah terjadi itu. Bahkan Ki Marta Brewok pun mengetahui bahwa salah seorang yang terbunuh itu bernama Derpa. “Ia tentu mendengar pembicaraan kami,” berkata Paksi di dalam hatinya. Namun Wijanglah yang kemudian bertanya, “Ki Marta, apakah Ki Sampar Angin juga berada di belakang rumpun bambu itu ketika terjadi pertempuran?” “Ya,” Ki Marta Brewok mengangguk. Tetapi kedua anak muda itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Ketika terasa angin semilir, maka tubuh mereka pun menjadi semakin segar. Tetapi mereka masih mempunyai pekerjaan yang harus mereka selesaikan sebelum fajar. Mengubur ketiga orang yang telah terbunuh. Ketika matahari kemudian terbit, maka ketiga orang itu pun sudah berbenah diri. Mereka sudah siap meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke selatan. Meskipun udara pagi segar telah menyegarkan ketiga orang yang sedang menyusuri jalan panjang itu, namun mereka masih nampak letih. Pertempuran yang terjadi semalam, benar-benar telah menguras tenaga mereka. Bahkan kadang-kadang masih terasa sentuhan-sentuhan rasa sakit di dada mereka. Benturan ilmu yang keras serta pengerahan segenap kemampuan, benar-benar telah membuat mereka letih. Di sepanjang perjalanan, Paksi masih saja berbicara tentang Derpa dan kawannya serta orang yang telah membunuhnya. Paksi masih saja bertanya-tanya, apakah benar ayahnya menghendaki agar Paksi tidak pulang, kecuali membawa cincin yang harus dicarinya. “Tentu tidak, Paksi,” berkata Ki Marta Brewok, “bahkan mungkin benar dugaan Ki Sampar Angin, bahwa orang itu adalah alat permainan Harya Wisaka. Meskipun kau belum mengenalnya, tetapi orang itu tentu agaknya sudah mengenalmu. Tetapi mungkin juga justru Derpalah yang memberitahukan kepadanya, bahwa kaulah Paksi yang dicarinya.” “Tetapi aku sama sekali tidak bersangkut paut dengan Harya Wisaka, Ki Marta.” “Tetapi Harya Wisaka atau orang-orangnya mengetahui bahwa kau juga sedang mencari cincin itu.” “Ki Marta,” berkata Wijang kemudian, “menurut Ki Sampar Angin, ia adalah saudara tua seperguruan Ki Wira Bangga.” “Ya. Aku juga mendengarnya. Tetapi pada saat seperti ini serta keadaan yang rumit, kita tidak dapat memegang setiap pengakuan seseorang. Bukankah kalian juga pernah mengaku sebagai pengikut Harya Wisaka atau mengaku sebagai orang Goa Lampin atau pengikut siapa pun yang kau sebut saja namanya tanpa ada orangnya.” Wijang dan Paksi terkejut. Dengan serta-merta Wijang bertanya, “Apakah Ki Marta Brewok melihat bagaimana kami mengaku sebagai pengikut Harya Wisaka atau mengaku orang dari Goa Lampin atau pengakuan-pengakuan yang lain?” “Mungkin. Maksudku mungkin kalian juga pernah mengaku-aku sehingga orang lain pun dapat juga mengaku dan menyebut pemimpin dari perguruan-perguruan yang memang sedang berburu itu.” Tetapi Wijang dan Paksi memandang Ki Marta Brewok dengan sorot mata yang aneh. Bahkan Paksi pun berhenti melangkah, sehingga Wijang dan Marta Brewok pun berhenti pula. “Kenapa?” bertanya Ki Marta Brewok. Paksi menarik nafas. Namun kemudian sambil menggeleng ia pun melangkah pula. Sementara itu matahari menjadi semakin tinggi. Sinarnya terasa mulai menggatalkan kulit. Namun masih terdengar di pepohonan burung-burung liar berkicau dengan riangnya. Burung-burung itu kemudian berterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain. Jika sekelompok burung terbang menjauh, maka kelompok yang lain pun berdatangan. Lagu yang mereka perdengarkan pun menjadi berbeda dengan kelompok sebelumnya. Tetapi nadanya tetap gembira mensyukuri kebebasan mereka. “Kalian sekarang akan pergi ke mana?” bertanya Ki Marta Brewok. “Bukankah kami tidak pernah mempunyai tujuan yang pasti,” sahut Wijang. “Ya, aku tahu. Tetapi kali ini kalian berjalan kemana?” “Kami ingin pergi ke Alas Mentaok. Sekedar melihat-lihat, apakah isi hutan itu.” Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil menunjuk hutan yang tidak terlalu jauh dari jalan itu, Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Alas Mentaok adalah hutan yang lebat dan luas. Jauh lebih besar dan lebih gawat dari hutan yang nampak itu. Meskipun hutan itu termasuk hutan yang lebat, tetapi Alas Mentaok adalah hutan yang paling gawat.” “Jadi tanah itukah yang diberikan ayahanda kepada Paman Pemanahan.” “Ya.” “Kenapa jauh berbeda dengan Pati yang sudah menjadi semakin ramai.” Ki Marta Brewok menggelengkan kepalanya. Katanya, “Entahlah. Seharusnya aku bertanya kepada Pangeran. Barangkali Pangeran pernah mendengar perbincangan mengenai hal itu.” “Jika aku mendengarnya, Ki Marta, tentu tidak terperinci.” Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku mengerti, Pangeran. Tetapi mungkin pandangan jauh ke depan Kangjeng Sultan sajalah yang tidak dapat kita tangkap sekarang.” Wijang tidak menjawab. Dilayangkannya pandangan matanya menyusuri bibir hutan yang membujur panjang tidak terlalu jauh dari jalan yang dilaluinya. Sementara itu kotak-kotak sawah pun membentang luas pula. Seperti biasanya, padang perdu telah menjadi batas antara tanah persawahan dan hutan belukar itu. Meskipun demikian, para petani tidak pernah takut menggarap sawah mereka. Jarang sekali terjadi binatang buas keluar dari hutan untuk mencari mangsa. Di dalam hutan itu seakan-akan telah disediakan makanan yang cukup bagi binatang-binatang buas itu. Tetapi memang pernah terjadi seekor harimau yang sudah tua, yang tidak lagi mampu mengejar kijang yang berlari seperti angin, muncul di padukuhan untuk mencuri seekor kambing. Namun ketuaannya itu pulalah yang telah membuatnya tidak mampu melarikan diri dari kemarahan penduduk padukuhan itu. Ketika harimau itu terjebak oleh seekor kambing yang sengaja diumpankan di sudut padukuhan, maka orang-orang padukuhan yang memang sudah mengintainya, beramai-ramai menyerang harimau itu, sehingga akhirnya harimau tua itu pun terbunuh. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah memasuki sebuah padukuhan yang dikelilingi oleh tanah persawahan yang luas dan subur. Padukuhan itu pun nampaknya juga merupakan padukuhan yang subur. Pohon buah-buahan yang tumbuh di padukuhan itu dapat berbuah lebat. Pohon nangka yang buahnya menempel bukan saja di dahan-dahannya, tetapi juga di batangnya dari atas sampai menyentuh tanah. Pohon nyiur yang buahnya bergayutan di antara pelepahnya. Sementara itu, tanaman-tanaman yang lain pun nampak hijau segar pula. Ketela pohon, empon-empon dan beberapa jenis sayuran. Bahkan ada yang menanam jagung dan ketela rambat. Batang sirih yang merambat di pohon kelor daunnya nampak sangat rimbun. Sulurnya dan pupusnya yang berwarna hijau muda menjalar mencari pegangan. Tetapi ketiga orang yang berjalan di padukuhan itu menjadi heran. Padukuhan yang subur itu nampak sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Sedangkan pintu-pintu regol meskipun ada yang terbuka, tetapi sebagian besar juga tertutup atau hanya sedikit saja terbuka. “Ada apa di padukuhan ini?” bertanya Wijang. “Padukuhan ini nampak begitu sepi. Tidak ada anak-anak bermain di halaman. Tidak ada perempuan yang sedang menidurkan anaknya di serambi. Tidak pula ada laki-laki yang memanggul cangkul pergi ke sawah atau perempuan yang menggendong bakul dari pasar.” Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun ia pun berdesis, “Tetapi terasa ada berpasang-pasang mata mengamati kita sekarang ini.” “Dari balik pintu rumah?” “Ya,” jawab Ki Marta Brewok. “Apa yang menarik?” bertanya Paksi. “Maksudku, kelengangan ini menarik untuk diketahui apa sebabnya.” “Ya. Tetapi agaknya sulit untuk mendapatkan keterangan tentang padukuhan ini karena tidak orang yang berada di luar rumahnya,” gumam Paksi. “Marilah, kita melihat banjar padukuhan ini,” berkata Ki Marta Brewok. “Dimana letak banjar padukuhan?” “Biasanya di pinggir jalan induk seperti ini. Tetapi jika tidak ada banjar di pinggir jalan ini, kita akan mengelilingi padukuhan. Kita tentu akan menemukan banjar padukuhan ini atau bahkan rumah Ki Bekel tanpa bertanya kepada siapa pun juga.” Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu, kaki mereka pun melangkah terus menyusuri jalan padukuhan. Namun seperti yang mereka duga, maka mereka pun sampai di sebuah regol bangunan yang mereka duga sebagai banjar padukuhan. “Marilah, kita akan masuk ke dalam. Tentu ada petugas penunggu banjar ini,” ajak Ki Marta Brewok. Ketiganya pun kemudian telah memasuki regol halaman yang diduganya sebagai banjar itu. Sejenak mereka bertiga mengamati pendapa yang cukup luas, tetapi nampak sejuk. Sepasang pohon sawo kecik tumbuh di halaman. Sedangkan beberapa batang pohon mlinjo tumbuh di dekat dinding samping halaman. Buahnya yang sudah memerah bergayutan di dahan-dahannya. “Nampaknya banjar ini sepi,” desis Paksi. “Halamannya nampak bersih. Tentu ada orang yang menyapunya pagi tadi. Mereka tentu penunggu banjar ini.” “Apakah Ki Marta Brewok yakin bahwa bangunan ini banjar padukuhan,” bertanya Paksi. “Ya. Jika bukan banjar, lalu apa? Bukankah bangunan ini bukan tempat tinggal?” Paksi mengangguk-angguk. “Marilah, kita cari penunggu banjar ini. Mungkin ia berada di belakang.” “Atau sudah tidak ada di banjar ini. Demikian ia selesai membersihkan halaman, orang itu pun segera pergi meninggalkan banjar ini.” Ki Marta Brewok tidak menyahut. Namun ia pun kemudian melangkah ke halaman samping. Bangunan itu memang sepi. Tetapi Ki Marta Brewok tidak segera mengajak kedua orang anak muda itu pergi. Ki Marta Brewok bahkan telah pergi ke bagian belakang banjar itu. Wijang dan Paksi mengikutinya saja di belakangnya. Sebuah bangunan kecil terdapat di belakang banjar itu. Ki Marta Brewok yakin, bahwa bangunan itu adalah tempat tinggal penunggu banjar itu. Karena itu, maka Ki Marta Brewok pun telah mengetuk pintu rumah kecil di belakang banjar itu. Beberapa kali Ki Marta Brewok mengetuk pintu itu. Tetapi tak ada seorang pun menyahut. Namun Ki Marta Brewok itu pun kemudian berbisik kepada Wijang dan Paksi, “Ada orang di dalam.” Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk. Dengan mempertajam pendengaran mereka, maka mereka pun juga mengetahui bahwa di dalam rumah itu bersembunyi tidak hanya seorang. “Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok, “kami ingin minta pertolongan. Apakah Ki Sanak tidak bersedia menolong kami. Kami hanya akan minta sedikit minyak kelapa untuk mencairkan obat.” Nampaknya suara Ki Marta Brewok yang meyakinkan mampu mengetuk hati penghuni rumah kecil itu. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar desir langkah kaki menuju ke pintu. Namun kemudian pintu itu terbuka, maka seorang yang rambutnya sudah ubanan telah terduduk dengan tubuh gemetar. Suaranya pun gemetar pula, “Ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun. Aku hanya orang tua yang tidak tahu apa-apa.” Ki Marta Brewok terkejut melihat sikap orang itu. Namun Wijang segera bergeser maju. Meskipun demikian ia sempat berbisik di telinga Ki Marta Brewok, “Orang itu takut melihat wajah Ki Marta Brewok.” Ki Marta Brewok itu tertawa dalam hati. Tetapi ia tidak ingin menyinggung perasaan orang tua yang ketakutan itu, bahkan mungkin akan membuatnya semakin takut. “Kek,” berkata Wijang, “kami hanya ingin minta minyak kelapa sedikit saja.” Orang tua itu mengangkat wajahnya. Orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu sudah bergeser surut. Yang berdiri di hadapannya adalah anak muda yang berwajah bening. Sambil memandangi ketiga orang yang berdiri di depan rumahnya itu berganti-ganti, orang tua itu bertanya, “Minyak kelapa, maksud Ki Sanak?” “Ya. Minyak kelapa,” jawab Wijang. “O,” orang itu masih nampak bimbang. Namun kemudian ia pun bangkit berdiri sambil berkata, “Aku akan mengambilkannya, anak muda. Tetapi bukankah kalian tidak akan menghukum kami.” “Kenapa kami akan menghukummu, Kek?” Orang tua itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Silahkan duduk di serambi belakang banjar itu, anak muda. Aku akan mengambil minyak itu sebentar di dapur.” Beberapa saat Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi menunggu. Mereka sempat melihat sebatang pohon kayu manis di halaman samping. Paksi yang mengambil kulit batangnya sedikit, mencium bau yang sedap sekali. Hampir di luar sadarnya, Paksi berkata, “Di rumahku juga ada pohon kayu manis.” Adalah mengejutkan sekali ketika di luar sadarnya Ki Marta Brewok itu menyahut, “Umurnya sudah tua sekali, Paksi.” Paksi memandang wajah Ki Marta Brewok dengan kerut kening. Sementara itu agaknya Ki Marta Brewok juga terkejut mendengar kata-katanya sendiri. Bahkan pertanyaan Paksi kemudian membuatnya gelisah meskipun Ki Marta Brewok berhasil menyembunyikannya, “Apakah Ki Marta Brewok tahu, bahwa pohon kayu manis di halaman rumahku itu umurnya sudah tua sekali?” “Tentu tidak,” jawab Ki Marta Brewok dengan serta-merta. “Yang aku maksud umurnya sudah tua sekali adalah pohon kayu manis itu.” “Kayu manis ini?” bertanya Paksi. “Ya.” Tetapi Ki Marta Brewok itu memang menjadi gelisah. “Nampaknya pohon ini masih terlalu muda, Ki Marta,” berkata Paksi kemudian. Ki Marta Brewok tiba-tiba saja tertawa pendek. Katanya, “Aku masih memikirkan padukuhan ini. Karena itu agaknya aku menjawab seenaknya saja.” Paksi tidak sempat bertanya lebih lanjut. Orang tua penunggu banjar itu pun keluar sambil membawa minyak kelapa di dalam sebuah mangkuk kecil. “Inilah minyak kelapa itu, anak muda,” berkata orang tua itu. “Terima kasih, Kek,” jawab Wijang sambil menerima minyak itu. “Tetapi aku persilahkan kalian duduk di serambi. Tolong kere bambu itu ditutup kembali.” “Terima kasih, Kek. Biarlah aku duduk di emperan itu saja.” “Jangan, anak muda. Masuklah ke serambi.” “Kenapa, Kek?” bertanya Wijang. Orang tua itu tidak menjawab. Setelah menutup pintu rumahnya sendiri, ia pun melangkah ke serambi sambil memberi isyarat kepada ketiga orang pendatang itu untuk mengikutinya. Sejenak kemudian, mereka berempat telah berada di serambi belakang banjar padukuhan itu. Serambi yang tertutup oleh kere bambu yang berjuntai sampai ke lantai. “Siapakah kalian bertiga, Ki Sanak?” bertanya orang tua itu. Orang tua itu mengangguk kecil. Tetapi setiap kali dipandanginya wajah Ki Marta Brewok, wajah itu agaknya membuat berdebar-debar. Di luar sadarnya, Paksi pun ikut memandang wajah Ki Marta Brewok itu. Wajah yang sebagian tetutup oleh jambang, kumis dan janggut yang tebal.....
Tindakanterputus dari jejak, tanda dan bekas. Jejak bersembunyi di balik tindakan, tanda melebur ke dalam realitas, bekas mencair ke dalam peristiwa. Jejak kini digunakan untuk memalsukan kebenaran. Inilah 'jejak artifisial', 'jejak palsu', 'jejak buatan'. Jejak kini diproduksi sebagai 'simulakra jejak' (simulacra of trace).

Pengarang Mintardja Halaman 30 Jilid Buku ini menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang setelah gugurnya Arya Penangsang dan sebelum upaya Sutawijaya membuka Hutan Mentaok menjadi Kerajaan Mataram. Dikisahkan perjalanan Paksi Pamekas sebagai “anak” Tumenggung Sarpa Biwada yang pada usia yang masih sangat muda 17 tahun ditugaskan oleh “ayahnya” untuk mencari pusaka kerajaan yang hilang, yaitu Cincin bermata tiga yang bersamaan dengan hilangnya Pangeran Benawa dari kerajaan. Dalam pengembaraannya, dia mendapatkan gemblengan ilmu dari “guru” secara tersamar. Bertemu dengan Pangeran Benawa yang menyamar dengan nama Wijang. Perjalanan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa di ladang peburuan pencarian cincin bermata tiga berhadapan dengan berbagai macam perguruan dari golongan hitam. Diantara pemburu cincin tersebut adalah Harya Wisaka yang sebenarnya adalah paman dari Pangeran Benawa. Cincin ini diburu karena tersebarnya berita yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mengenakan cincin tersebut akan menurunkan raja yang akan berkuasa di Tanah Jawa. Dalam pengembaraan ini Paksi Pamekas bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatinya, Kemuning. Kemuning ini sebenarnya adalah anak angkat salah satu perguruan yang memburu cincin bermata tiga. Setelah Pangeran Benawa pulang dan cincin kembali ke kerajaan dengan terungkapnya upaya pemberontakan Harya Wisaka, maka kisah selanjutnya adalah perburuan Harya Wisaka yang melibatkan Tumenggung Sarpa Biwada sebagai kaki tangan Harya Wisaka. Dalam perburuan ini terungkap bahwa Paksi Pamekas sebenarnya adalah anak tiri dari Tumenggung Sarpa Biwada, sedang ayah kandung sebenarnya adalah Ki Waskita yang menjadi gurunya. Dalam perburuan ini Harya Wisaka semat mengumpulkan anak-anak muda yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang di bawah bimbingan Ki Gede Lenglengan. Salah satu anak muda tersebut adalah Lajer Laksita yang adik tiri dari Paksi Pamekas. Setelah Harya Wisaka tertangkap, kisah selanjutnya adalah perburuan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa untuk mencari adiknya. Kebesaran Paksi Pamekas yang merelakan wanita yang tadinya diidamkannya untuk diberikan kepada adiknya yang telah menyadari kesesatannya merupakan akhir cerita ini. Jilid 01 Jilid 02 Jilid 03 Jilid 04 Jilid 05 Jilid 06 Jilid 07 Jilid 08 Jilid 09 Jilid 10 Jilid 11 Jilid 12 Jilid 13 Jilid 14 Jilid 15 Jilid 16 Jilid 17 Jilid 18 Jilid 19 Jilid 20 Jilid 21 Jilid 22 Jilid 23 Jilid 24 Jilid 25 Jilid 26 Jilid 27 Jilid 28 Jilid 29 Jilid 30 Tamat

Sajaksajak Sapardi Djoko Damono. Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Kompas, Minggu, 11 Januari 2009 | 01:21 WIB. Sonet 5. Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping. ketika kau menuangkan air mendidih ke poci; ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding. bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini. Excellent36Very good38Average13Poor2Terrible7FamiliesCouplesSoloBusinessFriendsMar-MayJun-AugSep-NovDec-FebAll languagesEnglish 96French 130Portuguese 14More languages See what travellers are sayingSort by Detailed Reviews Reviews order informed by descriptiveness of user-identified themes such as cleanliness, atmosphere, general tips and location July 9, 2022 The food was great, service was a touch slow and it was a bit pricey for breakfast. Overall, it was still good. It was definitely convenient being in our hotel and we were checking out to continue our road trip, I would recommend of visit June 2022Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 11, 2021 The Bennies and Frittata were very well prepared and very tasty. The service was very good and so handy to have this right in the hotel,Date of visit November 2021Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 30, 2021 Convenient as it’s in the hotel we stayed. A little pricey for breakfast but was very good. Nice portions. Fruit served with breakfast was very good. Coffee just under $3 and it’s ok. Service was greatDate of visit October 2021Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 23, 2021 We had drinks one night and breakfast the next morning. Both were OK though the staff late afternoon preferred speaking among themselves than take care of customers. The morning staff was much better and friendlier. Breakfast was nothing of visit October 2021Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn July 31, 2020 via mobile Very tasty food and dessert, good service, clean , were making sure covid rules are applied . Highly recommendedDate of visit July 2020Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 11, 2019 via mobile I've been coming here with colleagues for lunch at least twice a months forma year. Its consistently great with varied lunch specials. Always a great experience and the staff is of visit November 2019Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 2, 2019 We had the a la carte breakfast with eggs Benedict which were among the best we've ever had. Excellent homemade jam with the croissants and very efficient and friendsly of visit October 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 14, 2019 We had to wait until 4pm to check in to the hotel, so dropped our bags and popped in here for a pit stop. We were happily surprised and pleased with brunch, so we came back again for a light dinner. Both meals very good,...as well as great service. Definitely a great place to relax and catch of visit October 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 4, 2019 The variety of different foods was great. The muffins were great. All around great breakfast. And located at our of visit September 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 1, 2019 We had Pasta al dente and Pizza which was just great. Not the pizza as to find at Pizza hat - a real Italian pizza providing the small dough, just as it should be. Great and kind of visit September 2019Helpful?2 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 22, 2019 Seems like you wait for a table at breakfast time whether it is busy or not as the restaurant is understaffed- the lady who seats you is the one clearing off and cleaning the tables to get it ready for you! However, once you are...seated, the waitresses/waiters are friendly and helpful. You can definitely split some of the breakfast entrees between 2 people if you add some toast. I also had take out breakfast- coffee and a bagel for $ ordering it was not the easiest as you waited in line along with those patrons waiting to get to the restaurant. Again, however, once it's your turn the staff was friendly and of visit September 2019Helpful?2 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 8, 2019 while on family trip to Quebec city, we ate breakfast at this restaurant. It was very crowded in the morning, there was a 20 minute waiting line. The staff was very helpful and polite. The breakfast options went from the classic 2 eggs, potatoes plate...to the more healthy options like granola and fruit. Complementary coffee is offered but the taste is so so. They have a buffet type breakfast available before 9am, but if you go "a la carte" expect to spend between 15 to 20$.MoreDate of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 3, 2019 This restaurant located next to the lobby of Le Concorde hotel is very convenient for breakfast. The food is OK, service was kind of slow because of the large number of of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 2, 2019 Adequate menu choice, food was full of flavour and average portion sizes. The waitress was very friendly and made us feel welcome. Lovely setting and quiet restaurant, very calm of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 1, 2019 Loved this restaurant for breakfast and to stop for a mid afternoon drink. Sat outside and the view over the plains was lovely. Great service and excellent food with lots of breakfast choices. Highly recommended!Date of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn more reviews Sayamelihat di sana, sebuah lubang besar dengan radius tiga meter muncul! Lubang besar itu sangat aneh. Bentuk keseluruhannya berbentuk mangkuk, dan sekelilingnya sangat rata. Tampaknya menjadi bola besi besar, yang telah ditekan secara paksa ke tanah dan meninggalkan jejak. Di dasar lubang, David berdiri di tengah, berlumuran darah.
Kondisi BekasMin. Pemesanan 1 BuahEtalase Semua Etalasejejak di balik kabutoleh Mintardjanomor yg tersedia4,5,6,7,13,15,16,16,17,18,19,19,20,20,21,21,22,22,23,24,24,25,26,27,28,29,31,32,34, di ketik no yg mau di tidak menyertakan nomor,maka akan di kirim original.
PosisiMaung Bandung di zona degradasi akan ditentukan hasil pertandingan Borneo FC di Stadion Segiri, Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (7/8/2022) mulai pukul 16.00 WIB. Kemenangan akan
Paksi mengerutkan dahinya. Ada yang berbeda pada wajah Ki Marta Brewok itu dengan wajah yang dikenalinya dengan sebelumnya. Tetapi perbedaan itu tidak terlalu nampak. Meskipun demikian, Paksi yakin, Bahwa Ki Marta Brewok itu adalah Ki Marta Brewok gurunya yang telah menempa dengan berbagai macam laku untuk menguasai ilmunya yang tinggi. Meskipun ternyata masih belum mampu mengimbangi Ki Sampar Angin. Namun dalam pada itu, Wijanglah yang menyahut, “Jangan takut. Meskipun wajah Paman agak seram, tetapi ia orang baik. Paman hanya belum sempat mencukur berewoknya.” Orang tua itu mengangguk-angguk meskipun masih nampak ragu. Ki Marta Brewok lah yang kemudian bertanya, “Ki Sanak, aku justru ingin bertanya, apa yang telah terjadi di padukuhan ini? Padukuhan ini adalah padukuhan yang nampak subur. Nampaknya kehidupan penghuni padukuhan ini cukup baik dilihat dari ujud lahiriahnya. Rumah-rumahnya cukup pantas. Halaman yang cukup luas dan pohon buah-buahan yang berbuah lebat. Sawah pun nampaknya terhampar luas dan tidak akan pernah kekurangan air di segala musim.” Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Lingkungan ini memang subur, Ki Sanak.” “Lalu, apakah yang telah terjadi disini? Padukuhan ini menjadi sepi seperti kuburan.” “Untunglah kalian tidak lewat padukuhan ini kemarin.” “Apa yang terjadi kemarin?” “Kemarin di padukuhan ini terjadi keributan. Bahkan pertempuran yang menimbulkan kematian.” “Siapakah yang telah bertempur disini? Apakah antara penghuni padukuhan ini dengan sekelompok orang yang ingin berbuat jahat? Atau antara kelompok-kelompok yang datang dari luar padukuhan ini?” Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia mengamati ketiga orang yang duduk di serambi banjar itu. Katanya, “Tetapi bukankah kalian bukan bagian dari orang-orang yang kemarin menimbulkan keributan disini?” “Tentu tidak. Apakah ada di antara kami yang mirip dengan orang-orang yang bertempur kemarin disini?” Orang tua itu menarik nafas panjang. “Entahlah, bagaimana mulanya. Tetapi dua kelompok orang bertemu dan bertengkar di ujung padukuhan. Kemudian mereka bertempur dengan sengitnya, sehingga salah satu kelompok melarikan diri dengan meninggalkan dua orang korban terbunuh. Sementara itu, kelompok yang menang justru telah berbuat semena-mena terhadap orang-orang di padukuhan ini. Mereka menggeledah setiap rumah untuk mencari seorang anak muda yang katanya melarikan diri dari istana Pajang.” “Apakah mereka menyebut nama anak muda itu?” bertanya Paksi. Wijang menarik nafas panjang. Ia tahu, bahwa Paksi sengaja menanyakannya, meskipun tanpa bertanya pun ia sudah tahu siapakah yang dimaksud. Orang tua itu memandang Paksi sekilas. Namun kemudian orang tua itu merenung sejenak. Katanya kemudian, “Ya. Orang itu menyebut sebuah nama. Pangeran Benawa.” Paksi mengangguk-angguk. Namun ketika ia berpaling memandang wajah Wijang, hampir saja Paksi tertawa. Wajah itu nampak muram dan gelap. Sementara Ki Marta menggeleng lemah. Wijang lah yang kemudian bertanya, “Apakah Pangeran Benawa itu dapat diketemukan?” “Tentu tidak,” berkata orang tua itu. “Kami sama sekali tidak mengenal anak muda yang bernama Pangeran Benawa. Sepengetahuan kami, pangeran adalah sebutan bagi anak seorang raja. Mungkin Raja Pajang atau Raja Demak atau raja yang manapun.” “Ya,” Ki Marta Brewok menyahut, “pangeran memang anak seorang raja.” “Lalu, apa yang mereka lakukan setelah mereka tidak menemukan Pangeran Benawa disini?” bertanya Paksi. “Mereka mencoba memaksa kami untuk menunjukkan dimana Pangeran Benawa bersembunyi. Mereka sudah mendapat keterangan bahwa sehari sebelumnya Pangeran Benawa sedang menuju kemari,” jawab orang tua itu. “Tetapi bukankah jalan bercabang-cabang sehingga mungkin saja Pangeran Benawa itu mengambil jalan simpang?” desis Wijang. “Ya. Kami pun sudah mengatakannya. Tetapi orang-orang itu justru marah. Mereka memukuli para penghuni padukuhan ini. Sebelum pergi mereka sempat mengancam untuk menghukum kami jika ternyata Pangeran Benawa itu bersembunyi disini.” “Bagaimana sikap para bebahu padukuhan ini?” “Tulang punggung Ki Bekel hampir saja mereka patahkan karena Ki Bekel mencoba melindungi rakyatnya.” “Bagaimana dengan bebahu kademangan?” “Semalam kami telah mengirimkan orang untuk melaporkan kepada Ki Demang. Tetapi sampai siang ini kami belum mendapat keterangan. Tetapi entahlah jika orang itu sudah langsung menemui Ki Bekel di rumahnya.” Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Jika demikian, kami tidak akan terlalu lama disini, Ki Sanak. Kami tidak ingin menjadi sebab, Ki Sanak dan orang-orang padukuhan mengalami kesulitan karena kehadiran kami. Jika orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu melihat kehadiran kami, mungkin mereka akan berbuat sesuatu yang semakin menyulitkan penghuni padukuhan ini.” “Tetapi bukankah kalian bukan termasuk orang-orang dari gerombolan yang saling bertengkar itu?” “Tentu tidak, Kek,” jawab Paksi, “Kami hanya kebetulan saja lewat.” “Jika demikian, hati-hatilah, Ki Sanak,” pesan orang tua itu. “Baik, Kek. Kami akan berhati-hati,” jawab Wijang. Namun ia pun masih juga bertanya, “Tetapi apakah jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok?” “Apakah kalian akan pergi ke Alas Mentaok?” orang tua itu ganti bertanya. “Kami hanya ingin tahu saja,” jawab Wijang. Ki Marta Brewok menggamit anak muda itu. Sementara itu, orang tua itu pun menjawab, “Jalan ini memang akan sampai ke Alas Mentaok. Tetapi hutan itu adalah hutan yang sangat garang. Orang yang masuk ke dalamnya, tidak akan pernah keluar lagi.” “Jika demikian, kami tidak akan masuk ke dalamnya, Kek. Kami akan berada di luarnya saja.” “Untuk apa sebenarnya kalian ingin melihat hutan itu?” “Tidak ada apa-apa, Kek. Kami hanya pernah mendengar namanya. Kami hanya ingin tahu, apakah hutan itu sebenarnya ada.” Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian melihat-lihat hutan itu. Ular sebesar lidi pun akan dapat membunuh kalian. Kumbang mutiara yang beracun itu pun sangat berbahaya. Apalagi jika kalian terperosok ke dalam sarang semut salaka. Dalam waktu singkat, hanya tulang-tulang kalian sajalah yang akan tinggal.” “Mengerikan sekali, Kek.” “Belum lagi disebut jenis-jenis binatang buas. Segala jenis harimau terdapat di hutan itu. Yang paling mengerikan adalah kelompok-kelompok anjing hutan yang ganas dan licik. Burung pemakan bangkai dan yang tidak kalah berbahayanya adalah pusaran-pusaran lumpur dan pasir, yang dapat menghisap tubuh seseorang hingga sampai ke perut bumi.” Meskipun Wijang dan Paksi bukan penakut, tetapi tengkuk mereka pun meremang. Ki Marta Brewok hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Wijang dan Paksi pun kemudian telah minta diri kepada orang tua itu. Demikian pula Ki Marta Brewok yang membawa mangkuk kecil berisi minyak kelapa itu. Katanya, “Kami akan menampung minyak ini dengan daun pisang saja, Ki Sanak.” “Aku punya bumbung bambu kecil yang dapat kalian bawa,” desis orang tua itu. “Jika demikian, terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. Ketika orang tua itu meninggalkan mereka untuk mengambil bumbung kecil yang dikatakannya, Ki Marta Brewok berdesis, “Kenapa kau bertanya tentang Alas Mentaok?” “Kenapa?” bertanya Wijang. “Apakah kau sengaja meninggalkan jejak arah perjalananmu?” Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Tanpa meninggalkan jejak, ternyata orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu dapat menemukan jejaknya.” “Tetapi jejak itu tentu masih kabur. Kau memperjelas jejak yang kabur itu.” “Maaf, Ki Marta,” desis Wijang, “aku tidak menyadarinya.” “Sudahlah. Mudah-mudahan orang tua itu tidak akan pernah bercerita tentang kehadiran kita, maksudku dua orang anak muda di padukuhan ini kepada siapa pun juga.” Wijang mengangguk-angguk. Namun pembicaraan mereka pun terhenti karena orang tua yang mengambil bumbung itu datang sambil membawa bumbung kecil yang sudah berisi minyak kelapa. Namun katanya kemudian, “Tuangkan minyak kelapa di mangkuk kecil itu juga ke dalam bumbung kecil ini. Barangkali kalian akan membutuhkannya lagi di perjalanan.” “Terima kasih, Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok. Sementara orang tua itu pun telah menyerahkan bumbung kecil itu beserta sumbatnya. Ki Marta Brewok lah yang menerima bumbung kecil itu. Kemudian menuangkan minyak kelapa yang berada di mangkuk kecil. Sambil mengembalikan mangkuk kecil itu, Ki Marta Brewok pun berkata sekali lagi, “Terima kasih, Ki Sanak.” Namun sebelum ketiga orang itu minta diri, mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang dengan cepat mendekat. Bahkan tiba-tiba saja berderap memasuki halaman banjar itu. Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Orang tua penunggu banjar itu pun menjadi ketakutan pula. Namun ketika orang tua itu mendengar namanya dipanggil, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Demang. Agaknya bersama Ki Jagabaya.” Orang tua itu pun segera menghambur keluar langsung pergi ke halaman depan banjar itu. Sebenarnyalah yang datang adalah Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang pengiringnya. Mereka pun kemudian berloncatan turun dari kuda mereka. Di serambi belakang banjar itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi Paksi bertanya, “Apakah yang kita lakukan?” Ki Marta Brewok lah yang menyahut, “Kita menunggu saja disini. Apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Demang.” Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka mereka bertiga pun telah duduk menunggu di serambi belakang banjar padukuhan itu. Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang pengiringnya naik dan duduk di pendapa. Orang tua penunggu banjar itu pun kemudian bercerita apa yang telah terjadi di padukuhan itu kemarin. “Baru semalam aku mendapat laporan,” berkata Ki Demang. “Kenapa ketika peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun yang memberi laporan kepadaku?” “Semua orang sedang dicengkam ketakutan,” jawab penunggu banjar itu. “Bagaimana dengan Ki Bekel?” bertanya Ki Demang. “Ki Bekel sedang sakit. Punggungnya hampir dipatahkan oleh orang-orang yang garang itu.” “Apakah Ki Bekel dapat datang kemari?” “Aku tidak tahu, Ki Demang,” jawab penunggu banjar itu. “Apakah Ki Bekel dipanggil kemari? Biarlah aku pergi ke rumahnya.” “Tidak usah kau sendiri yang pergi,” berkata Ki Demang yang kemudian memerintahkan salah seorang pengiringnya untuk memanggil Ki Bekel. Katanya kemudian, “Tetapi jika ia tidak mungkin untuk datang kemari, biarlah nanti aku datang ke rumahnya.” Dalam pada itu, ternyata orang tua penunggu banjar itu tidak mengatakan bahwa ada tiga orang yang berada di serambi belakang banjar itu, sehingga dengan demikian ketiga orang itu tidak diminta untuk menghadap. Sambil menunggu kedatangan Ki Bekel, penunggu banjar itu menceriterakan apa yang sudah terjadi di padukuhan itu sebagaimana yang diceriterakannya kepada ketiga orang yang sedang berada di serambi belakang banjar itu. Beberapa saat kemudian ternyata Ki Bekel telah datang ke banjar. Meskipun punggungnya masih sakit, tetapi ia memaksa diri untuk memenuhi panggilan Ki Demang yang sudah berada di banjar. Di serambi belakang, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi berusaha untuk mempertajam pendengaran mereka, sehingga mereka dapat mengikuti pembicaraan di pendapa banjar itu. “Ceriterakan, Ki Bekel. Apa yang telah terjadi. Tadi kakek penunggu banjar ini juga sudah berceritera. Tetapi Ki Bekel tentu akan dapat berceritera lebih lengkap.” Ki Bekel pun mulai berceritera. Sebagian besar dari ceriteranya memang tidak berbeda dengan ceritera penunggu banjar itu. Tetapi ketiga orang di serambi belakang itu kemudian mendengar Ki Demang bertanya, “Apakah Ki Bekel dapat menduga, siapakah yang telah datang ke padukuhan ini? Mungkin Ki Bekel mengenal ciri-cirinya atau mungkin ada di antara mereka yang menyebut nama gerombolan mereka atau apa pun yang dapat dipergunakan untuk mengenali mereka?” “Sulit, Ki Demang,” jawab Ki Bekel. “Tetapi ada di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagaimana pakaian prajurit Pajang meskipun tidak lengkap.” “Mungkin mereka telah merampasnya atau mereka berhasil membunuh satu dua orang prajurit, kemudian mempergunakan pakaian prajurit yang terbunuh itu,” jawab Ki Demang. Tetapi di belakang Wijang berdesis, “Tentu para pengikut Paman Harya Wisaka.” Ki Marta Brewok dan Paksi mengangguk-angguk. Agaknya Wijang yakin, orang yang datang di padukuhan itu adalah para pengikut Harya Wisaka. Pembicaraan selanjutnya tidak begitu penting lagi bagi ketiga orang yang berada di serambi itu. Ki Bekel ternyata tidak dapat menyebut ciri-ciri dari kelompok yang lain. Beberapa saat kemudian, maka terdengar Ki Demang itu pun berkata, “Baiklah. Aku minta Ki Bekel menyiapkan semua laki-laki yang masih mampu mempergunakan senjata. Jika sejak sebelumnya kita sudah bersiap, maka akibatnya tentu akan berbeda. Kita tidak akan memberikan kesempatan kepada orang-orang itu untuk memasuki rumah demi rumah. Menakut-nakuti semua orang.” “Tetapi apakah kami mampu untuk melawan mereka?” “Aku tentu tidak akan mencuci tangan. Aku akan ikut campur. Setiap padukuhan akan menyiapkan kelompok-kelompok anak muda yang dapat bergerak cepat dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Kalian harus menyiapkan alat-alat untuk memberikan isyarat. Apa pun yang terjadi, kita tidak akan membiarkan kampung halaman kita menjadi lingkungan perburuan tanpa memberikan perlawanan. Bukankah kita mempunyai harga diri?” “Baik. Baik,” berkata Ki Bekel. “Sejak hari ini, kami akan mempersiapkan diri.” “Nanti malam, setiap padukuhan akan mengirimkan lima sampai sepuluh orang untuk ikut berjaga-jaga disini. Tetapi tidak mustahil bahwa padukuhan yang lain pun akan mengalami keadaan yang sama seperti padukuhan ini.” “Baik, Ki Demang.” “Nah, sekarang aku akan mengelilingi padukuhan-padukuhan. Malam nanti aku akan berada di banjar ini. Mudah-mudahan mereka tidak kembali. Tetapi jika mereka kembali, kita akan bersikap lain dari sikap kita kemarin.” “Terima kasih, Ki Demang,” jawab Ki Bekel. “Aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.” “Bagaimana keadaan Ki Bekel sendiri?” “Aku berharap bahwa aku segera menjadi baik. Aku sudah mendapat obat yang mujarab.” Demikianlah, sejenak kemudian Ki Demang dan pengiringnya itu pun telah meninggalkan banjar padukuhan itu. Ki Bekel yang agaknya masih belum pulih benar itu pun telah kembali pula. Sejenak kemudian, orang tua penunggu banjar itu telah berada di serambi belakang menemui ketiga orang yang berada di serambi itu. “Mereka sudah pulang,” berkata penunggu banjar itu. Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun kemudian telah minta diri. “Kami akan meneruskan perjalanan, Kek,” berkata Wijang. “Berhati-hatilah, Ngger. Jika kalian bertemu dengan orang-orang yang garang itu, kalian akan diperlakukan semena-mena. Orang-orang itu agaknya memang tidak berjantung.” “Baiklah, Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok, “mudah-mudahan kami tidak bertemu dengan mereka.” Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera meninggalkan banjar padukuhan itu. Sebenarnya ada niat Wijang dan Paksi untuk berada di padukuhan itu barang satu dua malam. Mereka ingin bersama-sama dengan para penghuni padukuhan itu untuk melawan para pengikut Harya Wisaka. Tetapi Ki Marta Brewok pun berkata, “Mungkin kita dapat mengusir orang-orang itu. Tetapi jika ada yang sempat mengenali Pangeran, padukuhan ini akan menjadi semakin parah. Pada kesempatan lain, akan datang kekuatan yang tidak terlawan. Apalagi setelah kita meninggalkan padukuhan ini, sementara orang-orang yang datang itu menganggap bahwa Pangeran memang bersembunyi disini.” Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah benar aku telah banyak menimbulkan malapetaka bagi banyak orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa?” Ki Marta Brewok tidak menyahut. Tetapi ia sempat memperhatikan Wijang yang berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ketika mereka bertiga beristirahat di pinggir sebuah sungai dan duduk di atas sebongkah batu yang besar, yang nampaknya pernah ditumpahkan dari mulut Gunung Merapi, Wijang itu pun berkata, “Aku harus memperhatikan peristiwa-peristiwa itu. Aku tidak boleh menutup mata, bahwa banyak peristiwa yang tidak dikehendaki telah terjadi.” “Tentu hal itu tidak Pangeran kehendaki. Tetapi sebenarnyalah bahwa hal itu telah terjadi. Orang-orang yang tamak itu tidak menghiraukan sama sekali akibat dari perbuatan mereka.” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Apa yang dilakukan oleh orang-orang tamak itu akibatnya sama seperti yang aku lakukan.” “Maksud Pangeran?” “Yang aku lakukan dan yang mereka lakukan sama-sama menimbulkan banyak korban.” “Tetapi niat Pangeran jauh berbeda dari niat orang-orang yang tamak itu.” “Ki Marta Brewok, bukankah Ki Marta Brewok pernah mengatakan, bahwa niat yang baik tidak selalu mendatangkan hasil yang baik?” Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Paksi pun berkata, “Sudahlah. Jangan risaukan.” “Bagaimana mungkin aku tidak merisaukannya,” sahut Wijang. “Setiap kali kita bertemu dengan keributan yang memungut korban karena kepergianku dari istana. Apakah alasan mereka mencari cincin atau mencari aku, pada dasarnya sama saja.” “Jadi, apakah yang terpikir oleh Pangeran sekarang?” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Bukankah kepergian Pangeran antara lain sengaja menyingkirkan cincin itu? Khususnya karena Pangeran tahu bahwa Harya Wisaka menginginkannya? Kecuali itu, Pangeran pun ingin melihat kehidupan yang sebenarnya dari rakyat Pajang. Namun yang akhirnya tidak dapat Pangeran lakukan, karena Pangeran sibuk melayani orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu.” “Ya, Ki Marta,” jawab Wijang. “Jadi apa rencana Pangeran?” “Aku akan pulang.” “Pulang ke istana?” bertanya Paksi. “Ya. Sementara itu aku akan menitipkan cincin ini kepadamu.” Paksi terkejut. Dengan serta-merta ia pun menjawab, “Wijang, kau tahu bahwa ayahku menginginkan cincin itu. Jika aku membawanya, maka jika ayahku mengetahuinya, maka cincin itu tentu akan dimintanya. Dan aku sama sekali tidak akan dapat mempertahankannya.” “Berikan saja cincin itu kepada ayahmu. Cincin itu tidak akan hilang.” “Maksudmu? Kau biarkan aku memberikan cincin itu kepada ayah. Kemudian kau akan mengambilnya sebagaimana pernah kau lakukan?” “Tentu tidak, Paksi. Tetapi bukankah kau dapat pulang jika kau membawa cincin itu? Jika kau pulang tanpa membawa cincin itu?” “Yang akan pulang itu kau, Wijang. Bukan aku.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku ingin mengajak kau pulang. Ibumu sangat merindukanmu. Sementara itu, ayahmu akan menerimamu jika kau membawa cincin itu.” “Tetapi cincin itu adalah cincin yang sangat tinggi nilainya. Apa arti lingkup keluargaku dibanding dengan nilai cincin itu sendiri.” “Aku tidak akan kehilangan cincin itu, Paksi. Sehari kemudian, aku akan datang sebagai Pangeran Benawa. Aku akan membawa pertanda dari ayahanda. Dengan demikian, maka ayahandalah yang mengambil cincin itu, karena aku melakukan atas namanya. Tentu dengan ucapan terima kasih dan barangkali ayahanda akan memberikan imbalan atas jasa ayahmu yang telah berhasil menemukan cincin itu. Mungkin pangkat, derajat atau semat.” “Tetapi persoalannya tidak akan berakhir sampai disitu. Di istana masih ada Harya Wisaka,” jawab Paksi. “Aku sadari itu. Pergolakan mungkin masih akan terjadi. Tetapi akhirnya aku berpendapat, bahwa gejolak yang terjadi karena cincin itu harus dipersempit ruang lingkupnya. Mungkin akan terjadi benturan-benturan di dalam. Tetapi tidak harus mengorbankan orang-orang padukuhan yang tidak tahu-menahu persoalannya. Biarlah aku dan barangkali Kakangmas Sutawijaya harus menghadapi Paman Harya Wisaka, karena aku yakin, bahwa Kakangmas Sutawijaya akan membantuku menghadapi Paman Harya Wisaka.” Paksi termangu-mangu sejenak. Ia merenungi ajakan Wijang untuk pulang ke Pajang. Wijang akan memberikan cincin itu kepadanya. “Satu tanggung jawab yang sangat besar. Jika cincin itu tidak sampai ke tangan ayahnya atau dalam waktu yang pendek sebelum Pangeran Benawa datang atas nama Kangjeng Sultan Pajang, ada orang yang merampasnya, maka persoalannya akan berkembang semakin rumit.” Namun Ki Marta Brewok itulah yang kemudian berkata, “Sebaiknya kau renungkan gagasan itu, Paksi.” “Tetapi ayahku tentu akan bertanya-tanya, kenapa Pangeran dengan serta-merta mengetahui bahwa cincin itu ada di tangan ayahku.” Wijang tersenyum. Katanya, “Mudah sekali. Aku dapat mengatakan bahwa para peramal istana telah memberitahukan kepada ayahanda, bahwa cincin itu sudah berada di Pajang. Di tangan ayahmu.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Jawaban yang memang tidak akan dapat dipersoalkan lagi. Sementara itu Ki Marta Brewok yang kemudian tersenyum berkata, “Satu gagasan yang lengkap, Paksi.” “Tetapi jika semalam sebelum Pangeran Benawa datang rumah kami dirampok orang, katakanlah Harya Wisaka dengan beberapa orang berilmu tinggi?” bertanya Paksi. “Pukul kentongan. Seluruh Pajang akan terbangun,” jawab Ki Marta Brewok. “Pangeran Benawa juga akan terbangun. Jika cincin itu disembunyikan di tempat yang rapat, maka sebelum orang-orang itu dapat menemukan cincin yang mereka cari, Pangeran Benawa dan orang-orang yang dipercayanya, sudah akan berada di rumahmu untuk membantu ayahmu melindungi cincin itu.” “Ya,” sahut Wijang. “Tetapi dalam keadaan seperti itu, cincin itu akan langsung dibawa oleh Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan.” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memikirkannya. Nanti malam aku akan memberikan jawaban.” “Kenapa menunggu nanti malam?” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Apakah kita tidak jadi melihat-lihat keadaan Alas Mentaok?” “Kalian sudah dapat menggambarkan ujud dari hutan yang sangat lebat itu, meskipun yang dikatakan oleh orang tua penunggu banjar itu memang agak berlebihan. Aku yang pernah berada di dalam hutan itu beberapa hari, masih juga sempat keluar dalam keadaan hidup. Meskipun demikian, Alas Mentaok memang hutan yang sangat berbahaya.” Terasa angin berhembus semakin keras. Awan putih selembar-selembar terbang ke utara, tertimbun di ujung Gunung Merapi. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Pendapat Ki Marta Brewok memberikan tekanan pada perasaannya. Ia terlalu percaya kepada orang itu. Orang yang telah memberikan landasan ilmu kanuragan yang tinggi. Bahkan lebih dari itu. Dalam keadaan yang rumit, setiap kali Ki Marta Brewok itu selalu hadir. Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Baiklah. Paksi masih akan merenungkan ajakan Pangeran. Marilah kita meneruskan perjalanan. Kapan saja Paksi mengambil keputusan, kita akan dapat menentukan sikap.” Wijang mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Marilah kita berjalan. Kita masih akan pergi ke arah selatan. Sampai atau tidak sampai Alas Mentaok.” Mereka bertiga pun kemudian telah bangkit. Bertiga mereka melangkah ke arah selatan. Tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, Paksi kemudian berkata, “Baiklah, Wijang. Aku pulang.” Mereka pun berhenti melangkah. Sambil tersenyum Wijang pun menepuk bahu Paksi sambil berdesis, “Bagus, Paksi. Kita akan bersama-sama pulang. Kau akan membawa cincin itu dan memberikannya kepada ayahmu. Kau akan diterima sebagai anak laki-laki yang baik, yang berbakti kepada orang tua dan bahkan kau akan dapat menjunjung derajat ayahmu, karena dengan mempersembahkan cincin itu kembali ke istana, ayahmu akan mendapat anugerah.” Paksi termangu-mangu sejenak, hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah ayah seorang yang setia kepada Pajang. Apakah ayah tidak menjadi salah seorang yang berada di bawah pengaruh Harya Wisaka.” “Kau akan mengawasinya, Paksi.” “Jika Harya Wisaka datang dengan kekerasan, maka aku dapat memukul kentongan, sehingga seluruh Pajang akan mendengar karena suara kentongan itu akan segera bersambut dan menjalar kemana-mana. Tetapi kalau Harya Wisaka atau kepercayaannya datang dengan diam-diam?” “Sebaiknya jangan beri kesempatan hal itu terjadi,” berkata Ki Marta Brewok. “Sebaiknya kalian berdua sepakat tentang waktu, agar jarak waktu akan kedatangan Paksi dan kehadiran Pangeran Benawa di rumah Paksi atas nama Kangjeng Sultan tidak terlalu panjang. Dengan demikian, tidak ada kesempatan bagi Harya Wisaka mengambil cincin itu.” “Baiklah. Kita dapat bersepakat untuk mengatur waktu itu.” Demikianlah Wijang dan Paksi itu pun telah bersepakat untuk menempuh perjalanan pulang. Mereka telah mengatur, kapan Wijang memasuki istananya dan kapan Paksi akan sampai ke rumahnya. Paksi harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk menemui ayahandanya dan mohon pertanda bahwa Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan datang ke rumah Paksi untuk mengambil cincin yang dibawa oleh Paksi. Namun perjalanan pulang itu harus mereka tempuh dengan berhati-hati. Di sepanjang jalan pulang itu masih mungkin terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan. Tetapi kedua orang anak muda itu menjadi semakin tenang ketika Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Aku akan menyertai kalian sampai ke Pajang.” “Tetapi bukankah aku tidak perlu berada di alun-alun Pajang dua kali sebulan? Saat bulan purnama dan di tanggal pertama untuk menunggu Ki Marta Brewok?” Ki Marta Brewok itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa. Wijang memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi ia tidak tahu apa yang sedang ditertawakan oleh Ki Marta Brewok. Bahkan Paksi pun kemudian ikut tertawa pula. “Apa yang kalian tertawakan?” bertanya Wijang. Paksi menahan tertawa. Namun kemudian ia berceritera bahwa Ki Marta Brewok pernah mengancamnya untuk meminjamkan cincin itu. Ki Marta Brewok akan menemui Paksi di alun-alun Pajang dan menunggunya di saat purnama atau pada tanggal pertama. Ternyata Wijang pun telah tertawa pula. Di perjalanan kembali ke Pajang, Ki Marta Brewok telah berpesan agar mereka menghindari persoalan-persoalan yang dapat terjadi di jalan. “Kecuali yang memang tidak dapat kita hindari.” Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian, mereka sadar, bahwa mereka berada di lingkungan yang berbahaya. Di daerah yang seakan-akan ditebari oleh orang-orang yang dapat mengancam keselamatan mereka. Ketika mereka lapar, maka mereka telah memilih kedai yang kecil dan sempit, yang hanya disinggahi oleh orang-orang di sekitarnya, karena kedai itu sama sekali tidak menarik bagi orang-orang yang lewat dalam perjalanan jauh. Mereka bertiga berharap bahwa di kedai yang kecil itu mereka tidak akan menemui persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Sebenarnyalah yang berada di dalam kedai itu agaknya orang-orang di sekitar tempat itu saja. Ada di antara mereka yang duduk tanpa baju dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Di samping nampak sebuah kapak pembelah kayu yang tersandar di dinding. Nampaknya orang itu baru saja membelah kayu di sebelah kedai itu. Di tangannya terdapat sepincuk nasi megana. Di sisi lain, duduk dua orang yang sudah separo baya. Di hadapannya dihidangkan di paga bambu yang rendah, wedang sere dan beberapa macam makanan. Jadah, jenang alot, wajik dan tasikan. Beberapa kerat ketela rebus dengan tempe bacem dan lombok rawit. Kedua orang itu nampak asyik berbincang. Mereka tidak menghiraukan orang-orang lain yang berada di kedai itu. Sekali-sekali terdengar keduanya tertawa. Wijang, Paksi dan Ki Marta Brewok telah mengambil tempat di sudut. Di sebelah orang yang sedang makan sepincuk nasi megana. Tetapi orang itu tidak menghiraukan kehadiran ketiga orang itu. Nampaknya ia sedang menikmati kangkung, lembayung dan kacang panjang rebus dengan bumbu megana. Ketika pemilik kedai itu datang mendekat, maka Wijang pun memesan tiga pincuk nasi megana pula. Ketika orang yang tidak berbaju itu mendengar, maka ia pun mengangkat wajahnya. Dipandanginya Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi sambil tersenyum. Katanya, “Kalian juga senang nasi megana seperti ini?” “Ya, Ki Sanak,” Ki Marta Brewoklah yang menjawab. “Murah, kenyang dan awet.” Ki Marta Brewok tertawa. Wijang dan Paksi pun tertawa pula. Tetapi Wijang lah yang bertanya, “Apa yang awet, Ki Sanak?” “Awet kenyang. Lembayung dan kangkung membuat kita tidak cepat lapar meskipun kita bekerja keras.” “Ya. Aku sependapat.” Wijang mengangguk-angguk. Sejenak kemudian pemilik warung itu pun telah menghidangkan tiga pincuk nasi megana. Tetapi di dalamnya terdapat masing-masing sebutir telur. “Ha, kalian orang kaya, ya?” “Tidak. Kenapa?” “Kalian memakai lauk masing-masing sebutir telur.” “Kami tidak memesan. Tetapi pemilik kedai itulah yang memberinya.” Orang yang tidak berbaju itu memandang pemilik kedai yang sudah kembali ke tempatnya. Katanya, “Kebiasaannya memang begitu. Tanpa bertanya, maka ditaruhnya lauk yang mahal-mahal. Disini harga telur tiga keping. Padahal dimana-mana hanya dua keping.” “O. Apaboleh buat. Jika belum terlanjur, aku tidak mau diberi telur yang tiga keping harganya,” desis Paksi. “Aku tidak berani mengambil sebutir telur. Nanti anak-anakku tidak makan. Hanya jika ayam kami bertelur lebih banyak, kami sering makan telur. Dua butir telur untuk orang serumah.” “Apakah ayammu jarang bertelur?” “Setiap hari ada ayamku bertelur. Tetapi telur itu harus dijual untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain. Aku punyai tujuh orang anak yang masih kecil-kecil.” “Bukankah Ki Sanak mempunyai sebidang sawah?” “Sawahku sudah digadaikan oleh ayahku untuk lima tahun. Jadi aku harus menunggu dua tahun lagi untuk dapat menggarap sawahku sendiri. Sekarang aku menggarap sawah orang lain, sambil bekerja menjadi blandong kayu. Istriku jual ayung-ayung. He, disini juga ada ayung-ayung buatan istriku itu. Kau tidak mencicipi? Setiap pagi aku bawa se-irig ayung-ayung. Banyak orang suka ayung-ayung buatan istriku.” “O. Aku adalah penggemar ayung-ayung,” sahut Wijang. Blandong kayu itulah yang berteriak kepada pemilik kedai, “He, mana ayung-ayungmu?” “Habis. He, apakah kau masih belum puas makan ayung-ayung di rumah?” “Bukan aku. Tetapi ketiga orang tamumu ini.” “Sayang ayung-ayungnya sudah habis.” “Nah,” blandong itu berkata dengan bangga, “bukankah ayung-ayung buatan istriku itu sangat laris.” “Ya. Sayang sekali,” desis Wijang. “Tetapi lain kali aku akan singgah dan membeli ayung-ayungmu.” Blandong itu tertawa. Katanya, “Tetapi jika kalian memang ingin mencicipinya, silahkan mampir. Rumahku tidak jauh. Mungkin masih ada beberapa bungkus ayung-ayung ada di rumah.” “Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Lain kali aku akan singgah.” Orang itu terdiam. Dihabiskannya nasi megana di pincuknya. Kemudian diteguknya minumannya sehingga mangkuknya hampir menjadi kosong. Sambil bangkit berdiri, ia pun menggeliat. Katanya, “Perutku sudah kenyang. Silahkan, Ki Sanak. Jika kau ingin ayung-ayung, singgahlah di rumahku.” “Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. Orang itu pun kemudian melangkah mendekati pemilik warung. Diambilnya dua keping uang dan diserahkannya kepada pemilik kedai itu. Tetapi sebelum orang itu keluar dari kedai itu, maka terdengar keributan di jalan yang membujur di depan kedai itu. Orang itu termangu-mangu sejenak. Diurungkannya langkahnya, sehingga ia kembali duduk di tempatnya semula. Tetapi nampak wajahnya yang menjadi tegang. Ternyata bukan hanya orang itu saja yang menjadi tegang. Tetapi yang lain pun menjadi ketakutan. Bahkan seorang yang duduk di sudut menjadi gemetar. “Orang-orang itu kembali lagi,” desis tukang blandong yang tidak berbaju itu. “Siapa?” “Kami tidak tahu, siapakah mereka itu.” “Apa yang mereka cari?” “Mereka mencari anak muda yang bernama Pangeran Benawa.” Wijang menarik nafas panjang. Namun Paksi lah yang bertanya, “Apakah mereka berhasil?” “Dua hari yang lalu tidak.” “Jadi mereka sudah datang kemari dua hari yang lalu?” “Ya.” Wijang tidak bertanya lagi. Keributan itu menjadi semakin dekat. Ketika Paksi berdiri dan melangkah ke pintu, pemilik kedai itu berkata, “Jangan keluar. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian mereka.” Paksi mengurungkan niatnya. Ia justru melihat dua orang petani yang berlari-lari meloncati parit. Mereka melemparkan cangkul mereka di pinggir jalan. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, empat orang berjalan di depan kedai itu. Seorang perempuan yang berpapasan dengan mereka menjadi gemetar. Sementara itu seorang di antara keempat orang membentaknya, “Kau mau kemana, he?” Perempuan itu menjawab terbata-bata, “Tidak kemana-mana.” Orang itu memperhatikan orang yang sudah separo baya sambil berkata. “Awas. Jangan berbuat macam-macam.” Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi kakinya bagaikan menjadi seberat timah. Keempat orang itu pun kemudian telah berdiri di depan kedai itu. Seorang di antaranya melangkah ke pintu kedai. Sambil berpegangan uger-uger pintu kedai itu, ia memandang ke dalamnya. Ia melihat beberapa orang yang sedang berada di dalam kedai. Mereka melihat orang yang tidak berbaju itu. Orang yang ketakutan di sudut dan tiga orang yang sedang memegangi pincuk nasi megana. Orang itu sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran duduk di dalam kedai sambil memegang sepincuk nasi megana. Karena itu, maka orang itu pun kemudian berkata lantang, “Aku minta kalian tidak berbuat sesuatu yang dapat mengacaukan tugas-tugasku disini. Kali ini buruanku tidak boleh lepas. Aku sudah mendapat keterangan bahwa kemarin ia sudah berada disini.” Tidak seorang pun yang menyahut. Sementara orang itu pun berkata selanjutnya, “Jika sekali ini buruanku itu terlepas lagi, maka aku akan membawa sepuluh orang di antara penghuni padukuhan ini. Mereka tidak akan pernah kembali.” Semua orang yang berada di kedai itu masih saja terbungkam. Bahkan mereka pun menundukkan kepala. Tidak seorang pun yang berani mengangkat wajahnya, apalagi memandang orang yang berdiri di pintu itu. “Kalian harus membantu kami. Kalian harus memberitahukan kepada kami, dimana anak muda yang aku cari itu bersembunyi.” Orang-orang yang ada di dalam kedai itu termasuk pemilik kedai itu masih tetap berdiam diri. “Baiklah. Kami akan pergi. Kami akan mencari anak muda yang sejak kemarin sudah ada disini.” Sejenak orang itu memandang berkeliling. Karena orang-orang yang berada di dalam kedai masih berdiam diri sambil menunduk, maka orang itu pun tidak berbuat apa-apa. Sambil beringsut mundur orang itu berkata, “Ingat, siapa yang menggagalkan usaha kami, akan kami hancurkan. Tetapi sebaliknya, siapa yang membantu kami, akan kami beri hadiah yang sangat besar.” Tidak seorang pun yang menyahut. Semua orang yang ada di dalam kedai itu masih tetap menundukkan kepalanya. Wijang lebih senang menatap telur yang tinggal sepotong di dalam pincuknya daripada memandang orang yang berdiri di pintu itu. Dalam pada itu, orang yang berdiri di pintu itu juga melihat dua orang anak muda berada di kedai itu. Tetapi dua anak muda dengan pakaian kusut, memegangi pincuk nasi megana di sebuah kedai kecil, sehingga dua orang anak muda itu tidak menarik perhatiannya. Yang ada di dalam kedai itu sama sekali tidak menggiring perhatian orang yang berdiri di pintu itu kepada seorang pangeran. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang itu pun telah meninggalkan kedai itu. Mereka meneruskan langkah mereka sambil menakut-nakuti orang-orang yang lewat di sepanjang jalan. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia sudah luput dari perhatian orang itu. Wijang sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi ia masih memikirkan orang-orang padukuhan yang akan dapat menjadi sasaran kemarahan dan dendam jika ia berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Sementara itu, Ki Marta Brewok pun telah berpesan agar Wijang dan Paksi menghindari persoalan-persoalan yang dapat timbul dan menghambat perjalanan pulang mereka. “Marilah, kita selesaikan nasi megana ini. Kita sebaiknya segera meninggalkan tempat ini,” desis Ki Marta Brewok. Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu Paksi pun telah menyelesaikan nasi megananya meskipun agak tertahan di lehernya, sehingga Paksi harus meneguk minumannya sampai hampir habis. Wijang tersenyum. Katanya, “Pincuknya jangan ikut ditelan, Paksi.” “Telurnya,” desis Paksi. Ki Marta Brewok pun tertawa. Namun sebelum mereka membayar dan meninggalkan kedai itu, mereka melihat seorang anak muda yang berjalan dengan wajah tengadah dan berhenti di depan kedai itu. Seorang laki-laki bersenjata golok mengiringinya di belakangnya. Sambil memandang pemilik kedai yang duduk di belakang paga rendah tempat ia menggelar dagangannya, anak muda itu menyapa, “He, Kang. Kemana istrimu? Kaukah yang sekarang berjualan nasi disini?” Pemilik kedai itu terkejut. Dipandanginya anak muda itu dengan seksama. Namun kemudian ia pun berdesis, “Wicitra. Kapan kau pulang?” “Kemarin. Aku sekarang sudah berubah. Kenapa kau masih tetap saja menjadi penjual nasi? Bahkan tanpa istrimu?” “Istriku sedang pulang untuk mengambil bumbu megana. He, kau memang berubah. Dimana kau selama ini?” Anak muda itu mengangkat wajahnya. Katanya, “Aku tidak mau hidup di tempat yang pengap seperti ini. Aku harus berubah. Dan aku berhasil.” “Jadi, apa yang kau lakukan disini sekarang?” “Aku akan menjual warisanku untuk menambah modal kerjaku. Aku seorang saudagar yang berhasil.” “Maksudmu, tanah dan rumah yang ditinggali kedua orang tuamu itu?” “Ya.” “Tetapi bukankah kedua orang tuamu masih hidup?” “Tanah dan rumah itu akhirnya akan jatuh ke tanganku juga. Apa bedanya sekarang dengan setelah ayah dan ibuku meninggal?” “Lalu, dimana ayah dan ibumu harus tinggal?” “Ia dapat tinggal bersama Paman. Bukankah umur mereka sudah tidak akan terlalu panjang lagi?” “Citra.” Wicitra tertawa. Katanya, “Jangan dibelenggu oleh kecengengan. Kematian seseorang adalah alami. Semua orang akan mati. Juga ayah dan ibu.” Wijang dan Paksi mendengar pembicaraan itu. Tiba-tiba Paksi menggamit Wijang sambil berdesis, “Apakah anak itu sudah gila?” “Sst,” potong Wijang, “biar saja ia berkicau sesuka hati.” “Tetapi telingaku terasa panas.” Wijang tertawa tertahan. Katanya, “Jangan membiasakan diri cepat tersinggung.” Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, “Satu pengenalan yang menarik. Jadi ada juga anak yang bersikap demikian terhadap orang tuanya. Tetapi kita belum tahu, apakah orang tuanya itu orang tuanya sendiri, orang tua angkat atau sekedar mengaku orang tua.” “Tetapi warisan itu?” “Sst,” Wijang berdesis. Ternyata anak muda itu melangkah ke pintu kedai. Seperti orang yang sedang mencari Pangeran Benawa, anak muda yang bernama Wicitra itu berdiri berpegangan uger-uger pintu. Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kedai itu..... Dengan nada tinggi Wicitra itu berkata, “Kedaimu masih juga kedai kerdil dan kotor. Orang-orang yang makan di dalam kedaimu juga orang-orang yang tidak berbaju dan berpakaian kusut.” “Kau tidak ingat lagi kepada Kang Setra Blandong?” “Tentu ingat. Ia masih juga blandong seperti dahulu. Ia masih juga makan di kedaimu tanpa baju.” Orang yang disebut Setra Blandong itu hanya memandangi Wicitra saja tanpa mengatakan sesuatu. Wicitra tertawa melihat tukang blandong yang duduk termangu-mangu, yang sebenarnya sudah akan meninggalkan kedai itu, tetapi tertahan karena kehadiran empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Jika ia kemudian tidak segera pergi sepeninggal keempat orang, ia memang menunggu agar orang itu menjadi semakin jauh. Tetapi sebelum ia beranjak pergi, Wicitra itu telah datang ke kedai itu. Sementara itu pemilik kedai itu pun kemudian bertanya, “Jadi kau datang kemarin, Wicitra?” “Ya.” “Wicitra, ada yang perlu kau ketahui.” “Apa?” “Di padukuhan ini sekarang berkeliaran beberapa orang yang sedang mencari seorang anak muda. Mereka baru saja datang ke kedai ini. Mereka mengatakan bahwa anak muda yang mereka cari kemarin sudah datang ke padukuhan ini.” “Siapakah yang mereka cari?” “Pangeran Benawa.” “Pangeran Benawa? Apakah Pangeran Benawa ada di padukuhan kita?” “Yang aku cemaskan, bahwa kaulah yang dikira Pangeran Benawa itu. Karena kau juga datang ke padukuhan ini kemarin.” “O. Bukankah aku pantas jika aku dikira seorang pangeran? Ujudku memang ujud seorang pangeran.” “Tetapi dengan demikian kau terancam bahaya.” “Bahaya apa?” “Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang garang. Yang tadi singgah di kedai ini adalah empat orang bersenjata yang kasar dan berwajah seram.” “Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus aku lakukan?” “Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari. Jika mereka benar-benar menyangka bahwa kau adalah Pangeran Benawa, maka kau tentu akan mereka bawa.” “Apakah sia-sia aku berguru beberapa tahun. Pengawalku itu pun seorang gegedug yang tidak terkalahkan. Apalagi hanya empat orang. Sembilan orang pun akan dapat aku binasakan dalam waktu sekejap.” “Tetapi nampaknya keempat orang itu juga orang-orang berilmu. Mereka sudah datang beberapa hari yang lalu. Mereka kasar dan nampaknya berbahaya.” “Kau menakut-nakuti aku?” “Tidak. Tetapi orang-orang itu berbahaya bagimu. Agaknya orang-orang itu sulit diajak bicara. Apakah tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepadamu? Ayah dan ibumu?” “Aku tidak memerlukan pemberitahuan itu, Kang. Lupakan saja. Aku justru akan menampakkan diri untuk mengetahui, apakah aku benar-benar mirip dengan seorang pangeran.” “Tetapi…. “ Ternyata tukang blandong yang lebih banyak berdiam diri itu akhirnya berbicara juga, “Sudahlah. Wicitra sudah dewasa. Ia dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Manakah yang baik dilakukan dan mana yang tidak.” Pemilik kedai itu memang terdiam. Namun Wicitra itulah yang melangkah mendekati blandong yang tidak memakai baju itu. Pengawalnya pun telah melangkah ke pintu pula sambil memegangi hulu goloknya yang berada di dalam sarungnya dan tergantung di lambung. “Ternyata kau cukup bijaksana Setra. Terima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Tetapi sayang, aku sama sekali tidak memerlukannya. Kau pun tidak membuat pertimbangan dengan ikhlas. Bahkan dalam nada suaramu, tersirat perasaanmu yang jengkel terhadap sikapku. He, apakah kau ingin membuat gara-gara.” “Sama sekali tidak,” jawab Setra Blandong. “Aku hanya ingin pemilik kedai ini diam.” Wicitra tertawa. Katanya, “Apakah bajumu masih saja selembar sehingga kau tidak pernah mengenakannya kecuali jika kau pergi jagong bayen?” Setra memandang orang yang berdiri di pintu. Seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Bersenjata golok. Wajahnya seram sedangkan matanya yang tajam seperti mata burung hantu itu memandanginya. Setra menarik nafas dalam-dalam. Ia hanya seorang blandong kayu. Mungkin ia memiliki tenaga yang besar. Tetapi sejak kecil Setra tidak pernah berkelahi. Karena itu, Setra sama sekali tidak menjawab. Ketika Wicitra meraba pundak Setra, maka ia pun berkata, “Keringatmu masih saja belum kering Setra. Tetapi mungkin minuman panasmu itulah yang membuat kau berkeringat.” Setra Blandong masih tetap diam saja. Wicitra pun tertawa pula. Katanya, “Hati-hatilah, Setra. Jika kau menebang pohon, kau harus tahu kemana arah pohon itu tumbang, agar pohon itu tidak menimpa kepalamu.” Setra Blandong itu masih saja berdiam diri. Wicitra itulah yang kemudian melangkah ke pintu. Ketika pengawalnya bergeser, Wicitra itu pun melangkah keluar sambil berkata lantang kepada pemilik kedai itu, “Aku akan mencari orang-orang yang telah menakut-nakuti penghuni padukuhan ini. Aku akan mengaku Pangeran Benawa.” Sejenak kemudian, maka Wicitra dan pengawalnya itu pun meninggalkan kedai itu. Tetapi ia masih bertanya kepada pemilik kedai itu, “Kemana mereka pergi, Kang?” Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Keempat orang itu menyusuri jalan di depan kedai itu ke timur. Namun pemilik kedai itu berkata, “Mereka pergi ke barat.” Wicitra tertawa. Tetapi bersama pengawalnya ia pergi ke timur. “Kau yang bodoh,” berkata Setra Blandong. “Anak itu datang dari arah barat.” Pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun tersenyum pula. Setra Blandong itulah yang kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar. Katanya, “Sejak tadi aku sudah akan pergi. Aku menyesal bertemu dengan anak yang sombong itu.” “Aku mencemaskannya,” berkata pemilik kedai itu. “Kau tidak bersalah. Kau sudah mencoba untuk memperingatkannya. Tetapi ia keras kepala. Aku bahkan menjadi jengkel karena kesombongannya. Tetapi pengawalnya itu membuat hatiku berkerut. Terus terang aku takut.” Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan berkecil hati. Itu wajar-wajar saja. Kita bukan orang yang terbiasa berkelahi. Meskipun kau membawa kapak, tetapi pohon yang kau tebang selalu saja pasrah.” Setra Blandong itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Kecut sekali. Tetapi Setra Blandong itu masih juga berkata kepada Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang menyertainya, “Jika kau perlu ayung-ayung, ambil di rumahku.” Ki Marta Brewok tertawa sambil menjawab, “Terima kasih, Ki Setra.” Sepeninggal Setra Blandong, maka Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah minta diri pula. Setelah membayar harga makan dan minum mereka, maka mereka pun meninggalkan kedai itu pula. Namun demikian mereka keluar dari kedai itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Nasib anak itu agaknya akan menjadi kurang baik.” “Anak itu terlalu sombong,” desis Paksi. “Apakah kita sebaiknya memperingatkannya. Orang itu masih nampak dari sini. Kita dapat menyusulnya dan memberitahukan bahaya yang dapat mengancamnya. Mungkin jika orang lain yang memberinya peringatan, anak itu akan mau mendengarkannya,” sahut Wijang. Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya, “Belum tentu. Agaknya anak itu terlalu sombong. Kau dengar apa yang dikatakannya tentang kedua orang tuanya?” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Anak itu memang sangat menjengkelkan.” “Tetapi biarlah kita mencobanya. Mungkin kita dapat meyakinkannya.” Ketiganya pun mempercepat langkah mereka. Namun anak muda yang bernama Wicitra itu telah hilang di tikungan. “Kita pun akan berbelok pula,” berkata Ki Marta Brewok. “Tetapi persoalan ini adalah persoalan terakhir yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Selanjutnya kita akan langsung menempuh perjalanan pulang.” “Ya. Kita tidak menghiraukan lagi, apa pun yang terjadi di sekitar diri kita,” berkata Paksi. Tetapi Wijang justru tertawa. Katanya, “Benar begitu?” Paksi mengerutkan dahinya. Ki Marta Brewoklah yang kemudian tertawa pula. Paksi yang memberengut itu pun berkata, “Jadi akulah yang telah menghambat perjalanan pulang?” “Tidak. Bukankah aku tidak berkata begitu?” sahut Wijang. Paksi tidak berbicara lagi. Tetapi ia berjalan lebih cepat. Tongkatnya menghentak-hentak tanah yang dilewatinya. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Mereka mendengar suara keributan kecil terjadi di belakang tikungan. Dengan hati-hati ketiganya mendekat sambil melekat di dinding. Dari tempat mereka berhenti, ketiganya mendengar suara seorang laki-laki, “Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari.” “Tidak, kau dengar.” “Jika kau bukan anakku, aku tidak akan mempedulikanmu, Wicitra.” “O, jadi kau usir agar aku tidak sempat menuntut warisan itu lagi.” “Ambil, ambil semuanya yang akan kau ambil, Wicitra. Tetapi banyak orang dan bahkan Ki Bekel menasehatkan agar kau meninggalkan padukuhan ini. Orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak mengenal kasihan. Mereka tentu menyangka bahwa kaulah yang mereka cari.” “Pangeran Benawa?” “Ya.” “Aku memang akan mengaku sebagai Pangeran Benawa. Bukankah tampangku pantas untuk disebut sebagai seorang pangeran.” “Tetapi kau akan ditangkap.” “Siapa yang dapat menangkap aku, biarlah dilakukannya. Aku tidak takut. Kau ajari anakmu menjadi pengecut?” “Tidak. Tentu tidak. Tetapi aku dan ibumu mohon.” “Cukup. Sebaiknya ayah menyiapkan segala sesuatunya yang akan ayah wariskan kepadaku. Besok kita menghadap Ki Bekel. Kemudian aku akan menjual semuanya untuk menambah modalku. Jika perdaganganku menjadi besar, aku akan menjadi saudagar yang paling kaya di Pajang.” “Sudah aku katakan. Ambil yang akan kau ambil.” “Jangan mencari alasan untuk menunda-nunda lagi.” “Wicitra.” “Cukup,” bentak Wicitra. “Biar aku menentukan sikapku sendiri. Aku sudah dewasa. Aku sudah tahu, manakah yang baik dan mana yang tidak baik. Mana yang berbahaya dan mana yang tidak berbahaya.” “Wicitra…, Wicitra.” “Diam, diam kau. Jangan ikuti aku.” Suara mereka tidak terdengar lagi. Langkah Wicitra semakin jauh. Sedangkan desah ayahnya masih terdengar dari balik dinding di tikungan. Ki Marta Brewok lah yang kemudian berbisik, “Marilah kita dekati orang tua Wicitra itu.” “Bukan aku yang membuat persoalan,” desis Paksi. Wijang tertawa tertahan. Katanya, “Tetapi persoalan ini masih terkait dengan persoalan terakhir yang akan melibat kita.” Ki Marta Brewok pun kemudian memberi isyarat kepada kedua orang anak muda itu untuk mengikutinya. Demikian ketiganya muncul di tikungan, ayah Wicitra itu terkejut bukan buatan. Hampir saja ia meloncat berlari untuk mengejar anaknya. Tetapi kakinya serasa menjadi seberat timah. Ki Marta Brewoklah yang kemudian berkata dengan kata-kata yang sareh, “Jangan takut, Ki Sanak. Aku tidak berniat buruk.” Dengan wajah yang tegang, ayah Wicitra itu memandang Ki Marta Brewok dan kedua anak muda yang menyertainya itu berganti-ganti. “Siapakah kalian? Apakah kalian akan mencari Pangeran Benawa? Disini tidak ada Pangeran Benawa. Yang kalian sangka Pangeran Benawa itu adalah anakku. Namanya Wicitra. Ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Ki Sanak, kami tidak sedang mencari Pangeran Benawa. Kami sama sekali tidak mengenalnya, bahkan baru sekarang kami mendengar namanya.” “Jadi, apa yang kalian cari disini?” “Kami tidak mencari apa-apa disini, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Kami hanya lewat. Di tikungan ini kami mendengar suara ribut-ribut, sehingga kami berbelok kemari.” Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi kalian tidak mencari Pangeran Benawa?” “Tidak, Ki Sanak.” “Tetapi banyak orang yang mengatakan bahwa sekelompok orang sedang mencari Pangeran Benawa disini. Pangeran Benawa yang kemarin sudah datang di padukuhan ini. Sedangkan anak muda yang kemarin datang di padukuhan ini adalah anakku. Aku cemas, bahwa anakku itulah yang disangka Pangeran Benawa.” “Apakah anakmu mirip dengan Pangeran Benawa?” bertanya Wijang. “Aku tidak tahu. Aku belum pernah melihat Pangeran Benawa. Yang jelas mirip adalah kemudaannya. Menurut kata orang, Pangeran Benawa itu masih muda. Anakku juga masih muda.” “Tetapi aku dengar, Ki Sanak justru bertengkar tadi.” “Itu tadi anakku. Aku mencoba untuk membujuknya agar ia bersedia meninggalkan padukuhan ini barang satu dua hari sampai orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu pergi.” “Apakah orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu mirip kami?” “Yang kami dengar adalah empat orang. Mungkin saja yang seorang baru mempunyai keperluan lain.” “Tetapi orang itu bukan kami,” jawab Ki Marta Brewok yang selanjutnya berkata, “Bagaimana tanggapan anakmu?” “Anak itu menolak. Ia justru ingin mengaku sebagai Pangeran Benawa itu sendiri.” “Apakah anakmu tidak takut kepada orang-orang yang sedang mencari Pangeran Benawa itu? Mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi, karena mereka tahu bahwa Pangeran Benawa itu pun berilmu tinggi.” “Seharusnya anakku menyadari akan hal itu. Tetapi anakku pun merasa memiliki ilmu. Ia baru saja selesai berguru. Sementara itu seorang pengawalnya juga berilmu tinggi.” “Siapakah pengawalnya itu?” “Aku tidak tahu, tetapi ia adalah orang yang diupah oleh anakku. Ia seorang upahan yang setia.” “Seharusnya anakmu mendengar nasehatmu.” “Apakah kalian bersedia menolong aku?” bertanya ayah Wicitra itu. “Maksud Ki Sanak?” bertanya Ki Marta Brewok. “Tolong, beri tahu anakku. Kau dapat menakut-nakutinya atau dengan cara apa pun juga.” “Kemana anakmu sekarang?” “Mungkin ia pulang dan menunggu orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu di rumah. Atau justru anak itu juga sedang mencari keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu.” “Aku tidak berkeberatan menemui anakmu dan mencoba mencairkan hatinya yang keras itu.” “Terima kasih, Ki Sanak. Marilah, aku mohon Ki Sanak bersedia singgah di rumahku.” Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun kemudian telah mengikuti ayah Wicitra itu. Mereka akan menemui Wicitra dan mencoba untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Demikianlah, sejenak kemudian, ketiga orang itu pun dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun ternyata bahwa Wicitra masih belum pulang. “Anak itu membuat jantungku kuncup,” berkata ayah Wicitra. “Ia adalah anakku satu-satunya. Meskipun ia telah menyakiti hatiku dengan permintaannya yang sebenarnya tidak masuk akal, tetapi bagaimanapun juga ia adalah anakku.” “Apa yang diminta oleh anak itu?” bertanya Ki Marta Brewok. “Rumah dan tanahnya. Sawah dan pategalan yang ada. Anakku akan menjualnya untuk menambah modal usahanya yang nampaknya menjadi semakin maju.” “Lalu, Ki Sanak akan tinggal dimana?” “Itu tidak menjadi soal. Aku dan istriku dapat tinggal dimana-mana. Bukankah aku hanya berdua? Aku dapat tinggal di rumah adikku atau di rumah kakak perempuanku atau dimana saja. Bahkan sebuah kandang kerbau pun cukup untuk kami tempati berdua.” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Sementara Wijang dan Paksi yang juga masih muda itu tersentuh hatinya. Mereka melihat betapa besar kasih orang tua kepada anaknya, meskipun anaknya telah melakukan pemerasan yang tidak masuk akal. Namun pembicaraan mereka pun terputus. Sejenak kemudian mereka melihat Wicitra memasuki halaman rumahnya bersama seorang pengawalnya yang menakutkan itu. Wicitra itu berhenti di tangga pendapa rumahnya. Dengan tegang ia memandang ketiga orang yang duduk di pringgitan bersama ayahnya. Namun kemudian dengan lantang ia pun berkata, “Apakah kau orang-orang yang sedang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?” “Bukan Wicitra,” ayahnyalah yang menyahut. “Marilah. Duduklah. Mereka ingin berbicara kepadamu.” “Siapakah mereka?” bertanya Wicitra. Namun setelah memperhatikan ketiga orang itu dengan seksama Wicitra itu pun berkata, “Bukankah mereka orang-orang yang tadi ada di kedai itu?” “Ya, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Untuk apa kalian datang kemari? Kalian akan memeras keluarga kami dan mengancam untuk memberitahukan kehadiranku di padukuhan ini?” “Jangan berprasangka buruk, Wicitra. Duduklah. Mereka akan berbicara kepadamu. Sebentar saja.” Wicitra memandang Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi berganti-ganti. Namun tanpa naik ke pendapa Wicitra itu berkata, “Apa yang akan kau katakan?” “Duduklah, Wicitra,” minta ayahnya. Tetapi jawab Wicitra, “Aku tidak tuli. Katakan.” Ki Marta Brewok termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Wicitra. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berilmu. Karena itu, seperti yang dikatakan oleh ayahmu, oleh pemilik kedai itu, maka sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini barang dua tiga hari.” “Persetan dengan penghinaanmu itu. Kalau aku tadi tidak mengingat pemilik kedai itu kawanku bermain, aku sudah menyumbat mulutnya dengan daun pisang. Ia menganggap aku pengecut yang harus bersembunyi. Sekarang kau datang juga untuk menghina aku. Aku peringatkan kau sekali lagi. Jangan membuat aku marah.” “Wicitra,” berkata Ki Marta Brewok kemudian, “aku minta maaf, bahwa mungkin kata-kataku menyinggung perasaanmu. Tetapi orang-orang itu benar-benar berbahaya bagimu.” “Cukup,” teriak Wicitra. “Sekarang kalian pergi. Aku akan mencari orang-orang itu dan mengatakan kepada mereka bahwa akulah Pangeran Benawa itu.” “Aku mohon, kau mau mempertimbangkannya, Wicitra.” “Diam, atau aku harus membungkam mulutmu. Pergi. Cepat pergi atau aku akan mengusir kalian.” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Kepada ayah Wicitra, Ki Marta Brewok itu berkata, “Maaf, Ki Sanak. Aku sudah mencoba. Tetapi anakmu tidak mau mendengarkannya.” “Pergi, cepat. Dengar. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu sebentar lagi tentu akan datang kemari. Aku sudah berpesan kepada banyak orang, bahwa akulah Pangeran Benawa dan tinggal di rumah ini selama aku berada di padukuhan ini.” “Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan, Wicitra,” sahut ayahnya. “Orang-orang padukuhan ini mengenalmu sejak kau kanak-kanak. Mereka tahu bahwa kau sama sekali bukan pangeran.” “Aku tidak peduli. Tetapi itu lebih baik bagi mereka. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu menakut-nakuti rakyat padukuhan ini. Mereka akan dapat merusak padukuhan ini jika mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Karena itu, aku sudah berpesan kepada mereka, agar mereka menyurukkan orang-orang itu ke tanganku. Aku akan membinasakan mereka.” “Tetapi mereka orang-orang berilmu,” sahut ayahnya. “Aku tidak takut,” Wicitra itu berteriak. “Aku akan menunggu mereka disini.” Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun kemudian beringsut dan turun dari pendapa. Sementara itu Wicitra masih berteriak, “Cepat, sebelum aku mendorong kalian dengan ujung pedang.” Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun segera meninggalkan halaman rumah itu. Namun rasa-rasanya mereka tidak dapat meninggalkan keluarga yang malang itu begitu saja. Menurut dugaan Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi, maka Wicitra dan pengawalnya itu tidak akan mungkin dapat mengalahkan keempat orang yang sedang mencari Pangeran Benawa itu. Keempat orang itu pun tentu berbekal pengertian, bahwa Pangeran Benawa adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, maka demikian mereka keluar dari regol rumah Wicitra, mereka pun segera meloncat ke halaman seberang dan bersembunyi di belakang dinding. Agaknya pemilik rumah itu sudah lama menutup pintu rumahnya. Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Wicitra, maka ia telah berpesan kepada banyak orang yang ditemuinya, agar mereka sengaja memberitahukan kepada orang-orang yang mencari Pangeran Benawa bahwa Pangeran Benawa ada di rumah itu. “Akulah yang mereka cari,” berkata Wicitra. “Orang-orang di Pajang menyebutku Pangeran Benawa. Mereka iri akan keberhasilanku, sehingga mereka mencari aku.” Orang-orang padukuhan itu tidak banyak yang tahu arti dari sebuah sebutan. Ada di antara mereka yang percaya saja, bahwa Wicitra telah berganti nama dengan Pangeran Benawa. Untuk beberapa lama Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi menunggu. Mereka pun yakin, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu akan datang ke rumah Wicitra. “Ternyata ada juga segi baiknya pada Wicitra,” desis Paksi. “Apa?” bertanya Wijang. “Ia tahu bahwa jika orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu tidak menemukannya, maka ia akan menumpahkan kemarahannya kepada penghuni padukuhan ini.” “Tetapi bukan itu yang penting baginya. Wicitra yang baru saja menyelesaikan laku di sebuah perguruan, ingin mencoba kemampuannya di samping kesombongannya karena ia sudah berhasil menjadi orang yang berkecukupan dalam umurnya yang masih muda itu.” “Ya. Keberhasilannya itu telah membuatnya menjadi sangat sombong dan bahkan lupa diri. Kasihan kedua orang tuanya yang sangat mencintainya. Ia adalah anak satu-satunya yang diharapkan dapat menyambung alur keluarganya. Jika ia dihancurkan oleh orang-orang yang mencari Pangeran Benawa, maka terputuslah alur keluarga itu.” “Tetapi Pangeran Benawa tidak akan dibunuh. Ia harus ditangkap hidup-hidup,” desis Paksi. “Tetapi jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa, ia bukan saja dibunuh. Tetapi ia akan mengalami perlakuan yang sangat pahit sebelum maut benar-benar merenggutnya,” sahut Ki Marta Brewok. Paksi mengangguk-angguk. Bahkan Paksi menjadi ngeri membayangkan apa yang akan dialami Wicitra itu jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa. Dalam pada itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi itu sudah menunggu beberapa lama. Bahkan Paksi mulai merasa mengantuk karena silirnya angin yang berhembus menerpa wajahnya. Katanya, “Aku justru mengantuk. Perutku kenyang, sementara hembusan angin terasa lembut.” “Jika kau tertidur, kau akan ditinggal disini,” desis Wijang. Paksi tertawa. Katanya, “Kenapa kau tidak ikut tidur saja? Jika kau tidak dapat tidur, jangan menjadi iri.” Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Kau kira aku tidak mengantuk? Tetapi siapa yang tertidur, akan ditinggal.” “Jika Ki Marta Brewok yang tertidur?” “Kita akan ikut tidur,” jawab Wijang. Ki Marta Brewok pun tertawa. Dalam pada itu, mereka pun segera terdiam ketika mereka mendengar keributan kecil di jalan sebelah. Mereka mendengar seseorang membentak, “Dimana rumah itu?” Terdengar jawaban dengan suara bergetar. Agaknya orang yang menjawab itu berada dalam keadaan ketakutan. Katanya, “Itu, itu, Ki Sanak. Itu rumahnya.” “Rumah Pangeran Benawa?” “Maksudku, Pangeran Benawa ada disitu.” “Mari ikut aku. Jika kau berbohong, maka kepalamu akan terpisah dari tubuhmu.” “Tetapi aku tidak tahu apa-apa.” “Persetan. Kaulah yang telah membawa aku kemari.” Tidak terdengar jawaban. Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah memperhatikan perkembangan keadaan itu dengan seksama. Sejenak kemudian, mereka mendengar geramang orang-orang itu memasuki regol halaman rumah Wicitra. Dengan hati-hati Ki Marta Brewok pun mulai mengintip dari atas dinding halaman yang dibayangi oleh dedaunan perdu yang rimbun. “Mereka sudah masuk,” desis Ki Marta Brewok. Wijang dan Paksi pun kemudian telah berdiri pula dan melihat pintu regol halaman rumah Wicitra yang terbuka. Bertiga mereka berusaha untuk dapat melihat apa yang terjadi di halaman rumah seberang jalan. Meskipun tidak dalam keseluruhan, namun mereka dapat mengetahui serba sedikit apa yang terjadi disana. Ternyata Wicitra sudah berdiri di tangga pendapa rumahnya sambil bertolak pinggang. Dengan lantang Wicitra itu bertanya, “Kalian inikah yang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?” Keempat orang yang garang itu tiba-tiba menjadi termangu sejenak. Anak muda yang berdiri di tangga pendapa itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. “Kenapa kalian terdiam? Apakah kalian tuli dan bisu?” Seorang di antara keempat orang itu melangkah maju sambil berdesis, “Siapakah kau?” “Aku adalah orang yang kalian cari.” Orang-orang itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka berkata, “Kami memang belum pernah bertemu dengan orang yang bernama Pangeran Benawa. Tetapi ciri-ciri Pangeran Benawa sama sekali tidak sama dengan ciri-ciri yang ada padamu, anak muda.” “Persetan dengan ciri-ciri,” bentak Wicitra. “Apa yang sebenarnya kau kehendaki dengan Pangeran Benawa?” “Kami mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Benawa hidup-hidup. Nah, jika kau memang Pangeran Benawa, menyerahlah. Pimpinan kami yang akan mengenalimu nanti. Jika kau memang Pangeran Benawa, maka persoalannya kemudian adalah persoalanmu dengan pimpinanku. Tetapi jika kau bukan Pangeran Benawa, maka kau akan berurusan dengan aku, karena aku akan menjadi sangat malu, bahwa aku telah menangkap orang yang keliru.” Wicitra tertawa. Katanya, “Kalian memang orang-orang yang dungu. Seharusnya kalian tahu, bahwa aku memiliki ilmu yang tidak ada batasnya. Apakah kalian bermimpi untuk dapat mengalahkan Pangeran Benawa?” “Kami tahu bahwa Pangeran Benawa mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Tetapi sebagaimana kau lihat, bahwa kami datang berempat. Seberapa pun tinggi ilmu Pangeran Benawa, maka kau tidak akan dapat melawan kami.” “Aku juga tidak sendiri,” desis Wicitra. “Seorang pengawalku akan ikut bersamaku membantai kalian berempat. Jangan menyesal kalian berempat akan berkubur disini.” Keempat orang itu mulai tersinggung. Seorang di antaranya berkata tidak kalah lantangnya, “Menyerahlah. Jika kami harus mempergunakan kekerasan, mungkin kami akan melukai kulitmu. Apalagi jika kemudian ternyata kau bukan Pangeran Benawa, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Tetapi jika kau menyerah, maka kau akan mendapat keringanan.” “Cukup,” teriak Wicitra. “Sekarang kau mau apa? Lakukan apa yang ingin kau lakukan.” Keempat orang itu tiba-tiba saja sudah melangkah mengambil jarak yang satu dengan yang lain. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Kami harus menangkap Pangeran Benawa hidup-hidup. Tetapi jika karena perlawanannya Pangeran Benawa mati, aku harus membawa tubuhnya menghadap pemimpin kami.” “Persetan,” geram Wicitra. “Bersiaplah. Siapakah yang akan mati lebih dahulu.” Wicitra kemudian melangkah turun dari tangga pendapa. Anak muda itu nampaknya memang tidak mengenal takut sama sekali. Meskipun empat orang yang datang kepadanya itu nampak garang, tetapi dengan wajah tengadah Wicitra siap menghadapi mereka. Sementara itu, seorang pengawalnya yang tidak kalah garangnya telah bergeser pula justru mendekati Wicitra yang sudah berdiri di halaman. Ayah Wicitra berdiri dengan tubuh gemetar. Ia menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan memberitahukan bahwa Wicitra bukan Pangeran Benawa. Tetapi dengan demikian juga akan dapat berakibat buruk. Justru karena anak muda itu bukan Pangeran Benawa, maka ia akan diperlakukan dengan semena-mena. Apalagi setelah Wicitra mengaku sebagai Pangeran Benawa. Bahkan mungkin Wicitra itu akan dibantai dengan cara yang sangat keji. Tetapi jika ia masih dianggap sebagai Pangeran Benawa, maka masih ada kemungkinan untuk tetap hidup, meskipun pada saatnya ia diketahui bukan Pangeran Benawa, maka segala-galanya akan berakhir. Ayah Wicitra itu menjadi sangat bingung. Dalam keadaan yang demikian, ibu Wicitra pun telah membuka pintu pringgitan dan menjenguk apa yang telah terjadi di halaman rumahnya. Ketika ia melihat anaknya dan seorang pengawalnya berhadapan dengan empat orang yang garang, maka ia pun berlari ke arah suaminya. Sambil mengguncang lengan suaminya, ibu Wicitra itu pun berkata, “Kakang. Lakukan sesuatu untuk menyelamatkan anakmu, Kakang.” “Aku sudah berusaha, Nyi. Tadi, tiga orang sudah berusaha membantu menyadarkan Wicitra. Tetapi anak itu tidak mau mendengarkannya. Orang-orang itu bahkan telah diusirnya dengan kasar, sehingga aku sudah kehilangan akal.” Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu pun sudah dimulai. Wicitra harus berhadapan dengan dua orang yang garang itu, sementara pengawalnya pun harus menghadapi dua orang yang lain. Pertempuran itu pun dengan cepat menjadi sengit. Wicitra yang merasa memiliki ilmu yang tinggi, segera melibat kedua orang lawannya. Namun Wicitra itu terkejut. Ternyata kedua lawannya itu tidak semudah yang dibayangkannya untuk dapat ditundukkan. Pada benturan-benturan awal, Wicitra sudah merasakan, betapa tangannya yang menggenggam pedangnya menjadi pedih. Kedua orang lawannya itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar, serta kecepatan gerak yang tinggi. Untuk beberapa saat lamanya, Wicitra mampu bertahan. Namun kemudian tekanan lawannya itu terasa menjadi semakin berat sehingga Wicitra setiap kali harus berloncatan surut. “Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam tubuh mereka,” geram Wicitra di dalam hatinya. Karena itu, maka Wicitra harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya. Sementara itu, pengawalnya juga mengalami kesulitan melawan dua orang lawan yang tidak kalah garangnya. Goloknya yang besar sekali-sekali telah membentur senjata lawannya. Pedang-pedang yang besar dan panjang. Dalam waktu yang terhitung singkat, pengawal Wicitra itu sudah harus berloncatan surut untuk mengambil jarak dan memperbaiki keadaannya, sehingga akhirnya Wicitra itu telah berdiri terpisah beberapa langkah dari pengawalnya. Gambaran Wicitra tentang lawan-lawannya memang jauh berbeda. Wicitra mengira bahwa mereka tidak lebih dari perampok-perampok yang hanya dapat berteriak-teriak dan menggertak. Namun ternyata mereka benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi Wicitra harus menghadapi dua orang lawan sekaligus. Namun Wicitra masih beruntung, bahwa lawannya berusaha untuk tidak membunuhnya. Kedua lawannya masih berusaha untuk dapat menundukkan Wicitra tanpa melukainya. Karena itu, maka kedua orang lawan Wicitra itu dengan sengaja telah berusaha memancing Wicitra agar mengerahkan tenaganya, sehingga pada suatu saat ia akan menjadi tidak berdaya lagi. Tetapi pengawal Wicitra itu mengalami nasib yang buruk. Ia sama sekali tidak diperlukan oleh keempat orang yang sedang memburu Pangeran Benawa itu. Karena itu, maka kedua orang lawannya pun sama sekali tidak menahan diri. Demikian mereka bertempur, maka serangan-serangan kedua lawan pengawal Wicitra itu datang beruntun sehingga pengawal yang nampak garang itu segera terdesak. Bahkan pertahanannya pun mulai ditembus oleh serangan-serangan lawannya. Ia berteriak marah ketika lengannya tergores pedang lawannya. Tetapi kemudian justru pundaknya telah terkoyak. Ketika kemudian lambungnya menganga, maka ia pun menjadi semakin lemah. Darah yang mengalir dari tubuhnya semakin lama semakin menjadi deras, sehingga tenaganya pun menjadi cepat menyusut. Kedua lawannya sama sekali tidak membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Serangan-serangan mereka justru semakin menentukan. Pengawal Wicitra itu kemudian berteriak nyaring ketika ujung pedang lawannya menghunjam ke dadanya. Sejenak kemudian, maka pengawal Wicitra itu pun terhuyung-huyung. Ketika ujung pedang itu dicabut, maka ia pun jatuh tertelungkup. Pengawal Wicitra itu tidak sempat menggeliat. Nafasnya pun telah putus pula, sementara tubuhnya terbaring diam di tanah. Wicitra terkejut. Ia terlalu yakin akan kemampuan pengawalnya, sehingga kematiannya benar-benar telah mengguncang jantungnya. Sementara itu, kedua orang lawannya semakin menekannya. Apalagi ketika kedua orang yang telah membunuh pengawalnya itu telah ikut mengepungnya pula. “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi,” berkata salah seorang dari orang-orang yang mengepungnya itu. “Jika kau menyerah, kau masih mempunyai kesempatan hidup. Tetapi jika kau melawan, mungkin senjata kami akan menggores kulitmu atau bahwa akan menghunjam ke dadamu.” Wicitra menjadi bingung. Empat orang telah mengepungnya di tengah-tengah halaman rumahnya. Ia benar-benar menjadi kehilangan akal. Jika ia berterus terang bahwa sebenarnya ia bukan Pangeran Benawa, maka ia tentu akan dibunuh juga. Wicitra menyesali kesombongannya. Ia tidak mengira bahwa dunia kanuragan yang mulai diterjuninya adalah dunia yang sangat buas dan liar. Kedua orang tuanya menjadi sangat bingung. Ibunya menangis tertahan-tahan, sementara ayahnya mencoba untuk menenangkannya. Tetapi hati ayahnya itu sendiri sama sekali tidak menjadi tenang. Dalam keadaan yang sangat gawat itu, Wicitra benar-benar telah kehilangan akal. Ketika empat ujung pedang teracu ke tubuhnya, maka tiba-tiba saja ia melemparkan senjatanya. Sambil berjongkok Wicitra itu pun merengek seperti kanak-kanak, “Ampun. Aku mohon ampun.” Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Katakan yang sebenarnya, apakah kau Pangeran Benawa?” “Tidak. Bukan, aku bukan Pangeran Benawa.” “Anak iblis kau. Kau sudah mencoba membohongi aku. Bukan karena kebenaran Pangeran Benawa itu yang sangat menyakitkan, tetapi kau sudah mencoba mempermainkan aku. Menganggap bahwa aku dan kawan-kawanku tidak lebih dari pencuri ayam yang dapat dipermainkan. Kau terlalu sombong dan terlalu merendahkan kami.” “Bukan maksudku. Aku tidak bermaksud apa-apa.” “Kenapa kau mengaku Pangeran Benawa? Bukankah itu berarti bahwa kau telah menantang kami?” “Tidak. Aku mohon ampun.” Dalam pada itu, ibu Wicitra itu pun telah berlari menghambur ke halaman. Dengan serta-merta ia pun memeluk anaknya sambil menangis. Katanya, “Aku mohon ampun bagi anakku. Ia anakku satu-satunya. Ia memang manja. Tetapi ia anak yang baik.” “Persetan dengan anakmu yang hanya satu,” seorang di antara keempat orang itu justru berteriak. “Kaukah yang menyuruh anakmu mengaku Pangeran Benawa? Kau ingin punya anak seperti Pangeran Benawa? Atau kau bangga anakmu disangka Pangeran Benawa?” “Tidak, aku sama sekali tidak menyuruhnya.” Namun tiba-tiba ayah Wicitra itulah yang menjawab, “Akulah yang menyuruhnya mengaku Pangeran Benawa. Alangkah senangnya punya anak yang dikagumi. Yang ditakuti tetapi juga dicari banyak orang. Karena itu, jika hal itu kau anggap salah, akulah yang bersalah. Jika kesalahan itu harus dihukum, hukumlah aku. Kau dapat membunuhku. Tetapi jangan anakku. Ia tidak tahu apa-apa. Ia anak baik. Ia sama sekali tidak sombong sebagaimana kalian duga.” “Kau ayah yang gila. Kau surukkan anakmu ke dalam maut. Kau dorong anakmu sehingga terjerumus ke dalam jurang yang penuh dengan batu-batu karang yang runcing.” “Aku memang bersalah. Karena itu, yang sepantasnya dihukum mati adalah aku. Bukan anakku.” “Aku tidak peduli. Tetapi jika yang kau katakan itu benar, kau dan anakmu harus mati. Kalian berdua sudah menghina kami.” “Ki Sanak,” teriak ibu Wicitra yang masih memeluk anaknya, “jika harus ada dua orang yang dihukum mati, biarlah suamiku dan aku sajalah yang mati, jangan anakku.” “Cukup,” teriak orang yang tertua di antara keempat orang itu. “Kalian tidak dapat memerintah aku. Biarlah terserah kepadaku, apa yang akan aku lakukan. Jika kalian membuat marah aku dan kawan-kawanku, maka kalian akan mengalami nasib yang paling buruk. Siapa pun yang akan aku hukum, maka anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu akan mati.” “Jangan, jangan,” teriak ibu Wicitra. Wicitra sendiri menangis. Ia menjadi sangat ketakutan. Kegarangannya tiba-tiba telah larut hanyut bersama arus air matanya. Katanya tersendat-sendat, “Aku mohon ampun. Aku mohon ampun. Aku mohon hidup.” “Pengecut licik. Melihat kesombonganmu, tidak pantas kau merengek seperti ini. Ayo bangkit. Lebih baik kau mati dengan senjata di tanganmu daripada mati aku jerat kakimu dan aku gantungkan tubuhmu di dahan pohon nangka itu. Ayo cepat. Ambil pedangmu. Kita akan bertempur seorang melawan seorang.” “Tidak, aku tidak berani. Aku mohon ampun.” “Cepat.” Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja ayah Wicitra itu melangkah dengan tenang ke depan. Dipungutnya pedang Wicitra. Kemudian ia berdiri tegak dengan pedang di tangan sambil berkata lantang, “Aku yang akan melawanmu. Aku tidak takut mati. Tetapi aku mohon anakku hidup.” “Tutup mulut, laki-laki gila. Sudah aku katakan, siapa pun yang akan mati, tetapi anak ini harus mati. Kau dengar? Tidak ada gunanya kau melindungi anakmu. Tetapi berkumpullah kalian bertiga disini, berbaringlah. Aku akan menusuk dadamu seorang demi seorang.” Suasana menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu berteriak lantang, “Cepat. Kalian harus berbaring semua atau mati perlahan-lahan?” Ketegangan telah mencengkam jantung ayah, ibu dan Wicitra sendiri yang masih saja merengek. Tetapi justru karena itu, orang tertua di antara keempat orang itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja kakinya menyambar mulut anak itu dengan kerasnya. “Diam kau monyet kecil. Atau aku akan mengulitimu hidup-hidup?” Mulut Wicitra pun menjadi berdarah. Tetapi ia tidak dapat diam. Ia tetap menangis merengek-rengek. Namun pada keadaan yang demikian, tiba-tiba tiga orang telah memasuki regol halaman rumah itu. Dengan lantang yang tertua di antara mereka, Ki Marta Brewok berteriak nyaring, “Ha, akhirnya kita dapat menemukan Pangeran Benawa disini.” Keempat orang yang sudah siap membunuh itu terkejut. Mereka serentak berpaling..... “Kami datang untuk menjemput Pangeran Benawa,” berkata Ki Marta Brewok. Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Yang mana yang kau maksud dengan Pangeran Benawa.” “Yang mana? Apakah kalian belum pernah mengenal Pangeran Benawa?” “Belum,” jawab yang lain. “Anak muda itu adalah Pangeran Benawa,” jawab Ki Marta Brewok sambil menunjuk Wicitra. “Ia bukan Pangeran Benawa. Ia tidak lebih dari seorang pembohong yang sombong, tetapi sekaligus pengecut yang cengeng.” Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, “Begitu sempurnanya ia mengelabuhi kalian, sehingga kalian percaya bahwa ia bukan Pangeran Benawa. Demikian pandainya ia menyamarkan dirinya.” “Tidak. Ia bukan Pangeran Benawa. Kami sudah siap membantainya bersama ayah dan ibunya, yang berusaha melindunginya.” Ki Marta Brewok tertawa berkepanjangan. Katanya, “Cobalah kau berani benar-benar membunuhnya. Maka kalian akan menjadi adeg pengamun-amun.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Marta Brewok berkata, “Nah, serahkan saja Pangeran Benawa kepadaku. Aku akan mengantarkannya kembali ke istana.” Orang tertua di antara keempat orang itu memandang Wicitra yang ketakutan sejenak. Kemudian memandang ayah dan ibunya. Ketika kemudian ia memandang Ki Marta Brewok, maka ia pun kemudian berkata, “Kau jangan menambah kemarahan kami, Ki Sanak. Siapakah kalian dan apakah sebenarnya kepentingan kalian?” “Serahkan Pangeran Benawa kepadaku.” “Tidak ada Pangeran Benawa disini,” jawab orang itu. “Jangan menipu aku. Aku sudah mengenal Pangeran Benawa dengan baik. Anak muda itu adalah Pangeran Benawa.” “Persetan,” geram orang itu. “Apakah ia Pangeran Benawa atau bukan, tetapi aku tidak akan menyerahkannya. Kami sudah bersepakat untuk membunuhnya. Membunuh kedua orang tua ini pula. Mereka telah menghinakan kami dengan mengaku sebagai Pangeran Benawa.” “Jika orang itu menurut pendapatmu memang bukan Pangeran Benawa, serahkan saja kepadaku. Aku akan menukarnya dengan apa yang kau kehendaki.” Keempat orang itu benar-benar menjadi bimbang. Namun ketika ia melihat mulut Wicitra berdarah, maka mereka pun yakin bahwa orang itu bukan Pangeran Benawa. Namun demikian mereka memang tidak berniat menyerahkan anak muda itu karena mereka sudah berniat membunuhnya saja. Sementara itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Ki Sanak. Jika tidak kau serahkan Pangeran Benawa itu, maka kita akan saling berbenturan. Dan itu sangat tidak menguntungkanmu, karena kami bekerja untuk Harya Wisaka.” “Setan kau. Kami juga bekerja untuk Harya Wisaka,” teriak orang tertua di antara keempat orang itu. “Ada bedanya, Ki Sanak. Kalian hanya orang-orang upahan. Tetapi kami adalah keluarga Harya Wisaka itu sendiri.” “Kau jangan mengigau. Kami adalah para petugas dari Harya Wisaka. Kami mendapat kuasa untuk membawa Pangeran Benawa menghadap langsung Harya Wisaka itu.” “Jadi, kenapa Pangeran Benawa itu akan kau bunuh?” “Persetan.” Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mengenal Harya Wisaka dengan baik. Karena itu, maka biarlah aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kalian sudah tidak diperlukan lagi. Demikian Pangeran Benawa dapat kami ketemukan, maka orang-orang upahan memang harus dimusnahkan semuanya. Hanya jika kalian dengan sukarela mengikuti kami dan menyerahkan diri kepada Harya Wisaka, maka kami tidak akan membunuhmu.” “Gila. Ternyata kalian tidak kalah sombongnya dengan anak muda ini. Karena itu, bersiaplah. Kalianlah yang akan mati lebih dahulu. Kami bertiga akan melawan kalian bertiga, seorang di antara kami akan menjaga anak muda yang gila ini.” Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kita harus mempergunakan kekerasan?” “Kalian adalah iblis-iblis yang harus dibinasakan.” Ki Marta Brewok segera memberi isyarat kepada Paksi dan Wijang untuk berpencar. Katanya, “Jika kalian melawan, aku tidak mempunyai pilihan lain.” Tiga orang di antara keempat orang itu pun telah bergerak. Yang tertua telah menunjuk seorang di antara mereka untuk menunggui Wicitra, “Jangan kau bunuh. Tunggu. Aku sendiri ingin membunuhnya dengan caraku.” Orang itu mengangguk. Sementara ketiga orang kawannya pun telah mempersiapkan diri menghadapi Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi. Demikian Paksi pun segera memutar tongkatnya, sementara senjata lawannya sudah mulai teracu pula. “Gila,” geram lawan Paksi. “Kau kira tongkat semacam itu akan dapat kau pergunakan sebagai senjata?” “Jangan menilai tongkatku,” sahut Paksi. “Sudah seribu kali aku mempergunakannya. Aku mengenal tongkatku ini seperti aku mengenali tangan dan kakiku sendiri. Karena itu, aku tahu seberapa jauh kemampuannya.” Lawan Paksi itu menggeram. Dengan garangnya ia memutar senjatanya. Kemudian senjata itu terjulur lurus menggapai ke arah dada. Paksi sengaja meloncat mundur. Ia belum membenturkan tongkatnya pada senjata lawannya itu. Orang-orang itu pun kemudian bertempur tanpa mengekang diri. Seperti saat mereka bertempur melawan pengawal Wicitra, maka mereka berusaha untuk secepatnya menyelesaikannya. Menurut penilaian mereka, anak-anak muda itu ilmunya tentu tidak akan menyamai orang yang bertubuh kekar dan berwajah garang, yang menjadi pengawal orang yang mengaku Pangeran Benawa itu. Karena itu, maka lawan Paksi pun itu berharap bahwa dalam waktu dekat ia dapat menyelesaikannya. Tetapi ketika senjata mereka mulai berbenturan, maka orang itu pun segera menyadari, bahwa anak muda yang bersenjata tongkat itu memiliki ilmu yang cukup. Bahkan lawan Paksi itu menduga, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu. Ketika orang itu menghentakkan kemampuannya, maka Paksi memang agak terkejut dan berloncatan surut. Lawannya yang garang itu dengan kasar telah membentak, “Jangan menyesali diri. Kau akan mati dengan penuh penyesalan.” Orang itu pun benar-benar telah melibat Paksi dengan tanpa dikekang sama sekali. Paksi pun meyakini, bahwa orang-orang itu memang orang-orang yang tidak berjantung. Pembunuh-pembunuh upahan yang dapat menghunjamkan pedangnya di tubuh lawannya dengan tanpa berkedip sama sekali. Paksi pun meyakini bahwa orang itu benar-benar ingin membunuhnya sebagaimana mereka telah membunuh pengawal Wicitra itu. Namun dengan demikian, maka Paksi pun telah mendapatkan satu ketetapan, bahwa orang yang demikian itu tidak akan mungkin dapat berubah. Jika ia tetap hidup, maka orang itu tentu menimbulkan lagi kematian-kematian di hari-hari mendatang. “Pembunuhan-pembunuhan semacam itu harus dihentikan,” berkata Paksi di dalam hatinya. Sementara itu Wijang pun sudah mengambil keputusan pula. Orang yang bertempur melawannya itu juga benar-benar akan membunuhnya. Ia pun yakin, bahwa tanpa pertolongan, Wicitra dan keluarganya itu tentu benar-benar akan dibunuhnya. Karena itu, maka Wijang pun tidak mempunyai pilihan lain. Lawannya itu pun harus dihentikannya untuk selama-lamanya. Karena itu, baik Wijang mau pun Paksi tidak lagi merasa ragu-ragu. Mereka harus bertempur dengan segenap kemampuannya untuk membunuh lawannya. Tetapi orang-orang itu pun benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk melakukan pekerjaan mereka. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi, yang dapat mereka jual. Dengan modal kemampuan itu, mereka menjadi pembunuh upahan. Upah yang besar untuk pekerjaan yang ringan bagi mereka. Tetapi saat itu, mereka ternyata membentur seorang yang berilmu tinggi. Baik lawan Paksi mau pun lawan Wijang, tidak segera mampu mengatasi lawannya. Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi kemudian, mereka harus mengakui kenyataan, bahwa anak-anak muda itu berilmu tinggi. Ki Marta Brewok pun telah bertempur pula melawan orang tertua di antara keempat orang itu. Dengan tangkasnya Ki Marta Brewok menekan lawannya yang bersenjata pedang. Meskipun orang tertua itu juga seorang yang berilmu tinggi, tetapi berhadapan dengan Ki Marta Brewok, orang itu dengan cepat merasakan tekanan yang sangat berat. Sementara itu Ki Marta Brewok pun menilai keempat orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Ternyata usaha Harya Wisaka untuk mencari Pangeran Benawa tidak tanggung-tanggung. Harya Wisaka telah bekerja bersama para prajurit dan petugas sandi yang dapat dipengaruhinya, perguruan-perguruan dan orang-orang berilmu tinggi serta orang-orang upahan yang juga berilmu tinggi. Orang-orang upahan yang kepalanya hanya dibayangi oleh upah yang besar tanpa berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak pernah menilai arti kebenaran dari tugas-tugas yang mereka lakukan. Meskipun mereka tahu seseorang tidak bersalah sama sekali, tetapi jika ada orang lain yang mengupahnya untuk membunuh orang itu, maka pembunuhan itu dilakukannya juga. Pertempuran di halaman itu semakin lama menjadi semakin sengit. Lawan Ki Marta Brewok semakin lama semakin terdesak karenanya. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kemampuan orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Ketika terdengar orang itu bersiut nyaring, maka Ki Marta Brewok pun menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak mengerti arti isyarat itu. Namun Ki Marta Brewok memang menduga, bahwa akan segera terjadi perubahan di arena pertempuran. Sebenarnyalah seorang yang mengawasi Wicitra yang sudah kehilangan kejantanannya itu beringsut sambil mengancam Wicitra, “Jangan pergi kemana pun juga. Jika kau meninggalkan halaman ini, maka aku akan memotong kedua tangan dan kakimu serta lidahmu. Kemudian kau akan kami tinggalkan begitu saja.” Wicitra benar-benar menjadi ketakutan. Ibunya hampir pingsan membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu, sementara ayahnya masih saja berdiri termangu-mangu. Namun ayah Wicitra itu sempat menyaksikan pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu. Ternyata orang yang wajahnya nampak gelap oleh jambang, kumis dan janggutnya serta kedua orang anak muda itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Keempat orang yang sangat garang itu ternyata tidak dapat segera mengalahkan lawan-lawan mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap Wicitra serta pengawalnya yang garang itu. Dalam waktu yang dekat, pengawal Wicitra itu telah kehilangan kesempatan untuk melindungi dirinya. Sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, orang yang nampaknya garang dan tidak terkalahkan itu telah terbunuh. Namun dua orang yang kemudian bertempur melawan Ki Marta Brewok itu tidak dapat mengulangi keberhasilan mereka. Mereka tidak dapat segera menguasai dan apalagi membunuhnya. Orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu, ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari orang yang garang yang menjadi pengawal anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu. Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Paksi pun harus meningkatkan kemampuannya pula. Benturan-benturan yang terjadi telah membuat jantung orang itu berdebaran. Tongkat kayu itu ternyata benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi anak muda itu. “Gila,” geram orang itu. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa orang-orang yang mereka temui di kedai kecil itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Dengan tongkatnya yang berputaran, Paksi mulai mendesak lawannya. Sementara itu Wijang pun telah membuat lawannya menjadi gelisah. Sepasang pisau belatinya yang digenggam di kedua tangannya berputaran dengan cepat. Bahkan bagi lawannya sepasang pisau itu seakan-akan telah berubah menjadi berpasang-pasang yang menyerangnya dari segala arah. “Iblis manakah yang telah mengajarinya bermain pisau seperti itu,” geram lawan Wijang itu. Ayah Wicitra menyaksikan pertempuran itu dengan mulut yang ternganga. Ia bukan seorang yang berilmu tinggi. Tetapi ia dapat melihat, betapa ketiga orang yang datang kemudian itu dengan tangkasnya bertempur melawan keempat orang yang hampir saja membunuhnya, membunuh istrinya dan membunuh anaknya. Wicitra yang ketakutan itu mulai memperhatikan pertempuran yang terjadi. Ia mulai melihat betapa kedua orang anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Kesadaran Wicitra yang mulai tumbuh menguasai gejolak perasaannya itu membuatnya menyadari apa yang telah dilakukannya. Empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Kemampuannya sama sekali tidak berarti menghadapi dua orang di antara mereka, sedangkan pengawalnya yang dibanggakan itu dengan cepat telah terbunuh. Tetapi orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu, sama sekali tidak nampak mengalami kesulitan melawan dua orang di antara empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu. “Siapakah sebenarnya mereka bertiga?” pertanyaan itu mulai tumbuh di hati Wicitra. Wicitra sama sekali tidak menghiraukan mereka ketika ia melihat ketiga orang itu berada di kedai. Bahkan ia telah mengusir ketiga orang itu ketika ketiga orang itu berusaha meyakinkannya, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berbahaya. Wicitra itu tidak mau mendengarkan ketika ketiga orang itu datang dan minta kepadanya untuk meninggalkan rumahnya satu atau dua hari. Dengan sombong Wicitra itu bahkan berniat mengaku dirinya Pangeran Benawa. Wicitra itu pun menjadi sangat malu kepada dirinya sendiri. Apalagi ketika kemudian ia berjongkok sambil menangis untuk minta dikasihani. Sementara itu, Paksi masih bertempur dengan cepat bahkan keras. Lawannya semakin lama menjadi semakin kasar. Namun Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan tongkatnya telah membuat lawannya menjadi kebingungan. Meskipun lawan Paksi telah menghentakkan kemampuannya, tetapi ujung senjatanya sama sekali tidak mampu menggapainya. Setiap kali terjadi benturan, maka tangan lawan Paksi itu terasa pedih. Anak muda itu ternyata mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar. Bahkan semakin lama ujung tongkat Paksi pun menjadi semakin membingungkannya. Sehingga akhirnya ujung tongkat Paksi itu mampu menembus pertahanannya. Lawan Paksi itu berteriak nyaring ketika ujung tongkat Paksi mendorong pundaknya sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Bagi lawan Paksi, sentuhan ujung tongkat anak muda itu telah membuatnya menjadi sangat marah. Anak itu masih terlalu muda untuk mampu mengimbangi ilmunya. Namun anak muda itulah yang lebih dahulu mampu menembus pertahanannya, mengenai pundaknya sehingga pundaknya merasa sangat sakit. Tetapi apa pun yang kemudian dilakukan, anak muda bersenjata tongkat itu memang berilmu sangat tinggi. Bahkan ketika lawan Paksi itu berusaha menyerang anak muda itu dengan pedang terjulur mengenai dada, ternyata ujung pedang itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan anak muda itu menghindar dengan memiringkan tubuhnya dan sempat mengayunkan tongkatnya, menghantam lambung. Demikian keras ayunan tongkat Paksi, sehingga orang itu terpelanting selangkah ke samping. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya, maka orang itu telah terbanting jatuh. Meskipun demikian, setelah berguling beberapa kali, maka ia pun dengan cepat melenting berdiri. Paksi tidak memburunya. Seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada lawannya mempersiapkan diri untuk menghadapinya lagi. Sambil menyeringai orang itu berdiri sambil menggenggam senjatanya erat-erat. Dipandanginya Paksi dengan mata yang bagaikan menyala. “Anak demit,” orang itu menggeram, “kau akan menyesal dengan kesombonganmu itu.” Paksi berdiri tegak sambil menggenggam tongkatnya. Katanya, “Bersiaplah.” “Aku akan membunuhmu.” “Kita akan bertempur sampai tuntas.” Orang itu menggertakkan giginya. Namun tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Sementara itu, Wijang pun telah mendesak lawannya. Orang itu pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Tetapi lawannya yang terhitung masih muda itu sulit untuk diimbanginya. “Lakukan apa yang dapat kau lakukan,” berkata Wijang. “Persetan,” geram lawannya. “Aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya jika kau harus bertempur melawan Pangeran Benawa. Maksudku, jika Pangeran Benawa mulai bersungguh-sungguh. Jika ia merengek dan minta ampun, itu semata-mata ia ingin menjajagi, apakah di otakmu masih ada sisa-sisa akal sehatmu.” “Diam,” teriak lawan Wijang. Tetapi Wijang berkata terus, “Sebenarnyalah Pangeran Benawa itu ingin tahu, apakah kau masih tetap berjantung manusia atau jantungmu sudah berbulu serigala sehingga kau tidak mau mendengarkan permintaan ampun seseorang.” “Cukup,” orang itu berteriak pula. “Aku koyak mulutmu.” “Kenapa tidak kau lakukan?” bertanya Wijang. Kemarahan orang itu sudah membakar ubun-ubunnya. Dengan garangnya ia meloncat sambil mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher Wijang. Tetapi dengan tangkas Wijang mengelakkan serangan itu. Bahkan Wijang pun kemudian melenting dengan cepatnya. Ayunan pisau belatinya kemudian justru telah menyambar bahu lawannya. Lawannya meloncat mundur sambil mengumpat-umpat Dengan telapak tangannya ia meraba pundaknya. Cairan yang hangat mengalir dari luka di bahunya itu. Wijang bergerak maju selangkah demi selangkah. Sepasang pisau belatinya bergetar di kedua tangannya. Kemarahan lawannya bagaikan membakar jantungnya. Dengan geram orang itu berkata, “Kau akan menyesali tingkah lakumu.” “Kita sudah memasuki satu sikap akhir, Ki Sanak. Tidak ada yang akan menyesal. Kau tidak, aku juga tidak, apa pun yang akan terjadi. Pertempuran ini hanya akan berakhir setelah aku atau kau mati di arena ini.” Lawan Wijang yang marah itu membentak dengan garangnya, “Aku akan membantaimu sampai lumat.” “Hukuman bagi mereka yang berniat membunuh Pangeran Benawa adalah hukuman mati, karena seandainya Pangeran Benawa sendiri yang melakukannya, akibatnya akan sama saja bagimu.” “Tutup mulutmu, tikus kecil.” Wijang justru tertawa. Katanya, “Aku merasakan getar kecemasan di dalam kata-katamu.” “Persetan kau.” Dengan garangnya orang itu pun segera meloncat menyerang Wijang. Tetapi Wijang sudah siap menghadapinya. Karena itu ketika orang itu meloncat sambil menjulurkan senjatanya. Namun Wijang sempat mengelak. Sambil merendah pisaunya telah terayun menyambar lengan lawannya. Lengan itu pun telah berdarah pula. Setiap titik darah membuat kemarahan orang itu semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi setiap titik darah yang menetes dari lukanya telah menyusut tenaga dan kekuatannya. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh orang itu. Tangan dan kaki Wijang terlalu cepat untuk diimbanginya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berusaha menangkap Pangeran Benawa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuannya. Ki Marta Brewok yang menghadapi dua orang lawan telah membuat kedua orang lawannya menjadi bingung. Orang yang berjambang lebat itu mampu bergerak demikian cepatnya. Kedua orang lawannya tidak tahu, senjata apa yang dipergunakannya, tetapi sentuhan tangannya mampu melukai kulit mereka. Seakan-akan hanya dengan telapak tangannya, orang itu dapat menangkis ayunan senjata lawan-lawannya. Namun keduanya yakin, ada semacam lapisan baja yang dikenakan oleh orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu pada telapak tangannya serta ujung-ujung yang runcing pada jari-jarinya. Kedua orang lawan Ki Marta Brewok memang menjadi bingung. Setelah dengan demikian cepat dan mudahnya mereka membunuh pengawal yang mengaku Pangeran Benawa itu, meskipun ujud pengawal itu demikian garangnya, mereka kemudian menghadapi lawan yang seakan-akan dilindungi oleh oleh dinding baja di seputarnya. Kedua orang itu sama sekali tidak pernah berhasil menyentuh kulit lawannya itu. Jika senjata mereka terjulur lurus atau terayun mendatar, maka senjata mereka itu seakan-akan telah membentur sekat yang tidak tertembus. Tetapi sebaliknya, jari-jari tangan orang itu beberapa kali berhasil menyentuh tubuhnya. Sedangkan setiap sentuhan, meninggalkan luka yang menganga. Keseimbangan pertempuran segera menjadi jelas. Lawan Paksi dan Wijang sudah terdesak semakin jauh. Sementara itu, lawan Ki Marta Brewok pun menjadi semakin tidak berarti. Betapapun mereka berusaha dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan, namun perlawanan mereka sudah tidak berarti apa-apa lagi. Keempat orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Wicitra dan kedua orang tuanya telah bergeser menepi. Ia dapat melihat apa yang bakal terjadi. Ia melihat keempat orang yang hampir saja membunuhnya itu sudah tidak berdaya. Kegirangan terasa melonjak di dadanya. Ia merasa terlepas dari bahaya maut yang hampir saja mencekiknya. Namun yang kemudian dipertanyakan, bagaimana sikap ketiga orang itu. Wicitra telah menghinakannya. Telah mengusirnya dan sama sekali tidak menghargai kata-katanya. Tetapi menilik sikap mereka, agaknya mereka tidak akan sebengis keempat orang yang hampir saja membantainya itu. Dengan kerut di dahi, Wicitra melihat bagaimana Ki Marta Brewok dengan tangkasnya bertempur. Wicitra menjadi semakin malu kepada diri sendiri. Ia merasa seakan-akan dirinya telah menguasai semua ilmu di muka bumi sehingga ia telah menjadi orang yang tidak terkalahkan. Namun sekarang ia melihat kenyataan, betapa kecilnya di hadapan orang-orang berilmu tinggi. Orang-orang berilmu tinggi yang rendah hati. Meskipun Wicitra sudah dapat menduga, akhir dari pertempuran itu, namun ia pun terkejut juga ketika seorang lawan Ki Marta Brewok itu berteriak nyaring. Tubuhnya terlempar dari arena dengan darah yang mengalir dari luka-lukanya. Sejenak kemudian orang-orang itu pun telah terbanting jatuh. Menggeliat, namun kemudian tidak bergerak sama sekali. Belum lagi ketegangan di jantungnya mengendor, maka Wicitra itu pun melihat bagaimana lawan yang seorang lagi telah terlempar pula dengan kerasnya. Kepalanya membentur sebatang pohon yang cukup besar. Benturan yang keras sekali, sehingga seorang itu pun kemudian terjatuh dengan tubuh yang lunglai. Nafasnya menjadi sendat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Wicitra berdiri termangu-mangu. Dengan demikian, maka akhir dari kedua orang lawan anak-anak muda itu pun menjadi semakin jelas pula. Lawan Wijang yang menjadi putus asa telah menyerangnya sejadi-jadinya. Namun ketika pisau belati Wijang bergerak menyilang, maka ujung pisau itu pun telah menggores dadanya. Cukup dalam, sehingga orang itu pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian satu loncatan panjang telah mengakhiri pertempuran itu. Ujung pisau belati Wijang yang lain kemudian telah terhujam di dada orang itu. Sementara itu, hampir bersamaan waktunya, Paksi pun telah menyelesaikan lawannya pula. Ketika lawannya berusaha menusuk lambungnya, Paksi sempat mengelak. Bahkan kemudian tongkatnya pun telah terayun tepat mengenai tengkuk lawannya yang kehilangan sasaran itu. Sejenak kemudian halaman itu menjadi sepi. Paksi berdiri dengan kaki renggang mengamati lawannya yang sudah tidak bernyawa. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Di sebelah yang lain, dua sosok tubuh pun terbaring diam. Di halaman rumah Wicitra itu terdapat lima sosok mayat dengan luka-luka di tubuh mereka. Ki Marta Brewok lah yang kemudian melangkah mendekati Wicitra sambil berkata, “Nah, sekarang kau baru percaya, bahwa orang-orang itu sangat berbahaya bagimu.” Wicitra mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Ya, Ki Sanak. Aku percaya. Aku mohon ampun atas sikapku terhadap Ki Sanak.” Sementara itu, ayah Wicitra itu pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Ki Sanak telah menyelamatkan nyawa anakku.” “Satu pelajaran yang sangat berharga bagi anakmu.” “Kau harus bersyukur kepada Yang Maha Agung, Wicitra. Kau pun harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ki Sanak bertiga ini.” Sekali lagi Wicitra mengangguk hormat sekali. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Sanak. Yang Maha Agung sajalah yang dapat membalas kebaikan budi Ki Sanak bertiga.” “Wicitra,” berkata Ki Marta Brewok, “setelah terjadi peristiwa ini, apa yang akan kau lakukan?” Wicitra termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Aku akan melakukan sebagaimana Ki Sanak katakan. Aku akan meninggalkan tempat ini.” “Bagaimana dengan rencanamu menjual tanah dan rumah ini serta mengusir ayah dan ibumu?” Wicitra terkejut mendengar pertanyaan itu. Untuk beberapa saat ia justru terbungkam. Ternyata Ki Marta Brewok tidak memaksanya untuk menjawab. Tetapi ia justru bertanya kepada ayah Wicitra, “Bagaimana dengan lima sosok mayat itu? Apakah kita dapat minta tolong orang-orang padukuhan ini untuk menguburnya?” “Mereka takut keluar rumah, Ki Sanak. Apalagi setelah terjadi peristiwa ini.” “Kau panggil mereka dan katakan bahwa keadaan sudah aman. Tidak ada lagi orang-orang yang mencari Pangeran Benawa. Justru mereka akan diminta tolong untuk menguburkan mereka.” Ayah Wicitra termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Aku akan mencobanya.” Ternyata ayah Wicitra itu berhasil meyakinkan tetangga-tetangganya, bahwa bahaya yang mereka takuti untuk sementara telah tidak ada lagi, sehingga beberapa orang telah keluar dari rumahnya dan pergi ke halaman rumah Wicitra. Mereka memang agak ketakutan ketika mereka melihat Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang berpakaian kusut. Tetapi ayah Wicitra memberitahukan kepada mereka, bahwa ketiga orang itulah yang telah membinasakan orang-orang garang yang mencari Pangeran Benawa itu. “Kami adalah para pengikut Harya Wisaka,” berkata Ki Marta Brewok kepada orang-orang yang berkerumun. “Kami sebenarnya juga mencari Pangeran Benawa sebagaimana keempat orang itu. Tetapi kami tahu, bahwa kami tidak dapat melibatkan kalian begitu saja dalam pencaharian ini. Karena itu, maka kami pun tidak akan pernah mengganggu kalian. Apa pun yang aku lakukan terhadap kalian, kalian tentu tidak akan dapat membantu kami.” “Terima kasih, Ki Sanak,” sahut seorang yang rambut dan kumisnya sudah memutih. Di sisa hari itu, orang-orang padukuhan itu disibukkan oleh lima sosok mayat yang harus mereka kuburkan. Namun mereka merasa tenang, bahwa di padukuhan itu terdapat tiga orang berilmu tinggi yang dapat melindungi mereka dari kemungkinan buruk. Hari itu, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang bermalam di rumah Wicitra. Ketika orang-orang yang sibuk menguburkan lima sosok mayat itu sudah pulang ke rumah masing-masing, sementara malam mulai turun, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah mandi pula, maka mereka pun duduk di pendapa rumah Wicitra bersama dengan Wicitra dan kedua orang tuanya. Setelah minum seteguk wedang jahe, maka Ki Marta Brewok pun mengulangi pertanyaannya, “Wicitra, aku masih ingin mendengar jawabmu, setelah peristiwa ini, apakah yang akan kau lakukan? Apakah sekedar meninggalkan tempat ini, atau kau mempunyai rencana yang lain?” “Aku belum memikirkannya, Ki Sanak, kecuali pergi meninggalkan tempat ini?” “Dalam keadaan yang gawat, apakah kau sadari, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibumu, yang sedianya akan kau usir dari rumah ini?” Wajah Wicitra menjadi tegang. Dipandanginya Ki Marta Brewok dengan tajamnya. Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncang jantungnya. Ia berusaha mengingat, apa yang akan dilakukan. Menjual tanah dan rumah itu. Mengusir ayah dan ibunya. Namun Wicitra itu pun kemudian sempat membayangkan, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibunya saat ia berada di dalam keadaan yang paling gawat. Meskipun ayah dan ibunya itu tahu, bahwa ia akan mengusirnya serta menjual tanah dan rumahnya, namun kedua orang tuanya itu masih berusaha melindunginya. Seperti seorang ibu yang memeluk anaknya erat-erat saat terjadi gempa, maka ibunya telah memeluknya saat nyawanya terancam. Bahkan ayah dan ibunya itu telah menyatakan kesediaannya untuk mati jika itu dapat menyelamatkan nyawanya. Sejenak Wicitra termangu-mangu. Di luar sadarnya dipandanginya ayah dan ibunya yang sudah tua itu. Rasa-rasanya di penglihatannya ayah dan ibunya menjadi lain. Ayah dan ibunya kelihatan begitu tua namun wajahnya yang cerah itu bagaikan bercahaya. Tiba-tiba Wicitra itu membayangkan apa yang terjadi dengan ayah dan ibunya itu jika keduanya terusir dari rumahnya. Apa yang terjadi pada keduanya jika keduanya harus hidup menumpang di rumah pamannya, sementara itu, sebelumnya ia mempunyai tanah, rumah, sawah dan ladang. Terasa jantung Wicitra bergetar. Orang tua yang diusirnya itu ternyata masih juga bersedia mati untuknya. Tiba-tiba saja Wicitra itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terdengar anak muda itu pun menangis terisak-isak seperti kanak-kanak yang menahan tangisnya karena takut dicambuk ayahnya. “Wicitra, kenapa?” Ibunya pun beringsut mendekatinya. “Bukankah segala sesuatunya sudah lampau. Bahaya yang hampir saja merenggut nyawa itu sudah lewat.” Wicitra mengangguk-angguk. Tetapi isaknya masih saja mengguncang tubuhnya. “Kenapa kau Wicitra. Kenapa kau, Ngger.” Tiba-tiba saja Wicitra itu memeluk ibunya. Tangisnya tidak lagi tertahan. Ia tidak saja terisak. Tetapi Wicitra itu benar-benar menangis. “Ibu, maafkan aku. Ayah,” tangisnya. “Kenapa, kau kenapa?” Ibunya yang cemas telah mengguncang-guncang tubuhnya. “Ayah, Ibu. Aku mohon maaf. Hampir saja aku telah menyia-nyiakan Ayah dan Ibu. Aku telah menjadi anak durhaka. Hampir saja aku mengusir Ayah dan Ibu dari rumah ini.” “Sudahlah, Wicitra. Bukankah semua itu belum terjadi?” “Tetapi semuanya itu akan terjadi seandainya tidak terjadi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku. Bahkan aku pun tidak memikirkannya, jika Ki Sanak itu tidak bertanya kepadaku. Ayah, Ibu, aku mohon maaf. Aku telah khilaf. Aku pun harus minta maaf kepada banyak orang karena kesombonganku selama ini, seolah-olah aku adalah orang yang terpenting di dunia ini. Seolah-olah putaran kehidupan ini berporos padaku.” “Aku bersyukur, Wicitra,” desis ayahnya. “Ternyata peristiwa ini ada juga nilainya bagimu. Nilai yang baik. Kau juga harus minta maaf seribu kali kepada ketiga orang yang telah menyelamatkanmu. Kau telah berbuat kasar kepada mereka, namun justru merekalah yang telah membangunkanmu dari mimpi burukmu.” Wicitra mengangguk-angguk. Tangisnya sudah mereda. Ketika ia sudah dapat mengucapkan permohonan maaf kepada ayah dan ibunya, maka rasa-rasanya bebannya sudah jauh berkurang. Kepada Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang, Wicitra itu pun berkata, “Ki Sanak bertiga. Aku benar-benar menyesal atas sikapku. Bukan saja terhadap kalian bertiga, tetapi juga terhadap semua orang. Selama ini aku telah terbius oleh keberhasilanku. Ketika aku pulang ke padukuhan ini, aku merasa bahwa disini aku adalah orang yang paling penting. Orang yang paling berarti, sehingga aku tidak lagi mampu mengekang perasaanku.” “Kau masih mempunyai banyak waktu untuk meluruskan jalanmu, anak muda.” Wicitra mengangguk-angguk. “Tetapi kau harus setia kepada pengakuanmu ini, Wicitra. Maksudku, kau tidak akan pernah mengulanginya lagi. Juga sikapmu terhadap lingkunganmu, terutama kepada ayah dan ibumu. Mereka adalah sosok yang menjadi lantaran kelahiranmu. Karena itu, kau tidak dapat memisahkan diri dari kehadiran mereka.” “Aku akan selalu mengingatnya, Ki Sanak. Aku akan selalu mengingat apa yang terjadi. Aku tidak akan lagi mengganggu ayah dan ibu tentang tanah, rumah, sawah dan pategalan.” “Mudah-mudahan kau selalu mengingatnya,” desis Ki Marta Brewok. Pembicaraan mereka terputus ketika satu dua orang tetangga datang untuk sekedar ikut berbincang di pendapa. Mereka membicarakan ketakutan yang melanda padukuhan itu sejak keempat orang itu mencari Pangeran Benawa di padukuhan mereka. Bahkan orang itu sudah mengancam untuk membawa sepuluh orang penghuni padukuhan itu apabila mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Kepada orang-orang itu Ki Marta Brewok selalu mengatakan bahwa ia dan kedua orang anak muda yang datang bersamanya itu adalah para pengikut Harya Wisaka. Dengan demikian, maka ceritera yang berkembang di padukuhan itu kemudian adalah, bahwa dua kelompok pengikut Harya Wisaka telah saling berbenturan. Empat orang di antaranya telah terbunuh. Beberapa orang yang datang ke rumah orang tua Wicitra itu berbincang sampai lewat tengah malam. Ibu Wicitra menjadi sibuk menyediakan minuman dan bahkan makan menjelang tengah malam. Baru menjelang dini, tetangga-tetangga dekat orang tua Wicitra itu minta diri. Pagi-pagi sekali, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun telah bangun. Mereka segera pergi ke pakiwan dan berbenah diri. Sebelum fajar mereka telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka. “Kemana?” bertanya ayah Wicitra. “Kami tidak dapat mengatakannya, karena kami akan pergi ke tempat yang kami sendiri tidak tahu,” jawab Ki Marta Brewok. “Mencari Pangeran Benawa?” bertanya Wicitra. “Ya. Kami memang harus mencari Pangeran Benawa. Bedanya dengan keempat orang itu, kami telah mengenal Pangeran Benawa sehingga tidak akan dapat dikelabuhi lagi.” “Jadi kalian sudah mengenal Pangeran Benawa?” “Aku adalah abdi di istana Pajang,” jawab Ki Marta Brewok. “Karena itu, aku dapat mengenal Pangeran Benawa dengan baik.” Wicitra mengangguk-angguk. Ia merasa dirinya semakin kecil. Tetapi untunglah bahwa ketiga orang itu mempunyai sifat dan watak yang lain sekali dengan keempat orang yang telah terbunuh itu meskipun mereka mengemban tugas yang sama. Namun sebelum Ki Marta Brewok meninggalkan rumah Wicitra ia masih juga bertanya, “Apakah kau akan segera meninggalkan rumah ini?” “Ya,” Wicitra mengangguk-angguk, “hari ini juga aku akan meninggalkan rumah ini. Siapa tahu masih ada kelompok-kelompok lain yang mencari Pangeran Benawa. Seandainya mereka tidak menyangka aku Pangeran Benawa, mereka mungkin saja memaksa aku untuk menemukannya, sementara Pangeran Benawa tidak ada disini.” Demikianlah, maka Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun telah minta diri kepada seisi rumah itu. Kepada ayah dan ibu Wicitra dan kepada Wicitra yang pada hari itu juga akan meninggalkan rumahnya. Namun Wicitra telah berubah karenanya. Wicitra tidak lagi akan memaksa ayah dan ibunya menjual tanah, rumah, sawah dan pategalannya. Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah berada di sebuah bulak yang panjang. Embun masih nampak menggantung di ujung dedaunan yang basah. Namun langit nampak cerah. Tidak ada selembar awan pun yang nampak di wajah langit. Dalam pada itu, burung-burung liar pun telah terbangun pula di sarangnya. Kicaunya membuat pagi menjadi semakin semarak. Sementara langit menjadi merah oleh cahaya matahari yang mulai menguak cakrawala. Ketiga orang yang berjalan di dinginnya pagi itu tidak banyak berbicara. Paksi yang berjalan di paling depan, sekali-sekali menghentakkan tongkatnya di tanah yang masih basah. Di ujung rerumputan, butir-butir embun masih nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Paksi memang tidak banyak berbicara. Ia bahkan mulai memikirkan dirinya sendiri. Paksi itu telah melihat, bagaimana seorang ayah yang berusaha melindungi anaknya sehingga siap untuk menyerahkan nyawanya. “Apakah ayahku juga dapat berbuat seperti itu?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tersembul di hatinya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya agaknya memang agak lain dari ayah Wicitra. “Apakah ayah juga bersedia menyerahkan nyawanya bagiku?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya justru telah memerintahkannya untuk melakukan satu pekerjaan yang tidak masuk akal. Pada umurnya yang ketujuh-belas, ayahnya telah memerintahkannya memasuki satu dunia yang sangat garang tanpa bekal yang memadai. “Jika saja aku tidak bertemu dengan beberapa orang yang baik hati,” berkata Paksi di dalam hatinya. “Seandainya aku tidak bertemu dengan guru. Tidak bertemu dengan Pangeran Benawa sendiri. Tetapi langsung bertemu dengan keempat orang yang mencari Pangeran Benawa dan diperlakukan seperti Wicitra, maka ayahku tidak akan berusaha melindungi aku sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Bahkan ayah tentu akan menganggap aku seorang yang sudah sepantasnya mati karena hidupku sama sekali tidak berarti bagi seorang ayah.” Terngiang kata-kata yang menusuk hatinya, bahwa ayah Paksi itu tidak menghendaki Paksi pulang tanpa membawa cincin yang dicarinya itu. “Apakah ayah menganggap cincin itu lebih berharga dari anaknya?” pertanyaan itu timbul pula di hati Paksi. Namun Paksi sama sekali tidak tahu jawabnya. “Justru karena itu aku harus pulang,” berkata Paksi di dalam hatinya. Ki Marta Brewok yang berjalan di belakang Paksi juga tidak banyak berbicara. Sementara itu Wijang berjalan di paling belakang. Diamatinya lingkungannya yang hijau. Sawah, padukuhan-padukuhan, namun juga hutan yang lebat di kaki gunung. Ketika Paksi berpaling, maka dilihatnya Ki Marta Brewok berjalan beberapa langkah di belakangnya. Baru beberapa langkah lagi Wijang berjalan sambil menebarkan pandangan matanya. “Marilah. Mumpung masih pagi,” ajak Paksi. Ki Marta Brewok mempercepat langkahnya. Tetapi Wijang menyahut, “Kenapa tergesa-gesa.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Paksi yang kemudian berjalan di sebelah Ki Marta Brewok itu ternyata tidak dapat menahan desakan perasaannya. Bagi Ki Marta Brewok bukan saja kawan seperjalanan. Tetapi ia adalah gurunya yang telah membentuknya menjadi seorang yang berilmu tinggi. “Guru,” berkata Paksi kemudian, “aku menjadi sangat gelisah.” “Kenapa?” “Seakan-akan aku tidak sedang berjalan pulang.” “Apa yang kau pikirkan?” “Apakah ayahku juga bersedia berkorban seperti ayah Wicitra itu, Guru?” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Tentu, Paksi. Seorang ayah tentu akan selalu melindungi anak-anaknya sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Tentang berhasil atau tidak, itu tergantung pada keadaan dan kemampuan. Tetapi naluri seorang ayah tentu akan berbuat yang terbaik bagi anaknya.” “Bagaimana pendapat Guru tentang ayahku yang telah memerintahkan kepadaku untuk mencari cincin itu?”
nmqfjAe. 101 258 275 421 374 320 252 423 357

jejak di balik kabut 10